TRIBUNWOW.COM - Menko Polhukam Mahfud MD menjelaskan ada beberapa situasi di mana kekerasan aparat tidak bisa dikatakan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Kondisi tersebut di antaranya adalah situasi di mana aparat bertindak atas keadaan kondisi dan situasi di lapangan.
Dikutip TribunWow.com, Mahfud MD mengatakan aparat tidak salah jika melakukan balasan dalam aksi demonstrasi.
• Mahfud MD Sebut Kemungkinan Pelanggaran HAM di Era Jokowi: Ada Beberapa tapi Belum Kesimpulan
Balasan dilakukan saat aksi demonstrasi sudah terlewat batas menjadi kerusuhan.
"Itu kerusuhan, tidak bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan oleh aparat ketika dia membalas dengan gas air mata, masa itu pelanggaran HAM?" jelas Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (17/12/2019).
Mahfud MD menjelaskan pelanggaran HAM merupakan aksi yang dilakukan secara terencana dan terstruktur.
Ia kemudian mencontohkan bagaimana aksi pelanggaran HAM dilakukan, yaitu apabila aparat telah menargetkan orang-orang tertentu untuk ditangkap, kurung, dan langkah lainnya.
"Pelanggaran HAM itu dilakukan secara terencana, terstruktur," kata Mahfud MD.
"Sebelum berangkat, kamu nanti begini, tembak orang ini, kurung orang itu, hilangkan orang itu. Itu yang dikatakan pelanggaran HAM," tambahnya.
Berbeda dengan pelanggaran HAM, kasus 21-23 Mei menurut Mahfud MD merupakan sebuah kerusuhan.
Ia menyebut korban dari kedua belah pihak sama-sama banyak.
"Tapi kalau biasa, bisa kerusuhan, bisa konflik, bisa perkelahian, dan yang kasus 21 sampai 23 Mei itu, daftar korbannya dari polisi banyak," kata Mahfud MD.
Mahfud MD menegaskan saat peristiwa kerusuhan di depan Gedung Bawaslu tersebut tidak terjadi pelanggaran HAM yang direncanakan pemerintah, karena aparat hanya bereaksi terhadap situasi di lapangan.
"Tapi dikalangan pendemo juga banyak, di situ belum ada pelanggaran HAM, dalam arti pelanggaran HAM (vertikal)," tegasnya.
Apa yang terjadi pada kerusuhan di depan Gedung Bawaslu menurut Mahfud MD merupakan tipe pelanggaran HAM yang terjadi secara horizontal, bukan karena rencana pemerintah.
"Bahwa terjadi perkelahian, kerusuhan, keributan, itu iya, di situ pelanggaran HAM terjadi secara horizontal, itu namanya bukan pelanggaran HAM dalam istilah yang dipakai untuk dunia penegakkan hukum," papar Mahfud MD.
• Mahfud MD Kritik Wartawan soal Tak Ada Pelanggaran HAM Era Jokowi: Banyak yang Tak Ngerti Hukum
Video dapat dilihat di menit 21.40
Mahfud MD Sebut Sederet Hambatan Penyelesaian Kasus HAM
Ada beberapa alasan yang disebutkan oleh Mahfud MD, mulai dari kesulitan mencari pelaku dan korban, hingga sulitnya pencarian bukti.
Dikutip TribunWow.com, mulanya Mahfud MD menjelaskan apa yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah penyelesaian kasus HAM di masa lalu.
• Mahfud MD Klaim Tak Ada Pelanggaran HAM di Era Jokowi, Komnas HAM Beka Ulung Sebut Tak sesuai Fakta
Mahfud MD mengatakan belum ada kasus pelanggaran HAM di era Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sudah dinyatakan benar pelanggaran oleh Komnas HAM.
"Saya ingin menunjukan apa yang kami lakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu yang itu tidak terjadi di era Pak Jokowi," jelas Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (17/12/2019).
"Yang terjadi di era Pak Jokowi itu belum diputuskan oleh Komnas HAM."
"Dan belum ada satupun Komnas HAM menyatakan di era Pak Jokowi ada pelanggaran HAM," tambahnya.
Setelah melakukan konfirmasi ke Komnas HAM, Mahfud MD menegaskan kasus pelanggaran HAM di era Jokowi masih diperiksa oleh lembaga tersebut.
"Saya sudah konfirmasi ke HAM (Komnas HAM) masih dalam proses-proses," ujar Mahfud MD.
Ia tidak menampik jika memang ditemukan pelanggaran HAM di era Jokowi, kasus tersebut akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
"Tapi kita akan selesaikan itu secara fair (adil)," kata Mahfud MD.
Mahfud MD lanjut menyatakan komitmennya menyelesaikan kasus HAM yang tak tuntas pada pemerintahan-pemerintahan terdahulu.
"Jadi begini pelanggaran HAM masa lalu yang 12 itu, yang ditinggalkan ke saya, nanti kita harus selesaikan karena itu tidak selesai," katanya.
Ada beberapa masalah yang terjadi menurut Mahfud MD, pertamanya adalah karena kasus tersebut selalu digaungkan untuk kepentingan politik.
Padahal berdasarkan penjelasannya, kasus tersebut telah usai.
"Sebenarnya banyak masalah, satu masalahnya sendiri sebenarnya sudah selesai, cuma selalu disebut dalam event (peristiwa) politik," jelas Mahfud MD.
Masalah kedua yang dialami oleh Mahfud MD adalah kesulitan mencari korban dan pelaku yang peristiwanyan sendiri telah berlangsung berpuluh-puluh tahun lalu.
"Kedua pelaku dan korbannya sudah tidak ada," ujar Mahfud MD.
"Peristiwa '84 Petrus, itu juga korbannnya siapa? Yang dirugikan siapa? Itu tidak ditemukan, termasuk oleh Komnas HAM juga."
"Kemudian ada yang bisa diadili, dan itu masih dalam proses sekarang," tambahnya.
Selanjutnya Mahfud MD mengakui untuk menentukan siapa pihak yang menjadi korban dan pelaku adalah hal yang sulit karena persitiwa sudah terjadi jauh di masa lalu.
"Kemudian ada yang sudah tidak bisa, seperti misalnya tidak jelas, kasus '65, pelakunya siapa, korbannya siapa, kalau menunjukan si korban si A si B juga menggugat saya juga menjadi korban," terangnya.
"Yang seperti itu harus diselesaikan, jangan hanya jadi debat kusir," tambahnya.
• Di ILC, Mahfud MD Blak-blakan Akui Banyak Pelanggaran HAM Era Jokowi, hingga Singgung Rusuh Papua
Komnas HAM dan Kejaksaan Agung Saling Menghindar
Dalam penyelesaian kasus HAM, Mahfud MD mengatakan dirinya sangat berniat dan berkomitmen.
"Saya sungguh-sungguh ingin melakukan ini, saya sudah bertemu masing-masing dengan Komnas HAM," ujarnya.
Mahfud MD mengatakan masalah lain yang ia hadapi adalah dari pihak Kejaksaan Agung dan Komnas HAM saling lempar tanggung jawab.
Ketika dirinya berdiskusi dengan Komnas HAM untuk penyelesaian kasus HAM, ia dilempar ke Kejaksaan Agung, dan begitu juga sebaliknya.
"Karena untuk beberapa kasus, Komnas HAM mengatakan ini harus dibawa ke pengadilan karena terjadi pelanggaran HAM berat," kata Mahfud MD.
"Kemudian dikembalikan Kejaksaan Agung, Anda tidak punya cukup bukti secara formiil maupun materiil."
"Komnas HAM membalikkan kembali, tugas Anda yang mencari bukti."
"Kami sudah berkeyakinan kalau tidak punya bukti, kata Komnas HAMnya sudah keluarkan SP3."
"Kejaksaan Agung mengatakan saya tidak bisa keluarkan SP3, karena bukti Anda belum lengkap," imbuhnya.
Karena tidak adanya kejelasan penyelesaian kasus dari kedua belah pihak, Mahfud MD mengatakan kasus penyelesaian HAM di Indonesia akhirnya terhenti tanpa kejelasan.
"Jadi macet di situ, terus gimana?" katanya.
Untuk mengakhiri kondisi penyelesaian HAM yang stagnan tersebut, Mahfud MD menggunakan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR).
Ia yakin nantinya dengan menggunakan UU KKR, kasus HAM di Indonesia dapat dituntaskan.
"Semuanya saling menghindar, saling mengunci," jelas Mahfud.
"Kalau anda tidak bisa membuktikan, lalu Jaksa Agung menyatakan tidak bisa melanjutkan, lalu tidak boleh macet di sini."
"Itulah kemudian persetujuan dituangkan dalam Undang-Undang nantinya."
"Itu yang kita sebut untuk sementara Undang-Undang KKR itu."
"Cari faktanya, ungkap faktanya, kemudian kalau tidak bisa dibuktikan, nyatakan tidak bisa, tidak ditemukan lagi buktinya," lanjutnya.
• Jawaban Mahfud MD saat Ditanya soal Tahun 2024, Justru Sebut Angka 67
(TribunWow.com/Anung Malik)