Fadli Zon: Tak Heran Kalau Ada yang Mengatakan IMF Sebagai Institut Penderitaan dan Kelaparan

Penulis: Tiffany Marantika Dewi
Editor: Wulan Kurnia Putri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Fadli Zon

Maka kerusuhan pun merebak terjadi di mana-mana dengan puncaknya pada 14 Mei 1998.

Tgl 20 Mei 1998, rezim Suharto mengundurkan diri mengakhiri 32 tahun kekuasaan.

Komentar IMF dgn kejatuhan Suharto tecermin dalam pidato direkturnya, Michel Camdessus pd 9 Nopember 1999 ketika dia mengundurkan diri dari IMF.

Seperti dikutip New York Times, 10 Nopember 1999, Camdessus mengakui bhw apa yg dilakukannya di Indonesia secara sengaja dlm rangka menciptakan katalisator agar Presiden Suharto jatuh.

We created the conditions that obliged President Suharto to leave his job," kata Camdessus. Pengakuan Camdessus ini jelas menunjukkan bhw IMF di Indonesia mempunyai agenda politik, bukan sj agenda ekonomi.

Ketika itu, Presiden Suharto bkn lagi anak emas Amerika sprti pd era Perang Dingin.

Suharto sdh tdk disukai oleh IMF dan Pemerintah Clinton.

Managing Director Stanley Fisher waktu itu mengatakan pencairan dana 400 juta USD ditentukan situasi pasca Sidang Istimewa serta situasi politik n keamanan.

Dana ditunda hingga rezim Megawati naik. Ironisnya dana stand by loan itu tak dpt digunakan, kecuali devisa sdh habis.

Pada era Suharto sebenarnya sempat tercetus gagasan penggunaan Currency Board System (CBS) tepatnya tanggal 9 Februari 1998.

CBS ketika itu diusulkan oleh Steve Hanke, ekonom dari John Hopkins University yg sempat mnjd penasehat Presiden Suharto bbrp bulan.

Setahu sy ide penerapan ini jg dirintis Menkeu Fuad Bawazir.

CBS lebih mengarah pada fixed rate (system mata uang tetap/peg).

CBS sebenarnya bisa menyelamatkan ekonomi Indonesia kalau ketika itu diterapkan.

Pasar melihat CBS secara positif, terbukti dgn menguatnya rupiah sebesar 28% per USD pada saat ide CBS mulai digulirkan.

Steve Hanke meyakinkan bahwa dgn CBS, rupiah akan stabil.

Reaksi IMF melalui Camdessus ternyata negatif terhadap ide CBS, dgn alasan prasyaratnya belum cukup.

Lebih jauh bbrp pemimpin negara maju terutama Presiden Clinton malah menelepon langsung Presiden Suharto di rumahnya agar menghentikan gagasan CBS.

 

Ironisnya, setahun sebelumnya IMF justru menekankan penerapan CBS di Bulgaria, saat Steve Hanke mnjd penasehat Presiden Bulgaria.

Dalam Dayton Accords juga tdpt bagian yg mengharuskan Bosnia mengadopsi CBS.

Menurut Hanke, kedua negara ini kondisi ekonominya tdk lebih baik dari Indonesia dan Indonesia lebih layak klasifikasinya untuk menerapkan CBS.

Bbrp negara lain yg menggunakan CBS antara lain adlh Cina, termasuk Hongkong sebelum berintegrasi kembali, dll.

Akhirnya gagasan CBS kandas, di samping krn tekanan IMF dan Amerika, jg opini publik yg dikuasai sebagian ekonom Indonesia (khususnya anak buah dan pengikut Widjojo, sebagian besar dari FE UI yg beraliran ekonom neoliberal/neoklasik) yg menolak kehadiran CBS.

Kegagalan IMF di Indonesia blm krn memberikan diagnosa n resep yg salah thdp krisis ekonomi kita, dan kesalahan dlm membaca peta sosial politik Indonesia, tapi juga krn memang IMF tdk mempunyai kapabilitas intelektual yg memadai untuk memahami situasi Indonesia.

 

Assesment thdp penutupan 16 bank dan dampaknya tdk dikalkulasi secara matang.

Menaikkan BBM dan mencabut subsidi di sektor yg masih dibutuhkan rakyat, malah menciptakan instabilitas sosial politik, situasi yg juga menakutkan investor.

Assesment thdp penutupan 16 bank dan dampaknya tdk dikalkulasi secara matang. Menaikkan BBM dan mencabut subsidi di sektor yg masih dibutuhkan rakyat, malah menciptakan instabilitas sosial politik, situasi yg juga menakutkan investor.

Seperti disinyalir dlm kritik Stiglitz, krisis ekonomi di Asia Tenggara awalnya bukan krn pemerintah tdk hati-hati, lain dgn di Amerika Latin, tapi krn sektor swasta yg tdk prudent, misalnya bankir-bankir peminjam gambling di bdg bisnis properti.

Karena itu kbjkn penghematan drastis anggaran pemerintah, dgn maksud memulihkan kepercayaan, tak akan berhasil. Anggaran pendidikan dan pembangunan infrastruktur justru tetap penting untuk pertumbuhan ekonomi.

Saran IMF yg lain untuk menaikkan suku bunga tinggi bukan sj menyulitkan likuiditas perbankan tapi jg menghancurkan bisnis pengutang besar sehingga mereka tak sanggup membayar utang.

Kebijakan moneter yg super ketat dan anggaran berimbang, yg dipaksakan IMF, akhirnya mendorong kerusuhan sosial politik di Indonesia. Kerusuhan ini semakin mendorong arus modal keluar Indonesia, apalagi IMF mewajibkan kita melakukan aliran modal bebas.

Singkat kata, keberadaan IMF di Indonesia sejak 31 Oktober 1997, bukan saja tak berhasil memulihkan ekonomi kita, tpi lebih jauh membenamkan kita pd krisis ekonomi yg makin dalam, krisis politik dan brbagai krisis sosial multidimensional.

 

Lebih dari setengah kegiatan bisnis di Indonesia bangkrut total. Tdk ada produksi n kita tdk mendapat ruang leluasa utk ekspor.

Pengangguran makin berlimpah, kemiskinan semakin merata.

Sbg contoh, akibat liberalisasi ala IMF, para peternak ayam Indonesia hrs dipinggirkan untuk masuknya paha ayam dari Amerika.

IMF di Indonesia kini sebenarnya institusi yg paling berkuasa, lebih berkuasa dari Presiden RI, MPR RI bahkan dari konstitusi UUD 1945.

IMF bukan saja mempengaruhi proses regime changes, tapi juga memaksakan penjualan aset-aset BPPN dgn harga obral, privatisasi BUMN strategis spt Indosat, mendesain restrukturisasi ekonomi Indonesia n menentukan aparat pejabat lembaga perbankan dan keuangan negara.

Siapapun yg duduk menjadi Menteri Keuangan atau Gubernur BI harus seizin IMF.

Tidak ada negosiasi horisontal dgn IMF, yg ada instruksi top down.

kalau tak mau mengikuti keinginan IMF maka tak ada bantuan utang, as simple as that.

Tak ada sedikitpun dlm benak IMF memikirkan penderitaan rakyat Indonesia yg hrs menanggung semua akibat kegagalan ini.

Tak heran kalau ada yg mengatakan IMF itu Institute for Misery and Famine (Institut Penderitaan dan Kelaparan).

(TribunWow.com/Tiffany Marantika)