TRIBUNWOW.COM - Gejolak rupiah belakangan ini tengah menjadi perbincangan panas dari berbagai pihak.
Untuk memahami hal ini berikut TribunWow.com merangkum deretan fakta mengenai pelemahan rupiah dari berbagai sumber.
• Hari Ini dan Besok PT KAI Bagikan 50 Ribu Kopi Nusantara Gratis dalam Rangka HUT ke-73
1. Pemicu melemahnya nilai rupiah.
Dilansir TribunWow.com dari weforum.org, Rabu (5/9/2018), alasan pertama yakni ekonomi Amerika Serikat berkembang sangat pesat saat ini.
Pasar saham AS telah mencapai rekor tertinggi, dan ekonomi telah tumbuh lebih dari 4 persen karena diperkuat oleh kebijakan pemotongan pajak yang disahkan oleh Kongres tahun lalu, serta Presiden Donald Trump yang memangkas kebijakan-kebijakan lainnya.
Kenaikan ekonomi tersebut merupakan tingkat kenaikan yang sangat kuat untuk negara dengan ekonomi terbesar di dunia.
Pada saat yang sama, Federal Reserve AS mulai menaikkan tingkat suku bunga, dan membuat aliran dana investasi ke Amerika Serikat ini pada dasarnya meningkatkan nilai dolar AS, dan menjadikan AS sebagai tujuan yang lebih menarik bagi investor.
Faktor-faktor ini diperburuk dengan perang perdagangan yang mana AS memberi tarif lebih tinggi pada barang-barang asing yang masuk (impor).
Indonesia yang paling mengalami defisit neraca transaksi berjalan yang cukup besar (mencapai 2 miliar dolar AS pada bulan Juli, tertinggi dalam lima tahun).
Selain itu Indonesia memiliki utang luar negeri tertinggi di Asia, yakni sebesar 35% dari produk domestik bruto (PDB).
Faktor-faktor itu membuat ekonomi negara kita rentan, bahkan mata uang kita telah mencapai titik terendah sejak krisis keuangan pada 1998 lalu.
• Kisah Penjaga NKRI di Perbatasan Aruk, Jarang Bertemu Keluarga hingga Perangi Penyelundupan Narkoba
2. Berbeda dengan krisis tahun 1998.
Para ahli ekonomi mengungkapkan, Indonesia tidak mengalami krisis seperti pada tahun 1998.
Hal ini diungkap oleh Kwik Kian Gie, Said Didu, Denni Puspa Purbasari, Prof Ari Kuncoro dan Andreas Eddy dalam program 'ROSI' yang ditayangkan oleh KompasTV pada Kamis (6/9/2018).
“Sejak tahun 1970 hingga sekarang, nilai tukar rupiah terus menurun, jadi tidak ada yang aneh dengan hal itu” Kata Kwik Kian Gie kepada Rosi.
Kemudian, ada Andras Eddy Susetyo yang mengatakan bahwa tahun 1995 sampai 2000 dia berada di direksi bank Niaga.
Dia menjadi pelaku sejarah ketika krisis 1998 menyimpulkan bahwa kondisi 1998 sangat berbeda dengan 2018.
Andreas juga mengungkapkan bahwa berdasarkan fakta, ekonomi Indonesia masih bertumbuh, tidak banyak negara yang bisa bertumbuh diatas 5 persen.
Tidak hanya itu, tingkat Inflasi yang terjadi di Indonesia juga rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Selanjutnya, Said Didu mengatakan masalah yang terjadi di tahun 1998 adalah kondisi pangan tidak stabil sehingga terjadi gejolak sosial yang tinggi sedangkan pada 2018 kondisi pangan cenderung stabil.
Sementara itu, Prof Ari Kuncoro, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ketika ditanyai oleh Rossi tentang apakah krisis 1998 akan terjadi di tahun 2018 dengan singkat dia hanya menjawab tidak.
Berikutnya, Deputi Bidang kajian dan Pengelolaan Isu-isu Ekonomi Strategis Kantor Staf Presiden, Denni Puspa Purbasari, mengatakan bahwa melemahnya rupiah adalah hasil dari konsekuensi yang logis.
“Kalau kita melihat rupiah semakin lemah, ini adalah konsekuensi yang logis,” kata Denni.
Kompas Tv pernah menganalisis, pada tahun 1998 Rupiah terdepresiasi 254%.
Pada September 1997 rupiah diangka Rp 3.030 dolar AS dan terdepresiasi 245% kemudian berada diangka Rp 10.725 dolar AS pada September 1998.
Sedangkan pada September 2017 rupiah diangka Rp 13.345 dolar AS dan terdepresiasi 11% kemudian berada pada angka Rp 14.815 dolar AS.
Jika rupiah terdepresiasi dengan persen yang sama pada tahun 1997 ke 1998 maka rupiah akan berada di angka Rp 47.241 dolar AS.
• Sindir Roy Suryo, Hotman Paris Bahas Kasus Pencurian Nenek 80 Tahun dan Beri Saran untuk Kemenpora
3. Indonesia bisa mengatasinya.
Pakar ekonomi Faisal Basri, menuturkan kecil kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis seperti tahun 1998.
Dilansir dari situs resmi pribadi Faisal Basri, faisalbasri.com, Jumat (7/9/2018), dengan artikel oleh Faisal Basri dengan judul 'Mengapa Kecil Kemungkinan Terjadi Krisis Seperti 1998?'.
Menurutnya, ditahun 1998, ekonomi terjun bebas dan laju inflasi meninggi hingga membuat rupiah terkapar dan bank-bank tidak mampu melakukan penyelamatan dan jumlah penduduk miskin membengkak, deretan penganggur mengular, dan banyak perusahaan gulung tikar.
Pelarian modal membuat perekonomian lesu darah berpanjangan dan hingga sekarang jantung perekonomian (sektor finansial) belum pulih sepenuhnya.
Berbeda di tahun 2018, proses penyesuaian atau koreksi berlangsung setiap saat.
Menurut Faisal, kini Bank Indonesia lebih leluasa melaksanakan fungsi stabilisasi dan tidak ada lagi bredel terhadap media massa yang mewartakan kritik sehingga turut mempercepat proses koreksi.
Menurutnya jika terjadi hal seperti saat ini pemerintah tidak akan bisa diam dan pasti akan dipaksa bertindak.
"Pemerintah tidak bisa lagi membisu dan dipaksa untuk lebih sigap bertindak. Jika tindakan pemerintah tidak efektif, para analisis berteriak sehingga pemerintah dipaksa untuk mencari solusi alternatif yang lebih bernas. Jika pemerintah bebal, ada mekanisme demokrasi yang membuka peluang pergantian pemerintahan dan kontrak politik baru, seringa kemencengan tidak berkelamaan."
• Tanggapi Tudingan Demokrat Bermain 2 Kaki, Imelda Sari Tegaskan Partainya Dukung Prabowo-Sandiaga
4. Pemerintah lakukan tindakan kebijakan baru.
Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kunci menghadapi merosotnya rupiah yakni dengan meningkatkan investasi dan ekspor.
“Kuncinya memang hanya ada dua, di investasi yang harus terus meningkat dan ekspor yang juga harus meningkat sehingga bisa menyelesaikan defisit transaksi berjalan," ujar Jokowi, dilansir TribunWow.com dari situs resmi Sekretariat Kabinet RI, setkab.go.id, Rabu (5/9/2018).
Selain itu, Pada hari Rabu 5 September 2018, pemerintah juga mengumumkan tentang kenaikan pengenaan pajak penghasilan terhadap impor sejumlah 1.147 barang-barang tertentu, dilansir dari Kompas.com, Jumat (7/9/2018).
Tentu saja kenaikan pajak tidak dikenakan terhadap semua barang tapi hanya pada barang tertentu yang dianggap mewah dan barang konsumsi yang telah dapat diproduksi di dalam negeri.
Diharapkan kebijakan ini juga dapat meningkatkan penjualan produksi dalam negeri Untuk meningkatkan ekspor, pemerintah akan terus mendorong ekspor komoditas yang potensial, membantu eksportir dalam pembiayaan serta juga peningkatan peran Pusat Logistik Bersama sebagai media konsolidasi ekspor-impor.
Sedangkan untuk meningkatkan investasi, pemerintah memberikan tax holiday dan kemudahan investasi bagi investasi dalam jumlah tertentu.
Industri pariwisata juga dijadikan andalan agar dapat meningkatkan devisa.
Promosi wisata Indonesia terus digenjot agar dapat meningkatkan jumlah wisatawan internasional yang datang ke Indonesia.
• Live Streaming Portugal Vs Italia UEFA Nations League, Pukul 01.45 WIB: Ronaldo Absen
5. Pemerintah lakukan pemantauan.
Setelah memutuskan berbagai kebijakan baru terkait impor, ekspor, investasi, pemerintah juga lakukan pemantauan, diwartakan Kompas.com, Jumat (7/9/2018).
Perkembangan ekonomi dunia dan juga kondisi geoplitik senantiasa dijadikan pengawasan agar selalu tetap waspada terhadap berbagai kejadian yang berdampak pada Indonesia.
Yang perlu diwaspadai antara lain kenaikan suku bunga di Amerika Serikat, perang dagang antar negara besar serta adanya konflik bilateral yang berpengaruh pada komoditas tertentu.
Bilamana diperlukan, pemerintah juga akan senantiasa menyesuaikan kebijakan sesuai dengan perkembangan yang akan terjadi misalnya penyesuaian terhadap APBN terkait belanja negara, subsidi dan juga penerimaan negara.
Pemerintah memahami sepenuhnya bahwa setiap kebijakan akan berdampak bagi masyarakat.
Namun demikian, pemerintah akan senantiasa memperhatikan dan melindungi masyarakat miskin dan tidak mampu sehingga mereka tidak akan menerima dampak yang besar. (TribunWow.com/ Roifah Dzatu Azmah)