TRIBUNWOW.COM – Barisan Kader (Barikade) Gusdur sudah memutuskan arah dukungannya dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang.
Hal ini seperti yang tampak dalam siaran langsung konferensi pers yang ditayangkan oleh KompasTV di Rumah Pergerakan Politik Gus Dur, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (26/9/2018) sore.
Barikade Gusdur terdiri dari 9 elemen yang terdiri dari Forum Kiai Kampung Nusantara, Garis Political Mawardi (Forum Alumni Timur Tengah), Gerakan Kebangkitan Nusantara (Gatara), Satuan Mahasiswa Nusantara (Samara), Milineal Political Movement, Komunitas Santri Pojokan, Jaringan Perempuan untuk NKRI, dan Forum Profesional Peduli Bangsa.
Berikut isi deklarasi dukungan Barisan Kader Gus Dur yang dibacakan oleh Yenny Wahid.
• Suryo Prabowo Buat Polling Pilpres 2019 setelah Keluarga Gus Dur Nyatakan Dukung Jokowi-Maruf
Bapak ibu sekalian yang saya hormati, pemilu 2019 nanti adalah proses demokrasi yang akan menghantar mandat kedaulatan rakyat ke tangan pemimpin yang tepat.
Di tangannya kita titipkan amanat untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Di tangannya tergenggam kekuatan membangun rasa bangga sebagai bangsa.
Di tangannya ada kemampuan untuk mencerdaskan anak-anak kita.
Di tangannya, takdir kita sebagai orang-orang merdeka harus terus dijaga.
Bapak ibu sekalian yang saya muliakan, Imam Syafei mengatakan Manzilatul imam minar ra’iyah, manzilatul wali minal yatim, kedudukan seorang pemimpin terhadap rakyatnya ibarat kedudukan seorang wali terhadap anak yatim.
Pendapat ini menunjukkan betapa dekat sesungguhnya seorang pemimpin dengan rakyatnya, betapa berat tugasnya memastikan rakyatnya hidup terpelihara.
Kedekatan dengan rakyat hanya bisa dibangun ketika pemimpin mampu berpikir sederhaha, bahwa tugasnya tidak lain tidak bukan adalah untuk menghadirkan
keadilan dan kesetaraan,
Keadilan dan kesetaraan dalam kedudukan di mata hukum,
Keadilan dan kesetaraan mendapatkan akses untuk hidup makmur,
Keadilan dan kesetaraan dalam hak untuk memeperoleh pendidikan agar mendapatkan masa depan yang cerah.
Serta keadilan dan kesetaraan untuk mendapat perlindungan dari kesewanangan sesama warga bangsa yang sering saling mengintimindasi atas nama agama dan sukunya.
Hal ini bisa kita lihat dengan sangat gamblang dalam kehidupan ayah saya.
Beliau yakin sejak kecil, karena kakek saya KH Wahid Hasyim, menteri agama pada kabinet bung Karno meninggal dalam kecelakaan mobil.
Beliau mendiami rumah keluarga yang bersebalahan dengan rumah eyang Margono, kakek dari bapak Prabowo Subianto.
Nenek kami harus menyambung hidup dengan berjualan beras untuk menghidupi enam orang anaknya, dan Gusdur kecil sampai harus menaik truk untuk mengangkut beras untuk membantu ibunya.
Ayah saya hidup tidak dengan bergelimpang harta dan itu diteruskan sampai beliau dewasa.
Hingga akhirnya menikah dengan gadis Shinta, mereka meniti kehidupan dengan apa adanya, menapaki tangga kehidupan penuh perjuangan, berjualan es lilin pun pernah dilakoni.
kami dibesarkan dalam hidup tanpa kemewahan namun sarat dengan penghargaan diri.
Bapak menempa diri dengan semangat membumi yang diwujudkan dalam hasrat untuk mengabdi.
Setelah mempunyai anak, bapak dan mama hijrah ke pinggiran selatan kota Jakarta.
Rumah kami waktu letaknya terpencil, sering kami berangkat sekolah dengan sepatu yang dibungkus plastik karena jalan rumah kami berlumpur belum diaspal.
Menunggu kendaraan di pinggir jalan yang penuh dengan asap knalpot, basah kehujanan di halte bis, atau berdiri berjam-jam dalam bis dari ciganjur rumah kami ke grogol tempat saya kuliah menuntut ilmu.
Itu adalah cerita ceria kehidupan saya sehari-hari.
Saya bersyukur pernah hidup sedikit susah, karena tanpa itu empati kami tidak akan terasah.
Saya senang dididik hidup sederhana karena dengan bekal itu, posisi dan jabatan tidak akan membuat kami terlena.
Kisah kami ini mungkin tidak seberapa dibanding dengan mereka yang masih menderita, dan untuk merekalah kita harus terus berjuang dan berusaha agar tidak ada lagi jurang yang menganga antara si miskin dan si kaya.
Bapak banyak terilhami oleh figur-figur yang dikaguminya, seperti Mahatma Gandhi yang membela rakyat dengan cara memberdayakan gerakan tanpa kekerasan.
Sosok sederhana seperti Gus Dur dan Gandhi adalah sosok pemimpin yang kita butuhkan.
Negara ini adalah negara besar, penuh dengan kekayaan alam yang berlimpah.
Negara ini adalah negara kaya penuh dengan anak-anak bangsa yang punya talenta, Meraka yang meyakini nilai kebajikan serta punya keinginan untuk mengabdi.
Namun semangat mereka sering berbalas kegetiran dan kekecewaan melihat proses politik yang sering menghianati cita-cita negeri.
Bangsa ini sedang susah, karena itu pemimpin yang kami cari adalah orang yang mau ikut gerah.
Pemimpin yang kami rindu adalah pemimpin yang mendengar nurani rakyat.
Pemimpin yang tidak berjarak dengan masyarakat
Pemimpin yang tidak canggung memeluk warga dan bersama mereka berbaur dan berbagi aroma keringat.
Pemimpin yang sederhana cara berpikirnya bahwa bangsa ini harus dipenuhi hak dan kebutuhan dasarnya untuk hidup sejahtera.
Ayah saya menghadirkan keadilan sosial dengan cara memenuhi basic rights atau hak-hak dasar di segenap warna Indonesia tanpa membeda-bedakan agama, keyakinan, warna kulit, ras, gender maupun status sosial rakyat yang dipimpinnya.
Pemimpin yang kami pilih, menghadirkan keadilan sosial dengan memenuhi basic needs atau kebutuhan dasar bagi mereka yang selama ini tak tersapa.
Menghadirkan layanan pendidikan, kesehatan, maupun akses konektivitas bagu yang dulunya tak terjamah.
Dua-duanya berpikir dan bertindak sederhana namun kaya dalam karya.
Oleh karena itu, dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, dengan ini menyatakan mendukung pasangan nomor satu.
Bismilah Presiden Jokowi akan kembali memimpin Indonesia
Jakarta, 26 September 2018,
Rumah Pergerakan Politik Gus Dur
• Yenny Wahid Dukung Jokowi, Alissa Wahid: Jaringan Gusdurians Tetap Tidak Berpolitik Praktis
Lihat video ulasan selengkapnya di bawah ini
(TribunWow.com/Gigih Prayitno)