Konflik Rusia Vs Ukraina
Biden Ngaku Sudah Peringatkan Ukraina soal Invasi Rusia: Zelensky Tidak Mau Mendengar
Presiden Amerika Serikat (AS) menyatakan telah memperingatkan Ukraina soal invasi pasukan militer Rusia.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyatakan sudah pernah memperingatkan Ukraina soal invasi pasukan militer Rusia.
Pengakuan ini disampaikan oleh Biden saat menghadiri acara partai Demokrat di Los Angeles, AS.
Biden mengatakan, intelijen AS sebenarnya telah mengumpulkan informasi terkait persiapan Rusia melakukan invasi.
Baca juga: Warga Jepang Santet Putin Gunakan Boneka Kutukan, Foto Kepala Presiden Rusia Dipaku ke Pohon Suci
Baca juga: Intelijen Militer Ukraina Sebut Negaranya Bergantung pada Bantuan Barat, Akui Keunggulan Rusia
Dikutip TribunWow.com dari Sky News, Biden bercerita saat menyampaikan laporan potensi Rusia melakukan invasi, banyak pihak menganggap dirinya bersikap berlebihan.
Kemudian Biden menjelaskan pada saat itu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengabaikan laporan tersebut.
"Zelensky tidak mau mendengar itu," ujar Biden.
Biden menyebut aksi Rusia melakukan invasi telah memicu terjadinya bencana kemanusiaan.
Biden tegas menyatakan Rusia secara brutal telah memerangi Ukraina tanpa adanya provokasi dari pihak lawan.
Biden bahkan menyebut Putin seolah-olah ingin memusnahkan peradaban manusia di Ukraina.
Dikutip TribunWow.com dari Sky News, pernyataan ini disampaikan oleh Biden dalam pertemuan puncak antara pimpinan negara AS dengan Jepang, Australia, dan India.
"Tampak bagi saya bahwa Putin sedang mencoba untuk memadamkan sebuah peradaban manusia," ujar Biden.
Berdasarkan penjelasan dari Biden, Putin tidak lagi mengincar target militer di Ukraina.
"Dia menghancurkan semua sekolah, gereja seolah-olah berusaha untuk memusnahkan peradaban di Ukraina," kata Biden.
Biden menyampaikan, seluruh dunia kini harus bertanggungjawab atas apa yang terjadi di Ukraina.
Sebelumnya, Biden diminta untuk fokus mengurus permasalahan internal negara, bukan justru mencampuri konflik antara Rusia dan Ukraina.
Kritikan ini disampaikan oleh anggota kongres AS bagian Arizona, Paul Gosar.
Gosar yang merupakan politisi Partai Republik mengecam langkah pemerintah AS yang menghabiskan triliunan dollar untuk mengirimkan bantuan senjata ke Ukraina.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com, Gosar adalah satu dari 57 anggota kongres yang menolak AS mengirimkan bantuan senilai 40 triliun USD untuk Ukraina.
Gosar meminta agar Biden fokus mengurus internal AS di antaranya adalah utang, inflasi, hingga permasalahan imigran.
"Ukraina bukan teman kita. Rusia bukan musuh kita. Kita perlu mengurus masalah utang kita, inflasi dan imigrasi. Semua ini bukan lah kesalahan Putin," tulis Gosar di akun sosial medianya.
Diketahui, AS saat ini tengah dilanda masalah naiknya harga minyak, tingginya inflasi, langkanya pangan, bahkan susu formula untuk bayi.
Baca juga: Ungkit Sejarah Dunia, Profesor di Yale Maklumi jika Ukraina Menang Lawan Rusia
Ukraina Perpanjang Perang demi Uang
Secara sukarela Aiden Aslin, seorang warga negara Inggris pergi ke Ukraina untuk membantu pasukan di sana menghadapi gempuran tentara Rusia.
Namun di tengah konflik, Aslin menyerah kepada prajurit Rusia dan kini dirinya telah dijatuhi vonis hukuman mati seusai diadili di Donetsk.
Aslin yang mengaku menyesal telah memerangi Rusia kini menyebut perang di Ukraina sebenarnya bisa berakhir lebih cepat jika pemerintah Ukraina menginginkannya.
Dikutip TribunWow.com, hal ini disampaikan oleh Aslin saat diwawancarai oleh media Rusia rt.com.
Wawancara ini dilakukan sebelum Aslin dijatuhi vonis hukuman mati.
Aslin bercerita, pasukan militer Ukraina ternyata tidak mendapatkan pelatihan yang cukup.
Ia bercerita, karena kemampuan militer Ukraina yang buruk, mereka bahkan dapat mengenai infrastruktur warga sipil saat mengincar target militer.
"Faktor lain yang harus Anda pertimbangkan (dalam kasus tentara Ukraina) adalah di sana banyak terlibat alkohol (miras -red)," ujar Aslin.
Aslin bercerita, dirinya berharap dulu bekerja sebagai warga sipil biasa, tidak membantu pasukan militer Ukraina dalam konflik melawan Rusia.
"Mereka (pemerintah Ukraina) dapat dengan mudah mengakhiri perang. Mereka memiliki kesempatan tetapi mereka memilih untuk tidak (mengakhiri)," kata Aslin.
"Karena saya pikir uang turut terlibat," ujarnya.
Saat ini Aslin mengaku merasa ditelantarkan oleh pemerintah Inggris dan Ukraina.
Menurut Aslin, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky tidak pernah mengungkit nasib para warga Inggris yang tertangkap.
"Saya harus bertanya kepada pemerintah Ukraina, jika Anda menganggap kami sebagai pahlawan, mengapa Anda bertingkah seakan-akan kita tidak ada," kata Aslin.
Perhatian dunia internasional saat ini tengah tertuju kepada dua warga negara Inggris yang dijatuhi vonis hukuman mati dalam pengadilan di Donetsk.
Kedua warga Inggris tersebut adalah Aiden Aslin dan Shaun Pinner yang menyerah kepada pasukan militer Rusia saat membantu tentara Ukraina.
Kabar vonis hukuman mati terhadap Aslin dan Pinner ramai diberitakan oleh media-media barat terutama media asal Inggris.
Mayoritas media Inggris fokus terhadap status Aslin dan Pinner yang seharusnya tak bisa diberikan vonis hukuman mati.
Dikutip TribunWow.com, sementara itu media Rusia menyoroti bagaimana minimnya pertolongan pemerintah Inggris terhadap warganya.
Channel One, kanal televisi milik pemerintah Rusia menyoroti permohonan ampun yang disampaikan oleh Aslin.
Channel One meliput bagaimana Aslin meminta maaf kepada para penduduk Donetsk, dan meminta agar hukumannya diringankan.
"Saya berharap untuk diberikan hukuman lain," kata Aslin disiarkan dalam kanal televisi Channel One.
Sementara itu kanal televisi milik pemerintah Rusia lainnya yakni Rossiya 1 memberitakan bagaimana otoritas Inggris tidak melakukan upaya untuk berkomunikasi dengan pimpinan Republik Rakyat Donetsk demi keselamatan Aslin dan Pinner.
Tabloid Komsomolskaya Pravda menyampaikan terdapat masalah besar di mana pemerintah Inggris berniat mengajukan banding namun di sisi lain pemerintah Inggris tidak mengakui Republik Rakyat Donbas sebagai negara independen. (TribunWow.com/Anung/Via)