Kecaman Tes Keperawanan kepada Pelamar Perempuan, Mitos Selaput Dara dan Asumsi Rapatnya Organ Vital

Editor: Mohamad Yoenus
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto Ilustrasi.

TRIBUNWOW.COM -- Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, 25 November sampai 10 Desember setiap tahun, menjadi momentum yang tepat untuk menyoroti bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya individual dan orang-orang dekat.

Kekerasan seksual juga dilakukan oleh aparat lembaga negara atas nama moralitas yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Tes keperawanan untuk seleksi polisi dan prajurit perempuan di Indonesia harus segera dihapus.

Pada 2014, Human Rights Watch merilis hasil riset tentang tes keperawanan untuk calon anggota perempuan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Setahun berikutnya, lembaga ini merilis bahwa praktik serupa juga terjadi dalam rekrutmen prajurit perempuan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kala itu publik Indonesia mengecam keras Polri atas praktik “tes keperawanan” terhadap pelamar perempuan dalam proses perekrutan polisi.

Cerita miris tes keperawanan juga diungkap dalam proses rekrutmen prajurit perempuan di TNI, tapi sampai kini sistem tersebut belum berubah.

Banyak yang mengangkat soal ketidakadilan praktik tersebut.

Mereka berpendapat bahwa tes itu bersifat seksis, menyakitkan, dan menciptakan trauma.

Mereka juga mengingatkan bahwa keperawanan tidak relevan dengan apakah seorang petugas dapat melakukan tugas kepolisian atau tidak.

Namun sedikit yang mempertanyakan aspek yang paling meragukan dari praktik mengerikan ini: validitas tes itu sendiri.

Masalah global

Tes keperawanan tidak hanya terjadi di Indonesia.

Di banyak negara perempuan kerap diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan meski pun alasannya sering kali tidak ada hubungannya dengan kepentingan perempuan tersebut. 

Turki, Mesir, Maroko, dan Irak, adalah sebagian nama-nama negara yang juga melakukan pengujian keperawanan yang kontroversial.

Halaman
1234