TRIBUNWOW.COM - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mati.
Hal tersebut disampaikannya dalam salah satu segmen di Indonesia Lawyers Club (ILC) yang mengusung tema "Masihkah KPK Bertaji?" pada Selasa (14/1/2020).
"Menurut saya, KPK bukan tidak bertaji, tapi mengutip judul Superman is Dead, KPK sudah mati," kata Denny Indrayana mengawali pernyataannya.
• Bantah Dewas Menghalangi Kinerja KPK, Tumpak Panggabean: Jangan Tanya Sudah Mengeluarkan Izin
"Kalau pun sekarang kita lihat KPK secara institusi, secara kelembagaan masih ada, tapi roh dan spiritnya sebenarnya sudah tidak ada," lanjut Denny.
Denny berusaha menghaluskan istilah yang digunakannya dengan menyebut "mati suri".
Ia menyayangkan hal semacam ini yang bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia.
Denny menyebutkan lembaga antikorupsi serupa sudah belasan kali ada sebelum akhirnya tidak beroperasi lagi.
"KPK ini termasuk yang relatif lama bertahan, lebih kurang 17 tahun sejak 2002," jelasnya.
"Yang lain bertahan ada yang hitungan 1-2 tahun, bahkan kurang dari 1-2 tahun," kata Denny.
Menurut Denny, ada beberapa faktor yang membuat KPK dapat bertahan sejauh ini.
"Kenapa KPK bisa bertahan sedemikian lama? Salah satunya karena semangat reformasi, keterbukaan, kontrol teman-teman civil society (masyarakat madani), termasuk media," terang Denny.
• Soal Kasus Suap Caleg PDIP, ICW Pertanyakan Sikap Ketua KPK Firli Bahuri: Ke Mana Beberapa Hari Ini?
Denny kemudian mengapresiasi investigasi yang dilakukan salah satu media terhadap kasus yang baru-baru ini dihadapi KPK.
Ia menyebutkan kehadiran media berperan penting dalam membantu menghadirkan KPK di tengah masyarakat.
"Di satu sisi, dari sisi penegakan hukum itu memang problematik," kata Denny.
"Tapi di tengah sistem penegakan hukum kita yang tumpul kepada untouchable, maka cara-cara media yang melakukan investigasi dan berhasil mendapatkan informasi yang sulit itu, yang selama ini justru menghadirkan KPK yang bertahan 17 tahun dibandingkan lembaga antikorupsi sebelumnya yang mati dalam hitungan 1-2 tahun saja," lanjutnya.
Pelemahan KPK
Membahas pelemahan KPK, Denny menyarankan beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menguatkan posisi KPK.
"Satu, masukkan dia menjadi organ konstitusi. Ini pendekatan hukum tata negara, bidang yang saya pelajari," jelas Denny.
Menurut Denny, mayoritas lembaga antikorupsi di negara-negara Asia Tenggara lain dasar hukumnya ada di konstitusi.
Selama ini, dasar hukum KPK ada di undang-undang sehingga dapat diubah dengan mudah melalui revisi undang-undang.
"Kenapa penting untuk menaikkan pada level konstitusi? Supaya tidak kemudian seperti ini. Begitu ingin dilemahkan, ubah undang-undangnya dengan mudah," katanya.
"Ketimbang memeperdebatkan perlu tidaknya GBHN (Garis Besar Haluan Negara), kalau kita betul-betul ingin menyelamatkan Indonesia dari praktik korupsi, masukkan KPK ke konstitusi," tegas Denny.
• KPK Tak Kunjung Geledah Kantor PDIP, Haris Azhar Lantang Sampaikan Kritikan: Itu Namanya Pelesiran
Denny menyebutkan perlu adanya perlindungan imunitas KPK.
Hal ini membuat para komisioner KPK rentan mendapat serangan secara pribadi.
"Teman-teman KPK ini enggak ada imunitasnya, sehingga mudah dikriminalisasi, mudah dilempar bom molotov," kata Denny.
"Kita masih berutang mata dengan Novel Baswedan. Dan komisioner sudah menghadapi beberapa cicak dan buaya tanpa kemudian ada proteksi. Mana imunitasnya?" lanjutnya.
Denny juga menyayangkan DPR tidak memandang KPK perlu memiliki imunitas, padahal DPR sendiri memiliki imunitas pada saat melaksanakan tugas.
Ia juga menyarankan agar dibangun cabang KPK di beberapa daerah serta anggaran KPK diperbanyak.
"Yang terakhir, perbanyak anggarannya," kata Denny.
• Komentari Kasus Suap Politisi PDIP, Haris Azhar Singgung Kinerja Pimpinan Baru KPK: Ada Kegagapan
Independensi KPK
Denny menyayangkan revisi Undang-Undang KPK yang tercatat dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 justru semakin melemahkan KPK.
"Urat nadi KPK itu apa, sih? Independensi," katanya.
Ia mempertanyakan posisi KPK yang tidak ada di cabang kekuasaan mana pun, termasuk kekuasaan eksekutif.
Setelah dilakukan revisi UU KPK, lembaga tersebut kemudian menjadi lembaga eksekutif yang bertanggung jawab kepada presiden.
"Jadi kalau kita bicara independensi, undang-undang ini jelas mem-preteli itu. Memposisikan dia ke dalam eksekutif, di bawah presiden, bertanggung jawab kepada presiden," kata Denny.
"Dia bukan lagi independent agency. Dia executive agency. Beda sekali. Padahal dengan demikian dia mudah diintervensi," jelasnya.
Ia menyebutkan banyak pihak yang ingin menginervensi independensi KPK, baik dari luar maupun dalam lembaga itu sendiri.
Bahkan Denny mengatakan keberadaan Dewan Pengawas KPK merupakan bentuk intervensi yang dapat menghambat kerja KPK.
"Bagi saya tidak penting apakah ada surat penggeledahan atau tidak ada surat penggeledahan," katanya.
"Yang terjadi sekarang KPK tidak bisa melaksanakan tugasnya," lanjut Denny.
Lihat videonya dari awal:
• Tersangka Kasus Suap Harun Masiku Diduga Ada di Singapura, KPK Sebut Sudah Antisipasi
(TribunWow.com/Brigitta Winasis)