TRIBUNWOW.COM - Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai masyarakat yang netral dalam musim pemilihan umum (Pemilu) menjadi kurang populer.
Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One dengan tema 'Menjelang Debat Capres: Penegak Hukum di Mata 01 & 02', Selasa (15/1/2019) malam.
Mulanya, Refly Harun mengaku khawatir dengan partai politik yang lebih mementingkan jabatan kadernya di pemerintahan, seperti menjadi menteri.
• Soal Penegakan HAM, Refly Harun: Penting Didiskusikan tapi Barangkali Tidak Penting untuk Dikerjakan
• Bahas soal Debat Pilpres, Sudjiwo Tedjo Ibaratkan Suasana seperti Rapat RT: Tahun Depan Enggak Usah
Menurut Refly Harun, banyak partai politik yang fokus untuk mencari portofolio ketimbang menyelesaikan persoalan bangsa.
"Saya khawatir semua jabatan ini sudah diijon, saya khawatir. Jadi menteri-menteri itu sudah diijon, ini partai A akan dapat ini. Maka kemudian di dua kubu sudah diijon," ujar Refly Harun.
"Maka kita tidak bicara lagi bahwa kita mau menyelesaikan persoalan bangsa, yang kita pikirkan, kita dapat portofolio apa atas jasa kita, misalnya mengusung kandidat presiden dan wakil presiden tertentu," sambung dia.
Oleh karena itu, Refly Harun mengaku dirinya lebih memilih netral ketimbang berkecimpung dalam panasnya pemilu kali ini.
"Karena itulah, terus terang saya pribadi tidak terlalu tertarik untuk berkecimpung di dua kubu ini, biar menjadi orang netral," ujar Refly Harun.
"Hanya masalahnya bang Karni, ini orang netral dalam musim pemilu seperti ini tidak cukup populer," imbuh dia.
• Refly Harun: Saya Tidak Yakin Pemilu 2019 Itu Bebas dari Money Politics
• Soal Tim Gabungan Kasus Novel Baswedan, Rachland Nashidik: Secara Konseptual Ada yang Membingungkan
Lebih lanjut, Refly Harun berharap dalam debat capres-cawapres nanti menjadi perdebatan yang mencerahkan dan paradigmatik.
Tak hanya itu, dirinya juga menyesalkan panelis yang tidak dapat mengajukan pertanyaan yang 'menusuk' kepada capres-cawapres.
"Ketika orang semua datang ke perahu A ke perahu B, karena itu saya berharap debat besok, saya setuju debat yang mencerahkan, debat yang paradigmatik," tutur Refly Harun.
"Menyesalkan kenapa panelis itu tidak diberikan kebebasan untuk mengajukan langsung pertanyaan yang little bit tricky yang menusuk dan agak susah dijawab, kecuali dengan pikiran-pikiran yang luar biasa."
Sebelumnya, Refly Harun tampak menyoroti persoalan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan korupsi di Indonesia.
Refly Harun juga menilai Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto tidak bisa dibandingan soal penegakan hukum.
"Saya ingin memberikan beberapa catatan dulu, kalau kita bicara tentang penegakan hukum, kalau kita bicara tentang Pak Jokowi, kita bicara orang yang sudah mengerjakan itu sebagai presiden, jadi yang sudah dilakukan dan yang akan dilakukan," urai Refly Harun.
"Kalau Prabowo, yang akan dilakukan. Dari sini saja sebenarnya sudah tidak seimbang. Kalau saya sebagai pengamat sebagai akademisi, pasti saya akan lebih tertarik akan mengulas apa yang sudah dilakukan," jelas dia menambahkan.
• Cara Kampanye Murah Ala Hengky Kurniawan, Sering Jadi Saksi Nikah
• Top Scorer Liga 1 2018 Aleksandar Rakic, Resmi Berseragam Madura United
Persoalan Korupsi
Refly Harun mengatakan, penegakan hukum soal HAM dan korupsi dianggap masih menjadi masalah.
"Saya bicara tentang mood secara umum tentang penegakan hukum terutama soal HAM dan korupsi. Saya menganggap bahwa, mood secara umumnya kita pasti sebagian besar masih menganggap jadi masalah," ujar Refly Harun.
Oleh karena itu, Refly Harun mempertanyakan apakah ada strategi yang tepat untuk mengatasi hal itu.
Menurutnya, strategi yang biasa tidak akan membuat bangsa Indonesia lepas dari persoalan HAM dan korupsi.
"Kalau strateginya biasa-biasa saja, maka kita tidak akan pernah keluar dari kubangan masalah ini," kata Refly Harun.
Lantas, Refly Harun mencontohkan soal Pemilu dan korupsi, dalam hal ini money politics.
Refly Harun menegaskan dirinya termasuk seorang yang tidak yakin bahwa Pemilu 2019 adalah pemilu yang jujur dan adil.
"Saya selalu mengulangi terus, saya termasuk yang tidak yakin bahwa Pemilu 2019 nanti konstitusional, yaitu pemilu yang jujur dan adil itu pasti tidak ada money politics-nya," ujar dia.
"Tapi di ruangan ini ada enggak yang bisa menjamin kira-kira bahwa nanti calon 01 dan 02 tidak melakukan money politics, saya tidak yakin," imbuh dia.
Menurutnya, masyarakat Indonesia sudah pada tahap keyakinan jika pemilu pasti ada money politics.
'Kita sudah sampai tahap keyakinan bahwa kalau Anda money politics, Anda belum tentu dipilih. Tapi kalau Anda tidak money politics, Anda sudah pasti tidak dipilih, jadi paradigma sudah begitu," beber Refly Harun.
Dikatakannya, money politics seperti perjudian saja.
"Karena itu money politics, seperti orang gambling saja, beri pasti ada choice, mungkin dipilih mungkin tidak, kalau tidak money politics Anda tidak akan dipilih," tandas Refly Harun.
• Rocky Gerung Buat Simulasi Debat soal Pelanggaran HAM, Fahri Hamzah: Punya Simulasi Lain Enggak?
• Pengamat Menilai Rencana Prabowo Mundur Nyapres hanya Gimik Politik
Persoalan HAM
Refly Harun juga menyinggung banyak pemimpin di Indonesia yang tidak serius menyelesaikan persoalan HAM masa lalu.
"Saya merasa bahwa mungkin jangan-jangan mood saya mengatakan setiap pemimpin yang hadir, entah itu Jokowi, entah 01 dan 02, itu tidak menganggap penyelesaian masalah HAM masa lalu adalah soal penting," kata Refly Harun.
"Penting untuk didiskusikan tapi barangkali tidak penting untuk dikerjakan," sambung dia.
Setelah itu, Refly Harun mencontohkan soal pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di tahun 2006.
"Komisi kebenaran dan rekonsiliasi tahun 2006 dibatalkan karena undang-undang itu membarter pengampunan dan ganti rugi. Jadi kalau bisa ganti rugi Anda akan diampuni," jelas Refly Harun.
"Makanya kemudian dalam standar internasional, undang undang yang seperti ini undang-undang yang melanggar HAM, karena itu dibatalkan," beber dia menambahkan.
Kendati demikian, kata Refly Harun, banyak pihak yang tidak berinisiatif untuk membuat KKR lebih baik.
"Setelah pembatalan 2006 itu, apakah kita berpikir untuk membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang sebenar-benarnya."
"Jadi kalau kita bicara penegakan HAM termasuk penegakan HAM masa lalu, maka bangkitkan dulu mood yang positif, bahwa memang siapa yang terpilih akan mengerjakan itu."
"Karena kalau tidak, tidak ada gunanya, dia hanya jadi pembicaraan terus menerus," tandas Refly Harun.
(TribunWow.com/Rekarinta Vintoko)