TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum tata negara Refly Harun membahas deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang baru saja dicanangkan sejumlah tokoh nasional.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Selasa (18/8/2020).
Diketahui sejumlah tokoh menghadiri deklarasi yang diadakan di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat tersebut.
• Kritisi Gerakan KAMI, Kapitra Ampera: Kami Tidak Pernah Lagi Bicara Kita, di Mana Satu Kesatuan?
Mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, mantan Menko Polhukam Laksamana TNI Tedjo Edy Purdjiatno, mantan Ketua MUI Din Syamsuddin, dan mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu turut hadir dalam acara itu.
Saat Deklarasi KAMI disebut sebagai 'barisan para mantan', Refly Harun bereaksi tertawa.
Mantan Komisaris BUMN PT Pelindo tersebut berdalih dirinya juga sudah kerap mengkritik kebijakan negara sejak memiliki jabatan di pemerintahan.
"Walaupun ketika saya jadi komisaris, di Kompas TV saya juga pernah mengkritik pada 2017, berhadapan dengan Fadjroel Rachman dan lain sebagainya," sanggah Refly Harun.
Ia menyinggung sikap kritis itu dapat ditunjukkan baik saat berada di dalam maupun di luar pemerintahan.
Hal itu ia sampaikan mengacu pada kritik politisi PDIP Adian Napitupulu terhadap Menteri BUMN Erick Thohir.
"Bagi saya, value itu bisa di mana saja. Jadi di dalam pemerintahan bisa memperjuangkan value, seperti yang Adian perjuangkan dengan mengkritik Erick Thohir dan BUMN-nya," terangnya.
"Di luar pemerintahan apa lagi," tambah Refly.
Refly membantah kritik terhadap pemerintah harus disampaikan melalui media atau instansi tertentu.
• Di ILC, Refly Harun Mengaku Tak Bisa Bedakan Kedudukan Jokowi sebagai Pribadi dan sebagai Lembaga
Seperti diketahui, para deklarator KAMI tidak berafiliasi dengan jabatan atau partai politik tertentu.
"Justru itulah, kalau kita bicara tentang moral movement. Jadi moral movement itu tidak mengandalkan kekuatan politik yang real," katanya beralasan.
"Dalam pengertian misalnya harus ada partai politik, harus ada kelompok-kelompok yang powerful secara ekonomi," lanjut Refly.