"Justru yang paling berbahaya adalah pelaku-pelaku tunggal ini karena dia tidak terdeteksi," terangnya.
"Dia merencanakan sendiri karena dia tidak terdeteksi, dia merencanakan sendiri, melakukan sendiri."
Lantas, Stanislaus mengungkap perbedaan dengan terorisme yang dilakukan secara berkelompok.
"Berbeda dengan pelaku yang mungkin dia adalah kelompok, dia membangun komunikasi di aplikasi percakapan, itu bisa dipantau," ucap Stanislaus.
Menurutnya, aksi bom akhir-akhir berhasil dilakukan oleh para teroris yang bekerja sendiri tanpa kelompok.
"Makanya akhir-akhir ini pelaku yang sukses melakukan aksi adalah alone work, atau sel-sel kecil yang dalam keluarga," terang Stanislaus.
"Ini ada perbedaan model sekarang mereka yang dulu kelompok-kelompok besar sekarang justru jadi keluarga," sambungnya.
• Ledakan Bom Bunuh Diri Terjadi Polrestabes Medan, Ini Kata Pengamat Terorisme
• Soal Bom Bunuh Diri di Polrestabes Medan, Mahfud MD: Masyarakat Jangan Selalu Nyinyir ke Pemerintah
Lantas, Stanislaus memberikan beberapa aksi terorisme yang sukses dilakukan sendirian.
"Sudah terjadi di di Surabaya, Sibolga dan kasus Pak Wiranto, ini sulit dideteksi karena mereka bergerak di level keluarga, tidak melakukan percakapan dengan siapapun," ucapnya.
"Dia melihat momentum, ketika kasus Pak Wiranto kan memang momentum ada pejabat dia melakukan aksi."
Lebih lanjut, Stanislaus mengungkap motif pelaku terorisme tersebut.
"Tapi dalam konteks ini saya lihat kecenderungannya pengaruh lebih besar adalah balas dendam dari Abu Bakar Al Baghdadi," terangnya.
"Dan ada seruan dari timur tengah sana ketika pada awal tahun kemarin mereka terdesak, ada perintah untuk melakukan aksi amaliyah di tempat masing-masing."
Lantas, Stanislaus mengungkap waktu-waktu favorit para terorisme untuk melakukan aksi teror.
"Dan mereka punya momentum favorit seperti bulan puasa, natal, tahun baru, itu waktu favorit mereka untuk melakukan aksi," ucapnya.