Terkini Nasional

KPK Merasa Tak Dilibatkan dalam Revisi UU KPK, Masinton Pasaribu: Dia Enggak Paham, Miris Lihatnya

Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Berbagai pamflet orasi dibentangkan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk penolakan terhadap revisi Undang-Undang KPK di lobi gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (6/9/2019). Aksi ini merupakan penolakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dapat melemahkan KPK dalam memberantas korupsi.

TRIBUNWOW.COM - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah sempat mengatakan bahwa institusinya tak dilibatkan dalam revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. 

Menanggapi hal itu, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai KPK tak memahami konteks pembahasan revisi tersebut. 

"Ah dia (KPK) enggak paham, KPK itu institusi siapapun pimpinannya rapat, itu putusan institusi," ujar Masinton, di Jakarta, Sabtu (7/9/2019).

Meski sempat mengalami penundaan pembahasan di periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun rapat telah dilakukan setelahnya. 

Masinton mengatakan sebenarnya pada 2015 revisi UU KPK itu telah dibicarakan dalam rapat antara Komisi III DPR dengan lembaga antirasuah tersebut. 

"Pada saat rapat itu, KPK dipimpin Pak Taufiqurrahman Ruki. Jadi kalau dia (KPK) ngomong gitu, dia paham dulu lah, miris melihatnya," katanya.

Tantang Fahri Hamzah Tunjukkan Bukti Omongan soal Revisi UU KPK, Laode: Jangan Memutarbalikkan Fakta

 

Masinton Pasaribu (Kompas.com/Nabila Tashandra)

Sebelumnya, Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya belum mengetahui dan tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut.

Ia mengaku khawatir, rencana revisi UU KPK merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga antirasuah itu. 

"KPK belum mengetahui dan juga tidak pernah dilibatkan dalam penyusunan rencana revisi UU KPK tersebut. Apalagi, sebelumnya berbagai upaya revisi UU KPK cenderung melemahkan kerja pemberantasan korupsi," ujar Febri.

Bukan Kehendak DPR

Politisi PDIP lainnya yang juga anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan berkilah revisi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 merupakan keinginan dari KPK, bukan keinginan DPR.

‎"Padahal terkait revisi UU KPK ini kami ini merespon dari keinginan KPK sendiri," ujar Arteri dalam diskusi bertema KPK adalah Koentji, di Jakarta Pusat, Sabtu (7/9/2019).

Arteria mengatakan ‎Komisi III yang adalah mitra KPK mengirimkan suat meminta kejelasan terkait dukungan legislasi yang dibutuhkan KPK untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi KPK tidak hanya di bidang pencegahan dan juga Pemberantasan korupsi.

Arteria Dahlan (tribunnews)

"Kami selalu mensupport KPK, kami selalu menanya kebutuhan KPK, kami selalu melakukan penguatan. Penguatan legislatif buat KPK sendiri."

"Kemudian KPK menjawab terkait dengan penyempurnaan UU, ini bahasa KPK sendiri loh terkait UU nomor 30 tahun 2002‎.

KPK ingin kewenangan dalam penyadapan dan merekam ini kita lakukan. Kemudian pembentukan dewan pengawas, nama dewan pengawas KPK diksi yang pertama yang inisiasi mereka," tegas dia.

Masih menurut Arteria, ‎usulan dari KPK tersebut disampaikan kepada DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) lalu pada November 2015 disetujui seluruh fraksi dan pemerintah.

Atas hal itu, Arteria sangat ‎menyayangkan anggapan bahwa RUU KPK merupakan upaya untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Sebab kata Arteria tidak mungkin DPR ingin melemahkan KPK.

"Yang ingin saya katakan dikatakan RUU melemahkan. Apa iya DPR gila? Melemahkan? baca dulu. Bagian mana yang dikatakan melemahkan bahkan dilakukan penguatan."

Presiden Diminta Jangan Petieskan RUU KPK

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada unggahannya di Instagram, Jumat (23/8/2019) (Instagram @jokowi)
 
Cendekiawan muda berprestasi, Prof. Dr Bambang Saputra mengataka jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin maju maka tidak bisa bekerja sendiri.

Oleh karena itu lembaga antirasuah tersebut harus melibatkan lembaga lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

Apalagi penyidik yang bertugas di KPK juga berasal dari Kepolisian dan Kejaksaan guna bekerjasama memberantas korupsi.

"Mengenai RUU KPK maka KPK tidak perlu khawatir atau merasa dikebiri atau dibantai. Karena dalam menangani kasus-kasus korupsi di negeri ini, KPK tidak sendirian," ujar Prof Bambang Saputra yang dihubungi, Sabtu (7/9/2019).
"Masih ada kepolisian dan kejaksaan yang juga memiliki tanggung jawab yang sama dalam memerangi korupsi. Saya yakin, sekarang Kepolisian dan Kejaksaan sudah sangat professional dalam menjalankan tugasnya."

Guru Besar termuda Indonesia ini memaparkan memasuki era revolusi 4.0, maka tingkat kejahatan korupsi sudah lebih canggih, para koruptor akan lebih licik dalam menjalankan aksi bejatnya.

Oleh karena itu tanpa adanya bantuan dari Polri dan Kejaksaan maka KPK tidak akan bisa berjalan dengan sendirian.

Sehingga dalam menangani kasus-kasus mega korupsi di negeri ini KPK tidak bisa berjalan sendiri, akan tetapi harus bersinergi dengan institusi lain yang memiliki tugas yang serupa.

"Adanya pasal-pasal dalam RUU itu terbaca bahwa di era digitalisasi ini sudah semestinya KPK bersinergi dengan institusi lainnya yang justru memperkuat dan bukan sebaliknya," tandasnya.

Prof Bambang menjelaskan kata “memperkuat” di sini bukan berarti RUU harus dirancang dan dipaksakan untuk membuat KPK menjadi lembaga negara yang superbody.
Bersinergi juga harus dipahami bahwa suatu upaya pemberantasan korupsi itu agar jalannya tidak sempoyongan dan berjalan sempurna, maka harus dilakukan secara konprehensif.

Dari sudut pandang tersebut, maka letak keberhasilan pemberantasan korupsi itu adalah pada pencegahan yang dilakukan sebelumnya, dan bukan penangkapan-penangkapan setelah terjadinya.

"Paradigma inilah (penangkapan) yang sudah semestinya diluruskan. Dalam menangani kasus korupsi keberhasilan KPK adalah pada pencegahannya dan bukan penangkapannya."
"KPK merupakan suatu lembaga di hulu yang menyadarkan orang-orang agar tidak berlaku korupsi, dan bukan menunggu di hilir untuk menangkapi siapa-siapa yang korupsi," urainya.

"Di sini kita jangan berburuk sangka bahwa RUU ini kepentingan siapa, tetapi yang harus dipahami bahwa RUU yang sekarang itu eksistensinya jauh lebih konprehensif dibanding UU KPK yang lahir sebelumnya," tambahnya.

Lebih lanjut Prof Bambang mengatakan, RUU itu dibuat untuk memperkuat KPK sebagai lembaga anti rasuah, maka kesuksesan KPK dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terlepas dari peran serta semua elemen bangsa, terutama lembaga-lembaga negera yang lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan.

Dan, letak kesuksesan KPK dalam memberantas korupsi itu justru karena merangkul lembaga-lembaga lainnya untuk bekerja sama.

Atas dasar itu, sambung Prof Bambang, maka adanya RUU KPK yang konprehensif adalah sebuah keharusan demi perbaikan negeri ini ke depan, pemberantasan korupsi tidak dilakukan hanya sebatas penangkapan-penangkapan yang dianggap sebagai prestasi.
 


Akan tetapi pencegahan-pencegahan sebelum terjadinya tindakan korupsi itulah yang paling utama. Karena majunya suatu bangsa ditandai dengan tingginya kesadaran masyarakatnya untuk tidak korupsi.

"Hemat saya bapak Presiden Joko Widodo agar tidak setengah hati dalam menyikapi persoalan RUU KPK ini, dan segera memerintahkan menterinya untuk membahas RUU tersebut bersama DPR untuk segera disahkan," tegasnya.

Prof Bambang menilai RU KPK harus segera disahkan karena sebagai sebuah lembaga yang menangani kasus-kasus korupsi yang besar dari sisi restorative justice (keadilan bagi semua pihak) maka sudah sepantasnya KPK memiliki undang-undang yang lebih konprehensif.

Apalagi penanganan korupsi selalu menjadi masalah yang kompleks, maka sudah ideal jika Presiden mengakomodir semua pihak demi kebaikan bersama, dan bukan mempeti-es-kan RUU KPK yang diinisiasi oleh DPR.

"Harapannya, duduk bersama membahasnya adalah langkah dan solusi terbaik yang diambil presiden," paparnya.

Untuk menolak Revisi UU KPK, 5 Pimpinan KPK bahkan harus berkirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan, adanya penolakan karena RUU KPK justru melemahkan kinerja KPK sehingga bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia.

Berdasarkan aturan-aturan tersebut menegaskan Indonesia harus memiliki lembaga khusus anti korupsi, yang pelaksanaannya diatur secara khusus dan independen dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Sementara dalam revisi UU KPK, secara spesifik dalam proses penyadapan perlu dilaporakan ke Dewan Pengawas KPK yang bentukannya disusun oleh DPR sendiri.

Setidaknya 9 poin draft revisi UU KPK yang ditolak yaitu: Independensi KPK terancam, Penyadapan dipersulit dan dibatasi,

Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi, Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas,

Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan dan Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. (Tribunnews.com/Vincentius Jyestha Candraditya)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul KPK Protes Tak Dilibatkan dalam Revisi UU KPK, Politisi PDIP: Ah Dia Nggak Paham. . . dan  "Presiden Diminta Jangan Petieskan RUU KPK"

WOW TODAY: