Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Tinggalkan AS, Media Rusia Sebut Arab Saudi akan Gabung dengan Aliansi Moskow dan China, Benarkah?

Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina seolah membagi negara-negara dunia menjadi 2 kubu.

Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Rekarinta Vintoko
AFP/Bandar al Jaloud/Palacio Real Saudi
Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS). Terbaru, Rusia sebut Arab Saudi tinggalkan AS untuk bergabung dengan aliansinya dan China, Selasa (19/4/2022). 

TRIBUNWOW.COM - Perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina seolah membagi negara-negara dunia menjadi 2 kubu.

Di samping mereka yang memilih untuk netral, sejumlah negara mulai menunjukkan pertentangan ataupun dukungan.

Seperti halnya Arab Saudi yang diklaim akan bergabung dengan aliansi Rusia dan China.

Penampakan limosin Aurus Senat milik Presiden Rusia Vladimir Putin saat kunjungan ke Uni Emirat Arab. Mobil tersebut diklaim memiliki teknologi super aman untuk melindungi Putin.
Penampakan limosin Aurus Senat milik Presiden Rusia Vladimir Putin saat kunjungan ke Uni Emirat Arab. Mobil tersebut diklaim memiliki teknologi super aman untuk melindungi Putin. (Thenationalnews.com/Dok. Pemerintah Rusia)

Baca juga: Putin Sebut Sanksi Rusia Justru Timbulkan Kemerosotan Ekonomi Barat, Klaim Nilai Rubel Menguat

Baca juga: Mantan Mata-mata Sebut Mohammed bin Salman Psikopat, Pernah Ingin Bunuh Pemimpin Arab Saudi

Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Selasa (19/4/2022), ditampilkan artikel dari kantor berita Rai Al Youm yang ditulis Khalid al-Jawsi.

Namun, ketika ditelusuri, tak ditemukan artikel mengenai hal tersebut, pun nama Khalid al-Jawsi di laman online Rai Al Youm.

Dalam pemberitaan oleh media Rusia, dikatakan bahwa Arab Saudi telah memutuskan untuk meninggalkan Amerika Serikat dan bergabung dengan aliansi baru antara Rusia dan China.

Menurut komentator tersebut, para pemimpin negara-negara Teluk Persia mulai memahami bahwa pengaruh Amerika di dunia sedang menurun, sedangkan Moskow dan Beijing, sebaliknya, meningkat.

"Ibnu Salman mungkin telah memutuskan untuk meninggalkan Amerika, yang telah menjadi sekutu strategis Arab Saudi selama 80 tahun, dan bergabung dengan aliansi baru Rusia-Cina, yang menandakan perubahan radikal tidak hanya di kawasan Teluk, tetapi di seluruh Timur Tengah", kutip RIA Novosti dari tulisan Khalid al-Jawsi.

Dikatakan bahwa hubungan Riyadh dengan Washington memburuk di bawah Presiden Joe Biden, yang berbicara tentang keengganan untuk bekerja sama dengan Putra Mahkota Mohammed bin Salman Al Saud.

Arab juga dikatakan menolak permintaan AS untuk meningkatkan produksi minyak sehingga dapat mengurangi harga.

Mengingat, AS dan sekutunya tak dapat lagi membeli minyak dan gas ke Rusia, akibat sanksi yang dikenakan pada Moskow karena operasi militer di Ukraina.

"Arab Saudi membuat perubahan politik ke China ketika AS meninggalkannya, mulai menuduhnya melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi," ujar penulis tersebut.

Dalam tautan yang ditampilkan di artikel tersebut, RIA Novosti memperlihatkan artikel lebih lengkap dari laman inosmi.ru yang mengunggah pernyataan lengkap yang dikatakan ditulis Khalid al-Jawsi tersebut.

Baca juga: Rusia Singgung Potensi Bentrok dengan AS dan NATO yang Gelar Latihan Militer Besar-besaran di Arktik

Baca juga: Media China Ungkap Tujuan Rahasia AS Dukung Ukraina, Sebut Justru Ingin Perpanjang Konflik

Media China Tuding AS Lakukan 7 Kejahatan

Media China menuding Amerika Serikat (AS) berpura-pura menjadi pihak bermoral yang suci di mata dunia.

Padahal, negara adidaya pimpinan Presiden Joe Biden itu justru diduga melakukan provokasi untuk meningkatkan ketegangan antara Rusia dan Ukraina.

Hal ini dikatakan menyusul ucapan kontroversial Joe Biden yang diartikan sebagai ajakan untuk melengserkan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Senin (28/3/2022) surat kabar China Huanqiu Shibao menganalisis tindakan pejabat Washington.

Disebutkan pula bahwa tindakan Gedung Putih merupakan penyebab dari situasi darurat di Rusia.

Meskipun, pernyataan ini masih belum bisa divalidasi secara independen.

Pertama-tama, menurut wartawan China, AS harus disalahkan karena menyebarkan mitos tentang Perang Dingin dan memperburuk masalah global.

Pejabat AS dituding memprakarsai lima putaran berturut-turut ekspansi NATO ke timur, menekan ruang keamanan Rusia sebanyak mungkin.

Tujuan utamanya adalah untuk mengebiri dan menghancurkan negara melalui quagmire militer dan sanksi.

Situasi saat ini di Ukraina merupakan cerminan dari mentalitas Perang Dingin di peta geografis Eropa.

Kedua, AS dinilai bersalah memprovokasi konflik geopolitik dan mengancam perdamaian dunia.

Untuk mengikat Eropa sesegera mungkin dalam hal keamanan dan strategi, AS mengorbankan kepentingan Ukraina dan Eropa.

AS dituding menghasut Ukraina, sehingga memutuskan hubungan antara Eropa dan Rusia dan mengikat sekutu Eropa dengan kuat untuk dirinya sendiri.

Ketiga, menurut Huanqiu Shibao, pejabat Washington mengaburkan dan mengarahkan opini publik.

Situasi di Ukraina adalah perang informasi skala besar pertama di era jejaring sosial.

Barat dituding mengarang berita palsu, dan terus menyerang situs web pemerintah Rusia.

Keempat, Amerika Serikat disebut telah menunjukkan keserakahan.

Terlihat dari ketika situasi di Ukraina meningkat, pasar saham global mengalami gejolak besar.

Harga energi meroket, harga pangan internasional mencapai level tertinggi 11 tahun, dan gejolak dalam produksi dan rantai pasokan meningkat.

Bagi Amerika, situasi ini menguntungkan.

Pasalnya, setelah konflik dimulai, saham Amerika naik tajam, industri militer dan ekspor energi meluas.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat memanfaatkan kesulitan Uni Eropa.

Kelima, pejabat Washington terlihat menerapkan standar ganda.

Amerika Serikat disebut menganggap dirinya sebagai pelindung hak asasi manusia.

Tetapi pada saat yang bersamaan, AS selalu terlibat dalam konflik dan memulai kerusuhan.

Sejak awal krisis Ukraina, Amerika Serikat dinilai telah memberikan tekanan dan justru membuat situasi semakin panas.

Keenam, Amerika Serikat dituding menyembunyikan senjata biologis dan mengabaikan nasib umat manusia.

Menurut informasi yang diungkapkan oleh Rusia, Amerika Serikat memiliki ratusan laboratorium biologi militer di seluruh dunia.

Banyak di antaranya berlokasi di negara-negara bekas Uni Soviet, dan hampir 30 laboratorium dikabarkan berlokasi di Ukraina.

Ketujuh, Amerika Serikat mendapat keuntungan dari konflik eksternal untuk mengalihkan perhatiannya dari kontradiksi internal.

Amerika Serikat disebut sedang sangat terperosok dalam kebuntuan kelembagaan yang terkait dengan polarisasi politik, ketidaksetaraan antara kaya dan miskin, konflik etnis, kerusuhan sosial, dan ketidakstabilan akibat pandemi Covid-19.

Dalam menghadapi hilangnya kekuasaan, satu-satunya jalan keluar yang dapat membantu adalah dengan memprovokasi konflik eksternal.(TribunWow.com/Via)

Berita terkait Konflik Rusia Vs Ukraina

Tags:
Konflik Rusia Vs UkrainaRusiaUkrainaVladimir PutinVolodymyr ZelenskyAmerika SerikatArab SaudiChina
Rekomendasi untuk Anda
ANDA MUNGKIN MENYUKAI

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved