Revisi UU KPK

Bicarakan Revisi UU KPK, Saut Situmorang: Draft yang Diberikan Itu Tidak Bisa Kami Terima

Penulis: Atri Wahyu Mukti
Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Di ILC, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang angkat bicara mengenai Revisi UU KPK yang kini tengah santer dibicarakan publik.

TRIBUNWOW.COM - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang angkat bicara mengenai Revisi UU KPK yang kini tengah santer dibicarakan publik.

Saut Situmorang menjelaskan 10 persoalan di draf RUU KPK tidak bisa serta merta diterima pihaknya.

Hal itu dikatakan oleh Saut Situmorang melalui sambungan telepon dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di tvOne pada Selasa (10/9/2019) malam.

Saut mulanya menjelaskan mengenai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019 yang di dalamnya memuat Revisi UU KPK yang isinya kurang lebih sama dengan Revisi UU KPK terakhir.

Tolak Revisi UU KPK, Tsamara Amany: Berbahaya bagi Kelangsungan Demokrasi

Jusuf Kalla Ungkap Poin Revisi UU KPK yang Kemungkinan Disetujui dan Tidak: Paling Cuma Setengah

Ia menyoroti soal adanya penyadapan yang dipersulit dan dibatasi.

Dijelaskan, penyadapan dipersulit dan dibatas menimbulkan polemik lantaran penyadapan sangat berpengaruh signifikan dalam membongkar skandal korupsi.

"Ada prolegnas, itu tahun 2015-2019 ada sekitar 63 undang-undang itu, di nomor urut 63 itu rencana undang-undang KPK yang isinya sama lah, yang dewan pengawas dan seterusnya itu ya, penyadapan penyidik dari polisi dan sebagainya, itu di prolegnas itu ada naskah akademik di depannya," jelas Saut.

 "Naskah akademik itu menyebutkan poin-poin yang ada orang kasus lama enggak putus-putus dan seterusnya, dari potongan-potongan lah, yang menurut saya itu bisa debatible."

"Karena kemarin juga ada sebutan orang meninggal diadili segala macam, itu baru satu kasus. Enggak karena satu kasus itu secara keseluruhan KPK rusak," sambungnya.

Lebih lanjut, Saut menyinggung soal visi yang dimuat dalam Prolegnas 2015-2019.

Yakni soal pembangunan kualitas penegakkan hukum yang berkaitan dengan daya saing perekonomian nasional.

Menurutnya, soal daya saing perekonomian nasional juga berkaitan dengan indeks persepsi korupsi Tanah Air yang presentasenya dinilai masih cukup besar.

"Kedua, di dalam prolegnas 2015-2019 itu disebutkan itu visinya adalah pembangunan penegakan hukum dengan kualitas penegakan hukum untuk mendukung daya saing perekonomian nasional," papar Saut.

 "Lantas di dalamnya ada salah satu undang-undang KPK, ini keren kalau kita bicarakan daya saing perekonomian nasional."

"Apakah kalau kita bicara daya saing perekonomian nasional dan seterusnya seterusnya, dengan tingkat indeks persepsi korupsi kita yang 38 persen itu, di 9 lembaga yang menilainya, di sana perilaku kita diukur semuanya," sambungnya.

Mantan Ketua KPK Abraham Samad Sebut Revisi UU Malah Rentan Melemahkan Ketimbang Memperkuat

Pengamat Desak Presiden Jokowi Segera Tentukan Sikap soal Rencana Revisi UU KPK: Posisinya di Mana?

Terkait itu, Saut lantas memberikan kesimpulan mengenai draft RUU KPK yang tak bisa diterimanya.

"Apakah kita komit dengan visi misi itu? Artinya begini sekitar Febuari 2016, DPR kirim surat ke KPK, kami juga mendapat bahan itu, apa yang harus di revisi, kami ngirim surat resmi ke DPR sekitar Febuari 2016 itu juga," ungkap Saut.

"Kami berkesimpulan, draft yang diberikan itu tidak bisa kami terima dengan catatan bahwa undang-undang ini, sudah cukup kalau kita bicara visi, misi, prolegnas 2015-2019 itu," jelasnya.

Simak videonya dari menit 2.27:

Sementara itu, KPK melalui situs resminya, kpk.go.id, Selasa (10/9/2019), memberikan 10 persoalan Draf RUU KPK.

  1. Independensi KPK terancam
  2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi
  3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR
  4. Sumber penyelidik dan penyidik dibatas
  5. Penuntutan perkara korupsi harus koordinasi dengan Kejaksaan Agung
  6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria
  7. Kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas
  8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan
  9. KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan
  10. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas

Perjalanan RUU KPK

Diketahui sebelumnya, rencana revisi UU KPK sempat mencuat pada 2017 lalu, dikutip TribunWow.com dari Tribunnews.com, Selasa (10/9/2019).

Akan tetapi rencana itu ditunda karena mendapat penolakan keras dari kalangan masyarat sipil pegiat antikorupsi.

Hal ini karena mereka menilai poin-poin perubahan dalam UU tersebut akan melemahkan KPK.

Dan dalam Rapat Paripurna pada Kamis (5/9/2019), revisi UU KPK kembali mencuat dan disepakati semua fraksi di DPR.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga disebutkan telah membaca draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

• Saat Bambang Soesatyo Lupa Janjinya soal Revisi UU KPK yang Diucapkan seusai Dilantik Jadi Ketua DPR

Jokowi lantas meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, untuk mempelajari naskah revisi UU KPK yang diusulkan DPR.

"Saya diberikan draf revisi UU KPK untuk saya pelajari, itu saja dulu. Kami akan pelajari dulu. Kami lihat nanti seperti apa," ujar Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (6/9/2019).

Hingga Selasa (10/9/2019), draft RUU KPK itu masih diperhitungkan dan belum dikirim ke DPR terkait hasilnya.

(TribunWow.com/Atri Wahyu Mukti/Roifah Dzatu Azmah)

WOW TODAY: