TRIBUNWOW.COM - Pakar hukum pidana yang juga mantan hakim, Asep Iwan Iriawan memberikan tanggapannya atas rencana Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tak mengajukan gugatan sengketa pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) meski mengklaim ada kecurangan yang masif selama proses Pemilu 2019.
Dikutip TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Asep Iwan Iriawan saat menjadi narasumber di program Prime Talk, Metro TV, seperti tampak dalam saluran YouTube metrotvnews, Kamis (16/5/2019).
Awalnya, pembawa acara Metro TV, Rory Asyari menanyakan kepada Asep Iwan Iriawan soal ada tidaknya hukum pidana dari menolak pemilu, menarik saksi, hingga tak mengajukan gugatan sengketa ke MK.
• KPU Diputuskan Melanggar soal Input Situng, BPN Siapkan Peluru Baru: Agar 01 Didiskualifikasi
Asep lantas menjelaskan bahwa menolak pemilu hingga tak mengajukan gugatan itu tidak masalah dan merupakan hak dari pihak-pihak terkait.
Yang menjadi masalah, terang Asep, justru ketika ada pihak yang memprovokasi untuk mengganggu proses pemilu itu.
"Menolak hasil pemilu ya enggak apa-apa, itu haknya dia. Kemudian menarik saksi, wong saksi dari C1, TPS sudah ada saksi. Itu juga enggak ada masalah," jelas Asep.
"Nah terus tidak mengajukan (gugatan) juga tidak masalah. Itu kepentingannya dia."
"Tapi ketika ada uraian-uraian kalimat, misalkan di situ akan mengganggu pelaksanaan tahapan pemilu, jikalau kelak ada kejadian tindak pidana akibat proses pemilu, misalkan nanti tanggal 22 Mei atau sebelum 22 Mei ada tindakan, artinya apa? Ada yang memprovokasi dan itu adalah aktor intelektual," ungkap dia.
• Kuasa Hukum Ani Hasibuan Bantah Kematian Anggota KPPS karena Senyawa Kimia: Beliau Dikriminalisasi
Membahas hal itu, Rory lantas menanyakan kepada Asep terkait tindak hukum bagi orang yang memprovokasi untuk tak percaya dengan MK.
"Terkait memprovokasi orang untuk tak percaya Mahkamah Konstitusi apakah ada unsur pidananya juga?" tanya Rory.
Menjawab pertanyaan Rory, Asep langsung menyampaikan kalimat sindiran.
Ia menyebutkan, jika seseorang sudah tak percaya dengan MK, maka sebaiknya orang tersebut jangan hidup di Indonesia.
Hal ini dikarenakan, menurut Asep, sejak awal Indonesia sudah sepakat untuk membentuk kekuasaan kehakiman di tangan Mahkamah Konstisusi dan Mahkamah Agung.
"Gini kalau tidak percaya dengan Mahkamah Konstitusi yang jangan hidup di Indonesia," kata Asep Iwan Iriawan.
"Ketika kita sepakat untuk membentuk Republik Indonesia ada kekuasan kehakiman dibagi dua. Ada MA dan MK. Ketika orang tidak percaya dengan MA dan MK ya apalagi?" tambahnya.
• Presiden Jokowi Kunjungi NTB untuk Tinjau Fasilitas di Pantai Kuta Mandalika