Sementara itu, kenaikan pangkat pejabat peradilan ini rupanya tak berkaitan dengan kasus Ahok.
Witanto menegaskan kenaikan jabatan yang diterima Dwiarso lantaran memang sudah saatnya serta yang bersangkutan memiliki prestasi baik selama melaksanakan tugas.
"Yang naik menjadi hakim tinggi atau jadi KPN (ketua pengadilan negeri) itu promosi," kata Witanto.
"Jadi tidak ada kaitannya dengan masalah putusan Ahok," tambahnya.
Witanto pun menambahkan momen pengangkatan Dwiarso hanya kebetulan bersamaan dengan vonis Ahok.
"Jadi beliau (Majelis Hakim Ahok) yang masuk TPM itu memang sudah saatnya untuk dipromosikan maupun dimutasikan atas kebutuhan organisasi. Jadi tidak ada kaitannya dengan masalah putusan Ahok. Kebetulan aja momennya hampir bersamaan," beber Witanto.
Rekam jejak Dwiarso sudah terbukti mumpuni.
Hal ini disampaikan oleh Humas PN Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi.
"Tentu kalau menjadi ketua di sini (PN Jakut) sudah pasti bagus. Sehingga pimpinan (pihak Mahkamah Agung) menempatkan beliau di Kelas 1a Khusus," kata Hasoloan di PN Jakut, Jalan Gajah Mada no 17, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (5/12/2016).
Sebelum di Jakarta Utara dan menangani kasus Ahok, Dwianto pernah memimpin pengadilan negeri di beberapa daerah.
"Beliau ketika tahun 2014 merupakan Ketua PN Semarang. Pernah juga di Depok. Kemudian pada bulan Juli 2016 dilantik dan langsung mengikuti Lemhanas," ujar Hasoloan. (Tribunwow.com/Dhika Intan)