TRIBUNWOW.COM - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan tanggapannya terkait Omnibus Law Cipta Kerja.
Ia menyebut ada tiga poin besar yang menjadi kekurangan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
3 kekurangan tersebut adalah perlindungan terhadap kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan pensiun serta kesehatan.
• Tanggapi Kritik soal Omnibus Law, Istana: Belum Pernah Ada RUU Menimbulkan Gairah Publik yang Hebat
Dilansir TribunWow.com dari video unggahan kanal YouTube Kompas TV, Selasa (18/2/2020), Said awalnya menyetujui niat baik pemerintah membentuk Omnibus Law Cipta Kerja untuk menjamin kesejahteraan buruh.
Namun ketika pembahasan dimulai, ia mengatakan terjadi banyak kekurangan, yang mengakibatkan dirinya dan rekan-rekan buruh melakukan penolakan.
Said mengataka,n pembahasan Omnibus Law yang tidak melibatkan serikat buruh menjadi satu di antara beberapa alasan ia melakukan penolakan.
"Tidak melibatkan serikat buruh, dijawab dengan mendegradasi, mengurangi angka tingkat kesejahteraan buruh, bahkan ada yang dihilangkan," katanya.
Said menjelaskan di negara-negara maju, pembahasan perkembangan investasi dibarengi dengan pencarian cara bagaimana melindungi perekonomian di dalam negeri.
Said justru merasa dengan adanya peraturan baru di Omnibus Law Cipta Kerja, nasib buruh di Indonesia akan semakin memburuk.
Said lalu memaparkan tiga poin perlindungan yang seharusnya ada dalam Omnibus Law.
Tiga poin tersebut adalah kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan pensiun serta kesehatan.
"Ada 3 seharusnya perlindungan itu tercermin dalam sebuah undang-undang," ujar Said.
"Pertama adalah job security, kepastian kerja, outsourcing yang seumur hidup, karyawan kontrak yang boleh seumur hidup, enggak ada kepastian kerja. Dalam RUU Omnibus Law itu tercermin."
"Kedua adalah income security, jaminan pendapatan dengan sistem upah minimum yang dihapus, walaupun tetap diperkenalkan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang berlau sekarang itu cuma UMK, dan UMSK."
"Yang terakhir adalah yang disebut dengan social security, sistem yang sekarang dikenal dalam Omnibus Law, model hubungan industrial, dimana bebas outsourcing, karyawan kontrak, upah per jam."
"Otomatis tidak mungkin buruh yang masuk dalam pasar kerja, bekerja itu akan memperoleh jaminan pensiun, siapa yang bayar? "
"Begitu pula dengan jaminan kesehatan," lanjut Said.
Omnibus Law diketahui merupakan metode untuk menggabungkan beberapa aturan menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Hal itu ditujukan untuk memangkas birokrasi yang berbelit dan meminimalisir terjadinya pungli, korupsi, tumpang tindih peraturan dan penyelewengan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam merancang Omnibus Law, yakni UU Perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
Hingga saat ini DPR telah menerima dua draf Omnibus Law, yakni RUU Cipta Kerja dan RUU Perpajakan dan Penguatan Perekonomian dari pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto juga mengatakan bahwa dalam perancangannya, pemerintah telah berdialog dengan 10 Konfederasi Pekerja saat merancang RUU Cipta Kerja.
• Saling Bersuara Keras, Fadjroel Rachman pada Sudjiwo soal Omnibus Law: Anda Belum Baca Tampaknya
Lihat videonya di bawah ini mulai menit ke-4.00:
Refly Harun Curiga Jokowi Tumpuk Kekuasaan Lewat Omnibus Law
Sebelumnya, pakar hukum tata negara Refly Harun menjelaskan pandangannya terkait Omnibus Law rancangan pemerintah.
Pria yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama Pelindo I itu khawatir Omnibus Law justru rawan disalahgunakan oleh pemerintah pusat untuk memusatkan kekuasaan.
Penyalahgunaan tersebut di antaranya berupa pembatalan Perda melalui Peraturan Presiden.
• Mahfud MD Sebut Ada Salah Ketik di Omnibus Law Cipta Kerja, Bivitri Susanti: Saya Ketawa
Dilansir TribunWow.com dari video unggahan kanal Youtube Talk Show tvOne, Senin (17/2/2020), mulanya Refly mengatakan dirinya memiliki pandangan positif terhadap adanya Omnibus Law.
Sebab ia mengira hal tersebut nantinya akan semakin memperlancar birokrasi yang rumit.
"Bayangan saya adalah permudah lapangan kerja dengan menghilangkan pungli, dengan menghilangkan pungutan-pungutan yang tidak penting," kata Refly.
Namun di sisi lain, Refly takut pemerintah pusat justru melakukan penyelewengan dalam pelaksanaan Omnibus Law.
"Kemudian mempermudah birokrasi yang berbelit, dan lain sebagainya, tetapi tentu bukan menciptakan monster baru kekuasaan," jelasnya.
"Misalnya pemerintah pusat diberikan kewenangan yang luar biasa, menurut saya."
"Jadi kewenangan membatalkan Perda melalui Peraturan Presiden itu kan bertabrakan dengan konstitusi."
"Kewenangan membatalkan undang-undang dengan peraturan pemerintah juga tidak sesuai dengan konstitusi, lalu kemudian perspektifnya terlalu pemerintah pusat center (berpusat)."
"Jadi melihat segala sesuatunya itu dari kaca mata pemerintah pusat," sambungnya.
Refly kini menduga Omnibus Law justru akan semakin banyak merugikan negara dibandingkan menguntungkan.
Ia khawatir Omnibus Law akan menjadikan kekuasaan pemerintah pusat semakin luas dan besar.
"Padahal yang saya bayangkan adalah, undang-undang ini undang-undang yang betul-betul memapas segala penyakit dari birokrasi, dan kemudian juga bisa membunuh wabah-wabah korupsi," kata Refly.
"Tapi yang terjadi sepertinya bukan begitu, justru penumpukan kekuasaan di pemerintah pusat, ini yang saya khawatirkan."
"Biasanya kan kalau orang yang berkuasa memerintah itu selalu berpikir bahwa dia harus diberikan kekuasaan yang besar, karena dia menjalankan amanah."
Refly menjelaskan bahwa semakin tingginya kekuasaan maka kemungkinan untuk terjadinya korupsi akan semakin besar.
"Tapi kita jangan lupa yang namanya power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup), jadi selalu harus ada pembatasan terhadap kekuasaan," ujarnya.
Refly menjelaskan kemungkinan terjadinya hal tersebut sudah dibatasi oleh sistem konstitusional Indonesia yang mendistribusikan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, yudikatif.
"Pembatasan itu adalah sistem konstitusional kita, sistem hukum kita sudah kita buat dalam sistem konstitusional, di mana misalnya kita membuat undang-undang, harus ada join power antara DPR dan presiden, lalu kemudian ada DPD apabila berkenaan dengan otonomi daerah," paparnya.
"Ini adalah sebuah bangunan sistem yang tidak saja berguna bagi hukum itu sendiri," lanjut Refly.
Omnibus Law diketahui merupakan metode untuk menggabungkan beberapa aturan menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum.
Hal itu ditujukan untuk memangkas birokrasi yang berbelit dan meminimalisir terjadinya pungli, korupsi, tumpang tindih peraturan dan penyelewengan lainnya.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan pemerintah dalam merancang Omnibus Law, yakni UU Perpajakan, cipta lapangan kerja, dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM).
• Kritik Sistem Upah hingga PHK Kaum Buruh dalam Omnibus Law, Presiden OPSI: Bagaimana Tidak Pesimis?
Lihat videonya di bawah ini mulai menit ke-2.22:
(TribunWow.com/Anung Malik)