TRIBUNWOW.COM - Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh menyebut penyusunan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) bukanlah penyusunan Undang Undang (UU) biasa.
Oleh karena itu, Mohammad Nuh berharap agar ada perhatian lebih pada penyusunan RKHUP.
Mohammad Nuh menyampaikan hal itu saat diundang di acara Jurnal Pagi yang juga tayang di channel YouTube BeritaSatu pada Senin (23/9/2019).
Ketua Dewan Pers itu merasa RKUHP adalah hal yang sangat penting.
• RKUHP Dinilai Bisa Turunkan Jumlah Wisatawan Asing di Indonesia, Ini Tanggapan Para WNA
"Kita punya Undang Undang, judulnya itu subjek langsung, Undang Undang Pendidikan Nasional, Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang Undang Tentang Pers. Tapi ini enggak, ini Undang Undang Kitab Hukum Pidana, Kitab, jadi yang disusun ini Kitabnya," tgas Mohammad Nuh.
Karena itu, Mohammad Nuh menilai penyusunan RKHUP adalah suatu yang penting karena menyangkut banyak hal nantinya.
"Oleh karena itu harus kita berikan perhatian yang sangat khusus, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bukan sekedar Undang Undang Hukum Pidana, ini Kitabnya," ujar Mohammad Nuh.
Bahkan, Mohmmad Nuh menyebut ada dua hal yang sangat esensial perlu diperhatikan dalam penyusunan RKUHP.
"Oleh karena itu kalau menggunakan kata 'Kitab' ada dua hal yang sangat esensial, yaitu apa? Keutuhan dan yang kedua keabadian," jelas Mohammad Nuh.
Menurut Mohmmad Nuh, Kitab Undang-undang Hukum Pidana akan digunakan dalam jangka waktu yang lama.
Sehingga perlu banyak pertimbangan mengenai perkembangan zaman nantinya.
• Ikuti Proses Pembuatan RKUHP selama 25 Tahun, Wartawan Senior Kompas: Ada Fenomena Menarik
"Kalau kita nyusun sekarang ini tidak mengantisipasi perubahan kedepan, terus gimana nasib kitab ini," ujar Mohammad Nuh.
Selain itu ia juga memperingatkan penggunaan kata dalam RKUHP.
Baginya RKUHP tidak boleh memiliki makna ganda atau multitafsir.
"Oleh karena itu penjelasan yang ada di KUHP atau yang sekarang masih R itu, itu menjadi sangat penting, sehingga jangan sampai nanti multitafsir," ucap Mohmmad Nuh.
Menurutnya, multitafsir dalam Kitab Undang-Undang dapat membuat kitab tersebut disalahgunakan nantinya.
"Kalau multitafsir itu fleksibel, kalau fleksibel itu menjadi bisa disalahgunakan. Dan ini lah yang rawan itu," tambahnya.
• Banyak Pasal yang Multitafsir di RKUHP, Ketua YLBHI Samakan dengan Aturan Zaman Kolonial Belanda
Lihat video pada menit ke-2:55:
Mengani RKUHP, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) sudah memutuskan untuk menunda pengesahan.
Hal itu disampaikan pada siaran langsung Kompas TV pada Jumat (20/9/2019).
Menurut penuturannya, Jokowi ingin persoalan RUU KUHP dilanjutkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode selanjutnya.
"Selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini," ucap Jokowi.
• Anggap Tak Masuk Akal, Hotman Paris Layangkan Protes soal RKUHP Perzinaan: Dimana Logika Hukumnya
Selain itu Jokowi juga berharap agar seluruh anggota DPR bisa menerima keputusannya.
"Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama, sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya," ujar Jokowi.
Selama penundaan pengesahan RUU KUHP, Jokowi meminta menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk melakukan pengkajian ulang.
Ia berharap dari penundaan itu, masukan dari kalangan masyarakat dapat menjadi pertimbangan, dalam pembuatan revisi RUU KUHP.
"Saya juga memerintahkan menteri hukum dan HAM untuk kembali menjalin masukan-masukan dari berbagai kalangan masyrakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada," jelas Jokowi.
(TribunWow.com/Ami)