TRIBUWOW.COM - Kadiv Advokasi dan Hukum DPP Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean menyebutkan jika Aksi Reuni 212 yang digelar pada Minggu 2 Desember lalu merupakan wujud ketidakadilan pemerintahan Joko Widodo.
Namun saat disinggung hal tersebut berkaitan dengan gerakan politik, Ferdinand membantahnya.
Dilansir TribunWow dari acara Mata Najwa pada episode 'Barisan Para Mantan' Rabu (5/12/2018), tujuan dari Aksi Reuni 212 tersebut sempat membuat debat panjang antara Ferdinand Hutahaean dengan Kapitra Ampera, Calon Legislatif PDI Perjuangan.
• Bahas Elektabilitas Capres pasca Reuni 212, TKN Jokowi-Maruf: Hanya Satu yang Bisa Kalahkan Jokowi
Hal tersebut lantaran Kapitra menanyakan apa tujuan sebenarnya dari reuni 212 yang dilakukan.
Kapitra mengungkapkan jika reuni tersebut justru mengenang riwayat kejahatan dari seseorang.
"Saya ingin mengatakan dalam tanda kutip kita ini sedang merayakan kejahatan orang lain,"
"Ketika kita bicara212, kita akan kembali memori kita kepada perbuatan penistaan itu, seolah tidak ada ruang untuk memaafkan orang lain sedangkan orangnya sedang menjalani hukuman," jelas Kapitra.
"Yang kemarin itu, jelas lebih didominasi oleh politik, karena apa, karena sudah ada dari seluruh panitia itu, telah tergabung dalam BNPF, ulama yang mendukung Prabowo," lanjut Kapitra.
• Dedi Mulyadi Bahas Gaya Kepemimpinan Jokowi, Ferdinand: Itu Biasa Saja dan Tidak Spesial
Ia lantas mengkritisi tujuan dari aksi tersebut yang menurutnya tidak jelas apa targetnya.
"Karena begini, setiap aksi itu kan ada targetnya, dulu 2016 ada target, sekarang targetnya apa?,"
"Kecuali memberikan ruang untuk konsolidasi bagaimana Prabowo-Sandi bisa dimenangkan," terang Kapitra.
Hal tersebut selanjutnya dijelaskan oleh Ferdinand Hutahaean yang juga turut hadir dalam aksi reuni 212 2 Desember lalu.
"Ketika masyarakat kita sulit sekali mendapatkan keadilan ketika saudara kita, Ahok melakukan perbuatan yang dinilai melanggar hukum, itu yang terjadi," ungkap Ferdinand.
"Pak Jokowi pada saat itu terkesan melindungi, bahkan naik satu mobil dengan Pak Ahok, kemudian dari situ bangkitlah gerakan dari bawah ke atas untuk menuntut keadilan."
"Akhirnya gerakan massa ini memaksa penegak hukum untuk kemudian memproses Ahok," terang Ferdinand.