Namun ia menyayangkan pada generasi muda Indonesia yang begitu berprestasi tersebut, tidak ditemukan adanya unsur untuk mengikat mereka meraih tujuan yang sama.
"Kesatuan ini yang enggak ada," katanya.
Ia lalu membahas sekilas soal pemersatu bangsa di era Soekarno.
Pemersatu bangsa kala itu berasal dari kesamaan penderitaan dan nasib yang dialami oleh seluruh warga Indonesia.
"Melalui hal tersebut warga Indonesia dapat menjalin kesatuan dan bersatu bersama.
"Dulu iya, itu ada disimpulkan di belakang, Bapak saya dan Bapak-bapaknya Pak Karni, makannya ulat, karung goni semua, ada persamaan nasib," ujar Sudjiwo Tedjo.
Kini hal tersebut tidak bisa lagi dirasakan, Sudjiwo Tedjo mencontohkan perbedaan nilai arloji miliknya dengan arloji yang dikenakan oleh Erick Thohir.
"Sekarang sudah enggak ada persamaan nasib," katanya.
"Arloji saya sama arlojinya Pak Thohir jauh banget."
"Gimana mau persamaan nasib?," lanjut Sudjiwo Tedjo.
Erick Thohir hanya bisa tertawa ketika Sudjiwo Tedjo mengatakan hal tersebut.
Sudjiwo Tedjo mengusulkan untuk meraih kesatuan di era modern saat ini, harus melalui persamaan tujuan.
"Maka saya usul bangsa harus diikat di depan, apa? Tujuan," jelasnya.
Untuk meraih hal tersebut Sudjiwo Tedjo tidak keberatan apabila hadir keberadaan seorang pemimpin tirani atau diktator yang mengontrol penuh warganya.
"Nah tujuan itu memerlukan tirani kalau perlu, saya setuju, asal percaya," paparnya.
Ia kemudian mencontohkan beberapa pemimpin tirani yang berhasil memajukan bangsanya.
Pemimpin-pemimpin tersebut di antaranya adalah Deng Xiao Ping, dan Park Chung Hee. (TribunWow.com/Brigitta Winasis/Anung)