Oleh karena itu, AU harus menguasai medan pertempuran di udara. Jadi pesawat yang tepat adalah pesawat yang mampu terbang jauh dari Pulau Jawa menuju Biak, atau Sorong di papua.
Pesawat yang dipilih akhirnya adalah Tu-16 yang bisa membawa bom dan roket serta Tu-16KS yang bisa membawa peluru kendali.
Sedangkan untuk pesawat penyergap dipilih MiG-17 dan MiG-21.
Sebenarnya dipilih juga MiG-19 namun akhirnya dibarter dengan pesawat transpor Constelation milik Pakistan.
Pesawat ini berfungsi untuk menyergap pesawat-pesawat Belanda yang masuk wilayah Maluku, Ternate, dan Makasar.
Semua keperluan itu kemudian digabung dengan keperluan AD dan AL, sehingga total nilai mencapai 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 13 triliun untuk nilai sekarang (2018).
Jumlah utang yang sangat besar itu sedianya akan dibayar seusai perang.
Misi ini dianggap berhasil. Sebagai penghargaan, pangkat Sri Mulyono dinaikkan menjadi Letnan Kolonel pada April 1961.
Dia juga diangkat menjadi Direktur Operasi A/B MBAU.
Berkat kemampuan dan prestasinya dalam berdiplomasi, tugas-tugas diplomasi bagi Sri Mulyonno semakin menjadi bagian yang tak terhindarkan. S
Seiring konflik rebutan Irian Barat antara Indonesia-Belanda yang makin memuncak, pada bulan April 1963 Sri Mulyono kembali ditugaskan mengikuti rombongan misi ABRI (TNI) yang dipimpin Letjen R. Hidayat ke Rusia.
Misi Sri Mulyono dan rombongan adalah untuk segera merealisasikan pengadaan sejumlah pesawat tempur paling mutakhir seperti MiG-15, MiG-17, MiG-19, MiG-21, Il-28, Tu-16, Tu-16/KS, helikopter Mi-4, Mi-6, serta pesawat angkut Antonov.
Misi itu sekali lagi berhasil sehingga pada masa itu kekuatan udara AURI menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Tak hanya terlibat aktif dalam diplomasi untuk mendapatkan persenjataan dari Rusia, Sri Mulyono juga aktif dalam perjuangan diplomasi untuk membebaskan Irian Barat di sidang PBB, New York, AS.
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan RI, Sri Mulyono yang lahir di kota Solo tahun 1930 itu kariernya makin melesat.