Bocah 13 Tahun Jualan Krupuk Tuk Sambung Hidup, Terancam Tak Bisa Ikut UN, Simak Kisah Selengkapnya!

Editor: Fachri Sakti Nugroho
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sutrisno (13) bersama ibunya Heni (36), dan adiknya duduk di gubug yang menjadi tempat tinggalnya di Kampung Sinyar, RT 1/1, Desa/Kecamatan Kadungora, Garut, Minggu (3/12/2017).

TRIBUNWOW.COM - Sutrisno yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) harus menjadi tulang punggung keluarga.

Bocah yang baru berusia 13 tahun itu harus membagi waktunya antara sekolah dan mencari rezeki dengan cara berjualan kerupuk mengelilingi wilayah Kecamatan Kadungora, Leuwigoong, dan sekitarnya.

Guna menjajakan dagangannya, Sutrisno terpaksa harus berjalan puluhan kilometer menawarkan kerupuk dari rumah ke rumah.

Walau hasilnya tak seberapa, namun uang yang didapat bisa membantu kebutuhan keluarga.

Saat ditemui di rumahnya, Kampung Sinyar, RT 1/1, Desa/Kecamatan Kadungora, Garut, Jawa Barat, Sutrisno atau yang biasa disebut Fadil itu diketahui tengah sakit.

Tangan sebelah kirinya terkena air panas.

Sambil terbata-bata menahan sakit, Sutrisno menceritakan pengalaman hidupnya.

"Dari jualan itu seharinya paling dapat Rp 15 ribu. Dicukup-cukupin dapat uang berapa pun," kata Sutrisno saat ditemui di rumahnya, Minggu (3/12/2017).

Walau kini tengah sakit, Sutrisno tetap harus berjualan.

"Kalau enggak jualan nantinya enggak bisa makan. Ini juga maksain jualannya. Yang penting dapat uang," ucapnya.

Rumah tanpa dinding

Tempat tinggal Sutrisno pun juga jauh dari kata layak.

Pasalnya, rumah tersebut tidak memiliki dinding.

Rumah tersebut juga bukan milik keluarga Sutrisno.

Melainkan milik tetangga Sutrisno yang telah berbaik hati memberikan gubug itu untuk ditinggali.

Di rumah tersebut, Sutrisno tinggal bersama adik dan ibunya Heni (36) yang kini tengah mengandung lima bulan.

Tidak bisa ikut UN

Getirnya hidup Sutrisno semakin menjadi, saat ia akan mengikuti Ujian Nasional (UN) di SDN Karangtengah 2, Kadungora.

Dikatakan jika ia dan dua temannya tidak boleh mengikuti UN.

Pihak sekolah beralasan karena terlalu banyak siswa.

"Saya dengan tiga teman tidak boleh ikut UN. Pihak sekolah beralasan terlalu banyak siswa," ujarnya yang mengaku masih ingin sekolah asalkan kebutuhan hidupnya tercukupi.

Saat ini dirinya tidak mau sekolah karena harus berjuang memenuhi kebutuhan ibu dan adiknya.

"Kalau ada yang ngasih biaya saya mau sekolah. Tapi itu juga kalau biaya hidup keluarga saya sudah dipenuhi," ucapnya.

Sutrisno sang penopang kehidupan

Ibu kandung Sutrisno, Heni mengaku penghasilan anaknya berjualan kerupuk sangat menopang kehidupan keluarganya.

Apalagi penghasilannya yang hanya Rp 10.000 dari mencari rongsok tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga.

"Saya nyari rongsok paku. Paling banyak Rp 10.000, paling jelek ya Rp 5.000. Jadi penghasilan anak saya dari jualan kerupuk sangat diandalkan," ujar Heni.

Heni menuturkan, sejak usia Sutrisno dua tahun, ayahnya sudah meninggal dunia.

Saat itu kehidupan keluarganya terlunta-lunta.

Heni mengaku sebelumnya pernah mengontrak namun ia tak mampu membayarnya.

Kini ia hanya menempati gubug yang menyerupai kandang ayam milik tetangganya.

Heni berharap suatu saat nanti kehidupannya dapat berubah.

Heni pun dengan senang hati akan menyekolahkan kedua anaknya jika pemerintah mau membantu biaya hidup keluarganya.

"Semoga saja ada bantuan untuk biaya hidup keluarga. Kalau hanya bantuan gratis sekolah saja, bagaimana keluarga kami bisa hidup," katanya. (Firman Wijaksana)

Berita ini telah tayang di Tribun Jabar dengan judul: "Kisah Sutrisno Si Penjual Kerupuk, Usianya Baru 13 Tahun, Sudah Jadi Tulang Punggung Keluarga"