"Cuma memang untuk istilah sehari-hari seperti kata ‘yang’ diganti jadi 'which is', kemudian kata 'pada dasarnya' diganti dengan 'literally', begitu. Kan itu sesuatu yang tidak wajar," kata Ivan Lanin.
Untuk kasus-kasus seperti ini, penggunaan kata asing biasa disebut sebagai kata pinjaman yang bersifat sementara, sembari menunggu ada kata pengganti yang sesuai dalam bahasa yang biasa kita gunakan.
Namun, Ivan menyebut perlu diadakan penelitian secara ilmiah terlebih dahulu untuk dapat memastikan faktor-faktor di balik fenomena percampuran bahasa yang terjadi pada fenomena "Anak Jaksel" ini.
Penguasaan bahasa orang Eropa
Penulis buku Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? (2018) ini mengisahkan beberapa temannya yang berasal dari benua Eropa.
Wilayah daratan yang mereka tinggali menyebabkan jarak antarnegara terletak berdekatan, sehingga masing-masing orang biasa menguasai lebih dari satu bahasa.
"Ya karena mereka berdekatan, umumnya menguasai lebih dari satu bahasa. Bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Perancis," ujar Ivan.
• Info Pendaftaran CPNS 2018: Syarat dan Berkas untuk Formasi Khusus Papua/Papua Barat
Namun, hal tersebut tidak menjadikan mereka kesulitan untuk membedakan tiap-tiiap kosakata dalam masing-masing bahasa.
"Orang yang bisa berbagai bahasa itu akan berbicara dengan temannya yang bisa bahasa Inggris dengan bahasa Inggris, bicara dengan temannya yang berbahasa Jerman, dengan bahasa Jerman," ucap Ivan.
"Mereka bisa memilah mana yang bahasa Jerman, dan mana yang bahasa Inggris. Satu kalimat satu bahasa, bisa enggak masalah, enggak dicampur-campur," kata dia.
Pada akhirnya, kemampuan menggunakan bahasa yang baik dan benar, menurut Ivan, didasarkan pada kemauan masing-masing indiividu.
Sebab, banyak orang yang nyatanya bisa menyesuaikan lidahnya untuk berbicara menggunakan bahasa baru yang notabene bukan merupakan bahasa ibunya. "Jadi hal seperti itu cuma masalah mau atau nggak," kata Ivan. (*)