Jumlah golongan yang terlalu banyak berdampak pada antrenya pegawai untuk mengejar eselonisasi, mulai eselon IVA, IAV B, III A, III B dan lainnya.
Kalau antreannya tak tercapai, kata Dedi, biasanya mereka frustasi dan seringkali berubah menjadi oposisi di internal pemerintah.
Kerjanya tidak baik, tetapi setiap hari ngoceh dan ngomel.
"Kadang kolaorbasi dengan LSM tak jelas, menyampaikan apa saja di kantor. Itulah keksiruhan di berbagai OPD daerah, bisa jadi di provinsi juga sama. Bahkan bisa jadi di pusat juga modelnya begitu," kata ketua DPD Golkar Jawa Barat ini.
Dampak dari itu, capaian-capaian kinerja pemerintah menurun.
Jadi pada akhirnya pekerjaan-pekerjaan itu dikerjakan oleh pegawai level kecil, bukan besar.
Sebab, pegawai level besar hanya berkutat pada wilayah administrasi.
Bekerja hanya menjadi tukang paraf dan tanda tangan.
"Apalagi misalnya tidak dia tak punya ide inovasi, maka nyaris mati. Fungsi dan perannya hanya sekadar serap anggaran, bukan berpikir membangun inovasi," kata wakil ketua Komisi IV DPR RI ini.
Akhirnya, lanjut Dedi, struktur orgaisasi tata kerja bukan didasarkan pada kebutuhan, tetapi hanya untuk menampung jabatan.
Fenomena itu bisa terjadi di daerah sampai pusat.
Sehingga karena struktur organiasi pemerintah hanya untuk menampung jumlah jabatan, maka dampaknya adalah pemembengkakan anggaran.
"Pejabat yang tak produktif tetapi mendapat tunjangan rutin, tunjangan kendaran dan pakaian dinas dan lainnya."
"Sehingga dari tahun ke tahun, anggaran pemerintah tak tidak efektif. Tidak ada kerangka pembangunan yang kuat berdasakan anggaran karena uangnya habis untuk biaya rutin," katanya.
• LGTB Dilarang Lamar CPNS 2019, Kejaksaan Agung Sebut Tim Medis dan Psikolog akan Mendeteksinya
Miskin struktur, kaya fungsi