Di Mana Pelaku Harus Diadili?
Deputi Direktur Riset dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyebut anggota TNI yang terlibat dalam perusakan Polsek Ciracas dan penganiayaan terhadap anggota Polri, harus diadili lewat peradilan umum. Sebab, katanya, perkara yang terjadi pada Selasa (11/12) kemarin, tidak terkait dengan kedinasan.
"Kasus-kasus yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan, semestinya diajukan ke peradilan sipil. Entah nanti penyidiknya bisa saja gabungan antara TNI dan Polri bisa dinegosiasikan," jelas Wahyudi Djafar kepada BBC News Indonesia.
Dengan begitu, kata dia, publik bisa ikut mengawasi jalannya proses hukum terhadap anggota TNI yang selama ini selalu tertutup dan jauh dari pantauan masyarakat.
Namun demikian, ia mengaku ragu bahwa TNI bakal menyerahkan anggotanya untuk diadili ke pengadilan umum.
Sebab merujuk pada kasus sebelumnya, yakni penyerbuan ke Lapas Cebongan dan pembakaran Polres Baru Raja pada 2013, para pelakunya diseret ke pengadilan militer.
"Bisa dilihat bagaimana proses akuntabilitas hukum atas kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan anggota TNI, secara umum kurang memberikan efek jera."
Karenanya, menurut Wahyudi, pemerintah dan DPR harus segera merampungkan revisi Undang-Undang Peradilan Militer.
Sebab hal itu juga merupakan janji Presiden Joko Widodo yang ingin memutus mata rantai impunitas terhadap pelaku kejahatan dari kalangan militer.
• Pengakuan Polisi dan Warga soal Pelaku Perusakan Polsek Ciracas, Berbadan Besar hingga Tampar Warga
Bahkan pada Desember tahun lalu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto pernah mengatakan akan menerapkan sistem peradilan umum atau sipil kepada anggota militer yang melanggar hukum, apalagi terhadap sipil.
"Kami yang jelas siapa yang salah kami akan adili, rasa keadilan harus ada. Kami sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer) dan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," kata Hadi di Mabes TNI, Cilangkap, Senin (11/12/2017).
Wahyudi juga menyebut, meskipun ada mekanisme pemberatan dalam KUHP Militer namun kesan 'pengistimewaan' perlakukan terhadap anggota TNI masih kental terasa. Selain itu, proses peradilan militer yang tertutup hingga tingkat kasasi, justru disinyalir meringankan hukuman bagi pelaku.
• Sebelum Dibakar, Warung di Sekitar Polsek Ciracas Diminta Tutup oleh Sejumlah Orang
"Ada kesan pembedaan perlakukan terhadap warga negara yang semestinya sama di muka hukum," tegasnya.
"Jadi supremasi sipil masih sekadar jargon politik pasca reformasi TNI. Tapi secara sistematik, penegakan hukum dalam sistem demokrasi belum sepenuhnya terjadi dan peradilan militer ketika mengkhususkan anggotanya seperti memberikan ruang impunitas." (BBC)