Gempa di Cianjur
Kepala Berdarah, Bocah 3 Tahun Korban Gempa Cianjur Ditolak Rumah Sakit karena Tak Ditanggung BPJS
Sebuah rumah sakit di kawasan Citeureup, Jawa Barat menolak memberikan pelayanan medis lanjutan bagi balita korban gempa Cianjur.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Seorang anak korban gempa Cianjur berusia 3 tahun tak mendapatkan perawatan maksimal dari sebuah rumah sakit swasta di kawasan Citeureup, Jawa Barat.
Dilansir TribunWow.com, pihak RS menolak melakukan tindakan perawatan lebih lanjut pada bocah bernama Ibriz Muttaqi tersebut.
Alasannya, sang anak yang menderita luka di bagian kepala tersebut tidak ditanggung oleh BPJS.
Baca juga: Dimarahi TNI hingga Terbentur Spion, Ini Kisah Unik Mensos Risma saat Kunjungi Korban Gempa Cianjur
Sang ibu, Rufaidah, mengaku tengah berada di Jakarta saat gempa bumi melanda kampung halamannya.
Mendengar anaknya menjadi korban, Rufaidah langsung pulang dan mendapati Ibriz sudah mendapatkan penangangan pertama di RSUD Sayang.
"Saya dan suami di Jakarta, anak dan abah saya di Cianjur. Saat saya mendengar anak jadi korban saya langsung ke Cianjur," kata Rufaidah dikutip TribunJakarta.com, Minggu (27/11/2022).
"Anak saya sudah ditangani, sudah dijahit dan diperban RSUD Sayang Cianjur."
Karena mengkhawatirkan kondisi anaknya, Rufaidah berniat untuk melakukan pemeriksaan secara keseluruhan.
"Saat di sana saya tanya, anak saya sudah ditangani kepalanya kemudian apakah aman 3-4 jam perjalanan menuju Citereup. Kata dokter RSUD aman," tutur Rufaidah.
"Yang saya pikirkan, saya minta rujukan ke faskes 1. Walau pertolongan pertama sudah dilakukan, hanya saja kami ingin adanya tindakan lanjutan, semisal rontgen dan CT scan. Karena ini kepala dan ini anak kecil."

Baca juga: Ibunya Tewas, Berikut Kondisi Bocah Korban Gempa di Cianjur yang Ditemukan Selamat setelah 3 Hari
Saat hendak membawa anaknya ke rumah sakit yang lebih lengkap, luka sang bayi kembali terbuka di tengah jalan.
Bajunya pun basah karena darah sehingga dilakukan tindakan cepat dengan meminta surat rujukan di sebuah klinik.
"Nah dari Cianjur kita lewat jonggol, jahitan kepala anak saya yang belum kering itu rembes. Darah membasahi bajunya," kata Rufaidah.
"Pikiran saya adalah saya harus minta rujukan ke faskes 1 di Klinik Insani Citeureup. Karena melihat kondisi anak saya penuh dengan darah, akhirnya dirujuk ke sebuah rumah sakit swasta yang berada di dekat Klinik Insani."
Meski langsung memberikan penangangan, pihak rumah sakit menolak memberi tindakan lebih lanjut.
Pasalnya menurut mereka, korban bencana alam tidak dicover BPJS kesehatan.
"Kami dilayani ditangani diperban ulang dirapikan dibersihkan, namun untuk tindak lanjut keperatawan kami ditolak dengan alasan korban bencana tidak dicover BPJS," beber Rufaidah dikutip Tribunnews.com.
"Dari situ kami pulang, di rumah sakit tersebut tidak ditolak mentah-mentah, tetap dilayani. Jadi memang yang ditolak untuk tindakan lanjutnya, seperti di CT Scan, rontgen dan lain-lain."
"Yang kami harapkan proses selanjutnya karena kami sendiri tidak tahu kalau anak seperti ini harus gimana tindakannya. Tapi dapat jawaban seperti itu, kalau korban bencana tidak bisa di-cover BPJS."
Keesokan harinya, Rufaidah kembali menghubungi faskes 1 Klinik Insani Citeureup dan dialihkan rujukannya ke RSUD Ciawi.
"Di sana kami dilayani selayaknya tanpa ada penolakan," ungkap Rufaidah.
"Kami masih menunggu hasil rongsen dan CT scan, kondisi Ibriz naik turun, qodarullah hari ini HBnya rendah dan sedang proses tranfusi darah. Mohon doa untuk kelancaran tiap prosesnya."
Lantaran adanya pengalaman tak mengenakkan tersebut, Rufaidah berharap adanya koordinasi lebih baik antara pemerintah provinsi dengan pihak rumah sakit.
Apalagi mengingat bahwa korban bencana alam telah dinyatakan mendapat pengobatan gratis lantaran ditanggung pemerintah.
"Harapan saya komunikasi semua pihak lebih baik lagi," ucap Rufaidah.
"Kalau pun memang korban bencana tidak ter-cover BPJS karena ada dana khusus untuk itu baiknya ada alur yang baik juga dari pemerintah ke semua RS agar tidak terkesan penolakan karena aturan atau hal sebagainya yang berhubungan dengan komunikasi," imbuhnya.
Baca juga: Kisah Enjot, Korban Gempa di Cianjur yang Kehilangan 11 Anggota Keluarga saat Desanya Luluh Lantak
Kisah Pilu Para Pengungsi Gempa Cianjur
Gempa magnitudo 5,6 yang mengguncang di Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11/2022), telah mengubah hidup ribuan orang warganya.
Dilansir TribunWow.com, mereka yang selamat tak hanya kehilangan anggota keluarga, namun juga harus menghadapi trauma dan hidup dalam keterbatasan.
Tak jarang, para pengungsi tersebut dipaksa beradaptasi dengan kondisi yang tidak manusiawi.
Adapun hingga kini, korban tewas dikabarkan mencapai 271 jiwa dengan korban luka-luka mencapai lebih dari 1.083, serta pengungsi berjumlah sekira 58 ribu orang.
Baca juga: Berita Ridwan Kamil: Korban Tewas Gempa Cianjur Capai 268 Jiwa, RK Rinci Kebutuhan 58 Ribu Pengungsi
Tidur Bersama Jenazah
Seperti yang dialami para pengungsi di Desa Cibulakan, Kecamatan Cugeunang, Kabupaten Cianjur yang terisolir karena akses jalan tertutup longsoran.
Mobil dan ambulans yang digunakan untuk mengangkut warga terluka atau jenazah tak bisa lewat untuk memberikan bantuan.
Sehingga, warga terpaksa harus secara swadaya membangun posko pengungsian untuk menampung warga dengan tenda seadanya sejak Senin (21/11/2022).
Tak hanya itu, masyarakat mau tak mau terpaksa tidur sebaris dengan 11 jenazah yang berhasil diselamatkan dari reruntuhan.
Pasalnya, warga bingung mengurus para korban meninggal akibat tidak adanya sarana untuk memandikan jasad maupun kelengkapan seperti kain kafan.
"Karena anak-anak trauma, akhirnya kami pisah jenazah ditaruh di ujung belakang sana sementara warga di depan sini," kata seorang pengungsi bernama Rosidah seperti dikutip dari TribunnewsDepok.com, Rabu (23/11/2022).
Akhirnya, sehari setelah gempa, jenazah para warga tersebut dimakamkan dengan kondisi seadanya.
Bahkan, warga terpaksa memandikan jasad korban dengan air parit yang digunakan untuk mengaliri sawah lantaran tak ada akses air PAM ataupun listrik.
"Karena kalau tidak dikubur bagaimana, kasihan anak-anak trauma melihatnya. Menunggu bantuan tidak tahu kapan tiba," imbuhnya.

Baca juga: Kisah Enjot, Korban Gempa di Cianjur yang Kehilangan 11 Anggota Keluarga saat Desanya Luluh Lantak
Mengungsi di TPU
Sementara itu, warga di wilayah Panumbang, Desa Cibulakan, juga terpaksa tidur di tenda yang dipasang di atas tanah makam.
Bersama istri, empat cucu dan satu anaknya, Dedi (56) hidup bersama 73 kepala keluarga lain di TPU Panumbang.
"Dari pada kenapa-kenapa, rumah juga sudah roboh sebagian temboknya jadi kita kosongkan. Bawa semua anak-anak mengungsi di sini," kata Dedi dikutip TribunnewsDepok.com.
Tidur di Pinggir Rel
Nasib pilu juga dialami warga di Kampung Margaluyu, Keluarahan Sayang, Kabupaten Cianjur yang terpaksa tidur di pinggir rel kereta api.
Meski berbahaya, namun ratusan warga terpaksa hidup di pengungsian sementara tersebut karena takut akan adanya gempa susulan.
"Warga gotong royong mendirikan tenda dari terpal seadanya, yang diikat pakai tali plastik ke tiang di pinggir rel kereta," kata warga bernama Hendi Supyandi pada TribunJabar.id, Selasa (22/11/2022).
Meski sudah mendapat bantuan berupa makanan ringan dan air, warga masih kekurangan bahan makanan pokok.
Selain itu, kondisi tenda untuk menampung para pengungsi juga masih kurang layak lantaran tak bisa membendung udara dan angin dingin.
"Inikan posisinya cuman atasnya saja yang ditutupi terpal, ditambah kondisi sekarang anginnya cukup kencang, banyak juga bayi dan anak di sini," tandasnya.
Baca juga: Tangis Histeris Ayah Korban Gempa Cianjur Lihat Anaknya Terbujur Kaku di Kantong Jenazah: Ya Allah

(TribunWow.com/Via)