Terkini Nasional

Sebut MA Tak Prioritaskan Sengketa Pilpres 2019, Refly Harun: Padahal Persoalannya Tak Terlalu Rumit

Penulis: Elfan Fajar Nugroho
Editor: Atri Wahyu Mukti
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gedung Mahkamah Agung, Jalan Medan Merdeka Utara Nomor 9, Jakarta Pusat, Senin (16/4/2018). Refly Harun menyoroti sikap dari MA terkait polemik sengketa Pilpres 2019 lalu. Sebut tak prioritaskan.

TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menyoroti sikap dari Mahkamah Agung (MA) terkait polemik sengketa Pilpres 2019 lalu.

Menurutnya, MA memang tidak memprioritaskan masalah tersebut untuk bisa segera dipersidangkan, sehingga bisa cepat diputuskan.

Hal ini disampaikan saat menjadi narasumber dalam acara Dua Sisi 'tvOne', Kamis (9/7/2020).

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) terkait sengketa pada Pilpres 2019, yaitu Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019. (Youtube/Talk Show tvOne)

 

Mahkamah Agung Buka Suara soal Putusan Sengketa Pilpres 2019 Dirasa Lama: Karena Memang Ada Prosedur

"Menurut saya Mahkamah Agung tidak memprioritaskan masalah ini," ujar Refly Harun.

Refly Harun mengatakan bahwa persoalan sengketa Pilpres 2019 sebenarnya tidak sulit lantaran hanya menyangkut satu pasal saja.

Dan menurutnya MA seharusnya bisa dengan cepat menyelesaikan permasalahan tersebut dan juga bisa memutuskannya dengan cepat.

"Harusnya bisa diputuskan cepat, apalagi persoalannya kan tidak terlalu rumit, artinya hanya menyangkut satu pasal, yang rumit itu kan implikasi politiknya," kata Refly Harun.

"Tetapi sesungguhnya dari teknis hukum sebenarnya kan Mahkamah Agung hanya mengikuti saja, ketentuan Pasal 6A dan kemudian Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017," jelasnya.

Oleh karena itu, Refly Harun menilai putusan yang dikeluarkan oleh MA tersebut sudah tidak berarti apa-apa lagi, atau bisa dikatakan tidak akan mempengaruhi hasil Pilpres 2019 yang memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin.

Alasannya karena putusan tersebut baru keluar setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi pada bulan Juni 2019 dan juga pelantikan presiden terpilih pada 20 Oktober 2019.

Refly Harun Sebut Sengketa Pilpres 2019 Tak Mungkin Terjadi jika Tak Mati-matian Pertahankan Hal Ini

"Harusnya kalau kita mau putusan itu bermanfaat, harusnya diputuskan ya sebelum minimal bulan Juni, atau sebelum adanya putusan dari KPU untuk menyatakan siapa yang menjadi pemenang," ungkap Refly Harun.

"Sehingga putusan itu menjadi berguna adanya," imbuhnya.

Refly Harun lantas menjelaskan alasan KPU dan MK tetap melanjutkan proses pemilunya di satu sisi sedang mengalami sengketa.

Menurutnya tidak mungkin jika harus menunda pengumuman hasil pemilunya.

Oleh karena itu yang seharusnya bisa dilakukan adalah mempercepat putusan dari MA.

"Tetapi hal yang kedua memang Judicial Review (pengujian yudisial) dalam konteks Peraturan KPU tersebut tentu berbeda dengan kasus yang berimplikasi pada misalnya ditundanya pengumuman hasil pemilu," terang Refly Harun.

"Karena kalau misalnya logika itu yang dipakai, maka kemudian tidak akan pernah selesai, karena bisa dilakukan proses uji Judicial Review berkali-kali terhadap peraturan KPU," tutupnya.

Refly Harun Ungkap 2 Pandangan atas Putusan MA terkait Sengketa Pilpres: Waktu dan Substansi

Simak videonya mulai menit ke- 6.02:

Sengketa Pilpres Tak Mungkin Terjadi jika Tak Mati-matian Pertahankan Hal Ini

Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Agung (MA) dan juga sengketa yang terjadi pada Pilpres 2019 lalu.

Dilansir TribunWow.com, MA belum lama ini telah mengeluarkan putusan pengabulan atas gugatan terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019.

Sebelumnya gugatan tersebut dilakukan oleh Rachmawati Soekarnoputri selaku Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Namun menurutnya, putusan dari MA tersebut sudah tidak berarti apa-apa lagi, apalagi untuk membatalkan hasil Pilpres 2019.

Dikatakannya bahwa setidaknya, putusan tersebut bisa digunakan untuk memperbaiki aturan yang berlaku pada pemilu-pemilu selanjutnya, jika kembali hanya terdapat dua pasangan calon saja.

Meski begitu, Refly Harun berpandangan bahwa persoalan pada PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak akan terjadi jika tidak mati-matian mempertahankan kebijakan Presidential Threshold.

• Unggah Foto Berdua Bareng Jokowi, Prabowo Subianto: Kementerian Pertahanan akan Terus Bersinergi

Menurutnya, dengan adanya Presidential Threshold tersebut, maka menjadikan kesulitan bagi para calon presiden yang ingin mencalonkan diri.

Para calon presiden harus bisa memenuhi syarat ambang batas, yakni setidaknya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Akibatnya sudah dua kali perhelatan Pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon, yakni pada tahun 2014 dan 2019.

Seperti yang diketahui, ketika hanya ada dua pasangan calon yang maju, maka pasangan terpilih harus memenuhi syarat dari persebaran suara.

Yakni setidaknya memenangi suara di setengah jumlah provinsi di Indonesia, termasuk juga mendapatkan minimal 20 persen suara di seluruh provinsi.

"Tetapi hal lain, sebenarnya masalah seperti ini tidak perlu harus ada, kalau kita kemudian tidak mati-matian mempertahankan Presidential Threshold yang membuat kemudian pasangan itu hanya dari dua calon saja," ujar Refly Harun.

"Sehingga orang berdebat, bagaimana kalau dua calon saja, apa syarat persebaran itu harus ada atau tidak," imbuhnya.

• Jokowi Teken Perpres soal Prakerja, Peserta yang Tak Penuhi Syarat Wajib Kembalikan Dana Insentif

Meski begitu, menurut Refly Harun persyaratan tersebut juga mempunyai perbedaan di Mahkamah Konstutusi dan Mahkamah Agung dalam Peraturan KPU.

'MK mengatakan tidak perlu dalam Keputusan 2014, tetapi kemudian Mahkamah Agung dalam konteks pengujian peraturan KPU mengatakan ada," jelasnya.

Maka dari itu, Refly Harun meminta ketegasan aturan mana yang seharusnya dilakukan.

"Untuk pembentukan hukum ke depan, hal seperti ini harus jelas dan tegas dalam Undang-undang yang baru," pungkasnya.

(TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)