TRIBUNWOW.COM - Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terutama pasal menyangkut menunjukkan alat kontrasepsi pada anak-anak menjadi satu di antara pasal yang menjadi kontroversi.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menjelaskan ketentuan itu, berhubungan dengan seseorang yang dengan sengaja menujukkan alat kontrasepsi dan menunjukkan cara mendapatkannya bagi anak-anak.
Yasonna menjelaskan, perubahan tersebut terkait bentuk hukuman pidana yang dianggap lebih meringankan dibanding peraturan sebelumnya.
"Ini ada di KUHP, ada di Undang-Undang Kesehatan. Karena ini adalah hukum pidana kodifikasi, meng-codify (kodifikasi) ketentuan yang ada sebagai konstitusi hukum pidana, kita atur," kata Yasonna dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019).
"Dan ancaman hukum pidananya itu lebih rendah dari KUHP yang ada," imbuh Yasonna dalam konferensi pers di Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9/2019)
Yassona membeberkan terdapat pengecualian dalam pasal tersebut.
Jika alat kontrasepsi ditunjukkan lantaran alasan program keluarga berencana hingga demi kepentingan ilmu pengetahuan, maka itu sah-sah saja dilakukan.
"Ketentuan ini memberikan perlindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas. Terdapat pengecualian jika dilakukan untuk program keluarga berencana, pendidikan, pencegahan penyakit menular, dan untuk ilmu pengetahuan," ucap Yasonna.
• Menkumham Jelaskan Maksud Pasal Penghinaan Presiden dalam RKUHP: Kritik Kebijakan Tak Ada Masalah
Selain itu, menteri 66 tahun ini menjelaskan tak ada hukuman pidana bagi pihak yang berkompeten untuk menjelaskan alat kontrasepsi.
"Dan ketentuan ini diatur juga dalam Undang-Undang Kesehatan. Maka kita buat dia di dalam generic form-nya di sini. Karena ini adalah bersifat kodifikasi yang terbuka," jelasnya.
Pada KUHP soal alat kontrasepsi kini berlaku bahwa barang siapa yang menunjukkan alat kontrasepsi pada anak-anak bisa terancam hukuman penjara paling lama dua bulan dan denda.
"Barangsiapa secara terang-terangan mempertunjukkan sesuatu sarana untuk mencegah kehamilan maupun secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, ataupun secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bisa didapat, sarana atau perantaraan (diensten) yang demikian itu, diancam dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau pidana denda paling banyak tiga ribu rupiah," demikian bunyi Pasal 534.
• Menkumham Yasonna Laoly Jelaskan RKUHP Pasal Hina Presiden: Jangan Dikatakan Bungkam Kebebasan Pers
Sedangkan pada RKUHP, pasal menyangkut alat kontrasepsi itu tercantum pada Pasal 414.
"Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I," demikian bunyi Pasal 414.
Denda kategori I nilainya sebesar Rp 1 juta dan tidak ada ancaman hukuman penjara.
Jokowi Tunda Pengesahan RKUHP
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), setelah banyaknya penolakan yang bermunculan.
Dengan menunda pengesahan RUU KUHP, Jokowi berharap dapat dilakukan pengajian ulang mengenai seluruh materi di dalamnya.
Hal itu disampaikan melalui tayangan langsung di Kompas TV, Jumat (20/9/2019).
Jokowi secara resmi menyampaikan bahwa pengesahan RUU KUHP akan ditunda.
Menurut penuturannya, Jokowi ingin persoalan RUU KUHP dilanjutkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode selanjutnya.
"Selaku wakil pemerintah untuk menyampaikan sikap ini kepada DPR RI yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda dan pengesahannya tidak dilakukan oleh DPR periode ini," ucap Jokowi.
Selain itu Jokowi juga berharap agar seluruh anggota DPR bisa menerima keputusannya.
• Ungkap Siapa yang Awasi DPR, Fraksi PDIP Diskakmat Pakar Tata Hukum Negara saat Bahas RUU KPK
"Saya berharap DPR juga mempunyai sikap yang sama, sehingga pembahasan RUU KUHP bisa dilakukan oleh DPR RI periode berikutnya," ujar Jokowi.
Selama penundaan pengesahan RUU KUHP, Jokowi meminta menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk melakukan pengajian ulang.
Ia berharap dari penundaan itu, masukan dari kalangan masyarakat dapat menjadi pertimbangan, dalam pembuatan revisi RUU KUHP.
"Saya juga memerintahkan menteri hukum dan HAM untuk kembali menjalin masukan-masukan dari berbagai kalangan masyrakat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU KUHP yang ada," jelas Jokowi.
Jokowi mengaku sudah melihat substansi dari RUU KUHP yang telah dibentuk oleh anggota DPR RI.
• Sebut 23 Anggota DPR Terjerat Korupsi Tahun 2014-2019, ICW: Ada Konflik Kepentingan dalam RUU KPK
"Tadi saya melihat materi-materi yang ada, substansi yang ada kurang lebih 14 pasal," ujar Jokowi.
Pada RUU KUHP itu akan kembali dilakukan pembahasan mengenai isi dari setiap pasal.
Tentunya dalam pembahasan RUU KUHP, presiden berharap agar melibatkan berbagai kalangan masyarakat.
"Nanti ini yang akan kami komunikasikan baik dengan DPR maupun dengan kalangan masyarakat yang tidak setuju dengan materi-materi yang ada," jelas Jokowi.
Adanya RUU KUHP yang dilakukan oleh anggota DPR cukup meresahkan masyarakat.
Seorang pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga memberikan penilaian tegas terkait RUU KUHP.
Dikutip TribunWow.com dari Kompas.com, Jumat (20/9/2019), menurut Fickar, RUU KUHP adalah bentuk dari kurangnya sosok negarawan yang bijak.
"Saat ini kita sedang mengalami krisis kenegarawanan yang bijaksana dan akomodatif terhadap masyarakatnya, yang banyak sekarang oligarki, yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya," kata Fickar, Kamis (19/9/2019).
Bahkan ia menilai kekurangan pemimpin yang bijak tidak hanya terjadi di ibu kota, namun di semua posisi jabatan.
"Kita krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level jabatan, termasuk yang tertinggi," tambahnya.
• Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Dukung RUU KPK dan Setuju Sejumlah Usulan, Ungkap Manfaat Penyadapan
Ia juga menyinggung satu pasal yaitu Pasal 167 yang berkaitan dengan makar.
Pengertian makar pada pasal tersebut adalah 'Niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut'.
Menurut Fickar pengertian dari makar pada pasal tersebut tidak sesuai dengan arti kata yang sesungguhnya.
"RKUHP cenderung mendefenisikan makar menjadi pasal karet yang dapat digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat," ujar Fickar.
(TribunWow.com/Mariah Gipty/Ami)