TRIBUNWOW.COM - Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah buka suara mengenai banyaknya pertanyaan terkait putusan dari MA soal sengketa Pilpres 2019.
Dilansir TribunWow.com, meski mengabulkan gugatan dari Tim Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan capres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, namun putusan dari MA tersebut dinilai sangat lama keluarnya.
Seperti yang diketahui, putusan MA tersebut baru keluar pada 28 Oktober 2019 dan dipublikasikan pada 3 Juli 2020.
Padahal pengajuan gugatan sudah dilakukan sejak 13 Mei 2019.
• Refly Harun Sebut Sengketa Pilpres 2019 Tak Mungkin Terjadi jika Tak Mati-matian Pertahankan Hal Ini
Dan yang menjadi pertanyaan besar, kenapa putusan dari MA tersebut keluar setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi soal hasil Pilpres dan pelantikan pasangan presiden dan wakil presiden terpilih.
"Ada pertanyaan tentang kenapa sangat lama," kata Abdullah dalam acara Dua Sisi 'tvOne', Kamis (9/7/2020).
Abdulah yang mengaku hanya sebagai pembaca putusan mengatakan tidak berhak untuk mengomentari putusan yang sudah dilakukan oleh majelis.
Abdullah hanya mengungkapkan bahwa kondisi tersebut terjadi lantaran memang harus melalui prosedur yang benar, mulai dari proses administrasi hingga proses minutasi.
Sementara itu terkait hasil putusan yang baru diupload pada 13 Juli 2020, dikatakannya karena terkendala oleh pandemi Virus Corona.
Dirinya mengatakan banyak staf dari MA yang menjalani work from home (WFH), yang pastinya menjadi kendala tersendiri.
"Karena memang ada prosedur yang harus dilakukan di Mahkamah Agung, kalau ada gugatan atau permohonan masuk itu kan harus diteliti administrasinya," kata Abdullah.
"Kemudian ada proses minutasi setelah putusan, Kemudian begitu mau disampaikan mau diupload itu terkena pandemi Covid-19," jelasnya.
"Tentunya itu adalah halangan-halangan sehingga banyak staf Mahkamah Agung yang harus work from home sehingga proses upload ini menjadi tertunda."
• Refly Harun Ungkap 2 Pandangan atas Putusan MA terkait Sengketa Pilpres: Waktu dan Substansi
Meski begitu dirinya tidak bisa menjelaskan banyak terkait prosesnya yang lama.
Menurutnya hal itu merupakan kewenangan dari majelis yang menangani perkara tersebut.
Abdullah hanya memastikan bahwa pada saat itu banyak perkara yang juga masuk ke Mahkamah Agung.
Namun saat ditanya, mengapa tidak lantas menjadikan tuntutan tersebut ke dalam prioritas, Abdullah kembali mengaku tidak memberikan keterangan.
Ia justru meminta supaya membaca lengkap hasil putusan dari Mahkamah Agung, mulai dari awal hingga akhir.
"Itu kan menjadi kewenangan majelis, bukan kewenangan saya untuk menjelaskan mengapa prosesnya lama, karena memang perkara jumlahnya banyak," terang Abdullah.
"Itu yang paling tahu dan yang bisa menjawab adalah majelis dan itu sudah dituangkan dalam putusan Mahkamah Agung pada halaman 49," sambungnya.
"Saya rasa itu bisa dibaca secara tuntas, oleh karena itu kalau membaca putusan ini mohon secara tuntas, mulai dari awal, sampai akhir,"
"Sehingga tidak hanya ekornya saja yang dibahas, sementara pertimbangannya tidak dipelajari, tidak disinggung sama sekali," pungkasnya.
• Unggah Foto Berdua Bareng Jokowi, Prabowo Subianto: Kementerian Pertahanan akan Terus Bersinergi
Simak videonya mulai menit ke- 6.40:
Refly Harun Kritik MA setelah Putusan Pengabulan Gugatan PKPU
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun memberikan tanggapan terkait putusan pengabulan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 oleh Mahkamah Agung (MA).
Dilansir TribunWow.com, Refly Harun justru memberikan kritik terhadap putusan dari MA tersebut yang sebelumnya diajukan oleh Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yakni Rachmawati Soekarnoputri.
Hal ini disampaikan dalam tayangan Youtube Refly Harun yang diunggah pada Rabu (8/7/2020).
Kritikan tersebut diberikan lantaran putusan dari MA dikeluarkan setelah adanya putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin sebagai presiden dan wakil presiden terpilih pada Pilpres 2019.
Dengan begitu, sama saja tidak berpengaruh terhadap sengketa yang terjadi pada Pilpres 2019 lalu.
Karena seperti yang diketahui, putusan dari MK sudah merupakan putusan yang final dan tidak bisa diganggu gugat.
MA baru mengeluarkan putusan pada 28 Oktober 2019, sedangkan putusan dari MK sendiri sudah dikeluarkan pada bulan Juni 2019.
Terlebih proses pelantikan juga sudah lewat, yakni pada 20 Oktober 2020.
• Penjelasan Refly Harun terkait Putusan MA Kabulkan Tuntutan soal PKPU: Tak akan Berpengaruh Apa-apa
"Sebenarnya saya mengkritik putusan Mahkamah Agung," ujar Refly Harun.
"Karena dia memutuskan sesuatu yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
Refly Harun lantas membenarkan keputusan yang dilakukan oleh MK lantaran sudah sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur soal pelaksanaan Pilpres, yakni Nomor 42 Tahun 2008.
"Memang Mahkamah Konstitusi memutuskan itu dalam konteks judicial review (uji materi) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menjadi alas pelaksanaan Pilpres 2009 dan 2014," jelas Refly Harun.
"Tetapi sesungguhnya materi tersebut adalah tafsir atas Pasal 6A Undang-undang Dasar 1945. Jadi sudah mengikat sesungguhnya," tambahnya.
Sedangkan menurutnya, norma-norma atau aturan yang ada di KPU merupakan turunan dari putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga tetap dalam jalur yang sama.
Namun setelah MA membatalkan norma dari PKPU tersebut, maka tentunya akan memberikan dua tafsir, yakni dari segi MK sendiri ataupun dari MA.
"Apa yang dilakukan oleh KPU hanyalah menormakan apa yang sudah diputuskan Mahkamah Konstitusi yang lupa dinormakan di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017," kata Refly.
"Dengan pembatalan tersebut, maka sesungguhnya ada dua tafsir," jelas pakar hukum tersebut.
• Yusril Sebut Putusan MA Dipelintir dan Tidak Batalkan Kemenangan Jokowi-Maruf Amin di Pilpres 2019
Karena jika mengacu pada MK maka pasangan terpilih adalah merupakan pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak, dengan catatan jika hanya ada dua pason saja.
Tanpa memperhitungan perolehan di setiap provinsi yang saat ini sudah diputuskan oleh MA hasil dari gugatan Tim BPN pada Pilpres 2019 lalu.
"Tafsir pertama adalah tafsir Mahkamah Konstitusi yang mengatakan kalau terjadi dua calon saja maka pemenangnya adalah siapa yang mendapat suara terbanyak," lanjutnya.
"Tafsir kedua adalah tafsir Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan KPU itu tidak ada landasannya, baik cantolannya ke undang-undang maupun cantolannya ke kontitusi," paparnya.
"Ini yang kadang-kadang keputusan pengadilan yang saling silang," pungkasnya.
Simak videonya mulai menit ke- 21.35:
(TribunWow/Elfan Fajar Nugroho)