TRIBUNWOW.COM - Ramainya kasus penyimpangan terkait penyelenggaraan perjalanan umrah sudah beberapa kali terdengar.
Mulai jemaah tidak bisa berangkat, molor waktu keberangkatan hingga keberangkatan yang hanya tinggal janji.
Semakin banyak masyarakat yang akan melaksanakan umrah, semakin banyak pula problematika di lapangan, termasuk model penyelenggaraan umrah juga semakin berkembang.
Populer: Datangi Sidang First Travel Bersama Hotman Paris, Syahrini: Mudah-mudahan Lancar Semuanya
Penyelenggaraan umrah memang bukan urusan ibadah saja, karena tidak bisa dilepaskan dari unsur bisnis.
Penyelenggara umrah melakukan inovasi dalam bentuk marketing.
Beberapa biro travel menghimpun uang dari jemaah yang tidak semata-mata untuk kepentingan jemaah, tapi ada yang diinvestasikan dalam usaha lain.
Ada yang menggunakan multilevel marketing, sistim ponzi atau beli dua dapat satu, ada yang bayar sekarang berangkatnya setahun atau dua tahun dan sebagainya. Ini tidak boleh.
Beberapa cirinya antara lain jadwal keberangkatan yang tidak jelas, harga paket umrah yang ditawarkan jauh dari harga normal, misalnya di bawah Rp 15 juta.
Populer: 84 Jamaah Umroh Diusir dari Hotel dan Ditelantarkan oleh Biro Perjalanann PT BMP Tour Travel
Menyikapi permasalahan umrah, pemerintah baru-baru ini memberikan solusi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 18 Tahun 2018 sebagai penyempurnaan PMA sebelumnya.
Salah satunya adalah memberikan standar biaya perjalanan umrah yang dipatok Rp 20 juta.
Sudah baik dengan adanya penetapan standar biaya nominal itu, namun belum signifikan.
Mungkin lebih pas jika yang diterapkan bukan standar biaya, tapi standar fasilitas minimal.
Jika dihitung dengan standar layanan fasilitas minmal, biaya untuk umrah masih bisa ditekan hingga Rp 17 jutaan.
Dengan layanan sembilan hari, hotel bintang tiga dengan jarak tak lebih dari 1 kilometer dari Masjidil Haram, dan hotel di Madinah yang dekat dengan Masjid Nabawi.