TRIBUNWOW.COM- Analis Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris angkat suara terkait pernyataan calon presiden (capres) Prabowo yang menyatakan akan mundur dari capres.
Hal ini diungkapkan Syamsuddin Haris melalui Twitter miliknya, @sy_haris, Senin (14/1/2019).
Syamsuddin mengatakan seharusnya tim sukses Prabow membaca pasal yang bisa menjerat capresnya jika benar ingin mundur.
Dalam UU Pemilu yang diunggah analis politik LIPI tersebutm bahkan ada ancaman pidana dan denda yang diberikan bagi capres yang ingin mundur sebelum pemilihan berlangsung.
"Tim @prabowo mestinya baca Pasal 552 ayat (1) UU Pemilu: Setiap capres atau cawapres yang dengan sengaja mundur setelah penetapan capres dan cawapres sampai dengan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 50 miliar," tulis Syamsuddin Haris.
• Prabowo-Sandi Buka Posko di Solo, Jokowi Sebut Tidak Mudah Menggerus Elektabilitas Dirinya
Sementara itu, dilansir situs kemlu.go.id, berikut isian lengkap pasal 552 UU Pemilu.
Pasal 552
(1) Setiap calon Presiden atau Wakil Presiden yang dengan
sengaja mengundurkan diri setelah penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Pimpinan Partai Politik atau gabungan pimpinan Partai Politik yang dengan sengaja menarik calonnya dan/atau Pasangan Calon yang telah ditetapkan oleh KPU sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran pertama, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliarrupiah).
• BPN Prabowo-Sandi Dirikan Markas di Dekat Rumah Pribadinya di Solo, Jokowi Beri Tanggapan
Diberitakan sebelumnya, pernyataan Prabowo akan mundur itu disampaikan oleh Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Djoko Santoso.
Djoko Santoso mengungkapkan bahwa Prabowo Subianto akan mundur sebagai calon presiden (capres) jika benar terjadi adanya potensi kecurangan.
Dikutip TribunWow.com dari YouTube Kompas TV dalam acara Kompas Pagi, Djoko mengungkap pernyataan tersebut tatkala menghadiri acara Gerakan Milenial yang diselenggarakan di Malang, Jawa Timur, Minggu (13/1/2019).
Djoko mengungkap bahwa potensi kecurangan yang disebut, terindikasi dari adanya peraturan yang beredar bahwa orang gila diperbolahkan untuk memberi suara pada ajang Pemilihan Umum (pemilu).
Terkait keputusan Prabowo nanti, Djoko Santoso menyebut pihaknya akan tetap mendukung langkah sang Ketua Umum Gerindra selanjutnya.
Ia juga mengungkap bahwa sebagai seorang prajurit, Prabowo sudah menanamkan nilai-nilai untuk menegakkan keadilan, sehingga tidak dapat menolerir adanya kecurangan.
• Timses Prabowo-Sandi Sebut Presiden Tak Serius Tangani Kasus Teror Bom Pimpinan KPK
"Ya itu kan pernyataan kemarin yang jadi viral. Saya dukung dong pimpinan saya. Karena kita, lulus SMA 18 tahun itu sudah teken kontrak, bahwa prajurit itu akan bertugas menegakkan keadilan dan kebenaran. Pidana ya pidanakan aja, wong kita udah kontrak mati kok," ucap Djoko.
Sebelumnya diberitakan oleh Warta Kota, warga yang memiliki gangguan kejiwaan diperbolehkan untuk memberikan suara namun dengan mekanisme tertentu.
Nantinya, mekanisme yang diterapkan akan beragam sesuai dengan kondisi pengidap gangguan jiwa dan menyesuaikan dengan masing-masing lokasi.
Kebijakan tersebut dibenarkan oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman saat ditemui seusai menjadi pembicara dalam Koordinasi Nasional KPU di Ecovention Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (17/11/2018).
Menurut Arief, warga yang mengidap gangguan jiwa dapat meberikan suara dengan cara menyertakan surat keterang dokter saat hadir dalam tempat pemungutan suara (tps).
• Jelang Debat Pilpres, BPN Prabowo-Sandi Klaim Sudah Siapkan Jawaban terkait Isu HAM
“Hal tersebut sudah ada regulasinya, untuk kondisi tersebut yang paling dibutuhkan adalah surat keterangan dokter yang menyatakan seseorang sanggup menggunakan hak pilih, sepanjang tak mengganggu bisa memilih, kalau mengganggu ya tidak bisa,” kata Arief.
Ia mengatakan kebijakan tersebut dikeluarkan lantaran tidak semua pengidap gangguan jiwa tidak bisa menentukan pilihan.
“Tetap boleh memilih, karena tidak semua yang terganggu kondisinya tidak bisa menentukan pilihan, ada gangguan yang tak pengaruhi kemampuan gunakan hak pilih,” terang Arief.
“Mekanismenya juga beragam, disesuaikan dengan masing-masing lokasi, yang penting surat dokter tadi,” sambungnya.
Lebih lanjut, pihak KPU mengatakan pihaknya siap menerima laporan dari masyarakat untuk mengakomodasi pemilih dengan kebutuhan khusus seperti pengidap gangguan jiwa.
“Prosesnya masih terus berjalan, karena kondisi pemilih seperti itu berbeda. Bisa saja kondisi sekarang berbeda dengan lima bulan mendatang.
Sementara ini, pemilih dengan kondisi yang memenuhi syarat kami masukkan dalam daftar pemilih,” ungkapnya. (TribunWow.com/Tiffany Marantika/ Laila)