Konflik Rusia Vs Ukraina
Bantu Persiapan Lawan Rusia, AS akan Latih Warga Ukraina Operasikan Senjata Militer Khusus
Amerika Serikat berencana untuk mulai melatih warga Ukraina tentang cara mengoperasikan senjata militer.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Amerika Serikat berencana untuk mulai melatih warga Ukraina tentang cara mengoperasikan senjata militer.
Adapun senjata khusus tersebut adalah sistem artileri howitzer yang termasuk dalam paket bantuan militer AS.
Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pertahanan Ukraina terhadap serangan Rusia yang diperkirakan terjadi di timur.

Baca juga: Media Rusia Beritakan Rencana NASA Berpotensi Provokasi Alien untuk Menyerang Bumi
Baca juga: Rudal Dibalas Rudal, Rusia Kembali Serang Kiev dan Kota Ukraina Lain Balas Tenggelamnya Kapal Moskva
Seorang pejabat senior pertahanan AS mengatakan pelatihan ini sudah akan dimulai dalam beberapa hari mendatang.
Berbicara dengan syarat anonim pada hari Senin, (18/4/2022) pejabat itu mengatakan pelatihan howitzer akan berlangsung di luar Ukraina.
Dilansir Aljazeera, meriam howitzer 155 mm adalah bagian dari paket senjata tambahan senilai $ 800 juta (sekitar Rp 11 triliun) untuk Ukraina yang diumumkan Presiden AS Joe Biden pekan lalu.
Bantuan juga mencakup sistem artileri lainnya, peluru artileri, pengangkut personel lapis baja dan helikopter.
“Paket bantuan baru ini akan berisi banyak sistem senjata yang sangat efektif yang telah kami sediakan dan kemampuan baru yang disesuaikan dengan serangan yang lebih luas yang kami harapkan akan diluncurkan Rusia di Ukraina timur,” kata Biden dikutip TribunWow.com dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (13/4/2022).
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pekan lalu telah meminta sekutunya untuk menyediakan lebih banyak alat berat dan senjata.
Pejabat pertahanan AS mengatakan empat penerbangan kargo AS tiba di Eropa pada hari Minggu dengan membawa senjata dan bahan lainnya sebagai bagian dari paket bantuan $ 800 juta.
AS berencana untuk mengajari para pelatih Ukraina cara menggunakan beberapa senjata baru dan kemudian melatih para instruktur untuk mengajari rekan-rekan mereka di Ukraina.
Tetapi Moskow, yang meluncurkan invasi pada 24 Februari, baru-baru ini memperingatkan pemerintahan Biden dalam sebuah catatan diplomatik resmi tentang konsekuensi yang tidak dapat diprediksi jika Washington memberikan senjata lebih lanjut ke Kyiv.
“Kami menyerukan Amerika Serikat dan sekutunya untuk menghentikan militerisasi Ukraina yang tidak bertanggung jawab, yang menyiratkan konsekuensi tak terduga bagi keamanan regional dan internasional,” bunyi catatan itu, seperti dilansir The Washington Post.
Baca juga: Sebut Bodoh, Kadyrov Tertawakan Kesiapan Zelensky Perang dengan Rusia 10 Tahun: Kami Tak Punya Waktu
Baca juga: Inggris Dibuat Bingung Gara-gara Ada 2 Warganya Terlibat Konflik di Ukraina dan Kini Ditangkap Rusia
Media China Tuding AS Lakukan 7 Kejahatan
Media China menuding Amerika Serikat (AS) berpura-pura menjadi pihak bermoral yang suci di mata dunia.
Padahal, negara adidaya pimpinan Presiden Joe Biden itu justru diduga melakukan provokasi untuk meningkatkan ketegangan antara Rusia dan Ukraina.
Hal ini dikatakan menyusul ucapan kontroversial Joe Biden yang diartikan sebagai ajakan untuk melengserkan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Senin (28/3/2022) surat kabar China Huanqiu Shibao menganalisis tindakan pejabat Washington.
Disebutkan pula bahwa tindakan Gedung Putih merupakan penyebab dari situasi darurat di Rusia.
Meskipun, pernyataan ini masih belum bisa divalidasi secara independen.
Pertama-tama, menurut wartawan China, AS harus disalahkan karena menyebarkan mitos tentang Perang Dingin dan memperburuk masalah global.
Pejabat AS dituding memprakarsai lima putaran berturut-turut ekspansi NATO ke timur, menekan ruang keamanan Rusia sebanyak mungkin.
Tujuan utamanya adalah untuk mengebiri dan menghancurkan negara melalui quagmire militer dan sanksi.
Situasi saat ini di Ukraina merupakan cerminan dari mentalitas Perang Dingin di peta geografis Eropa.
Kedua, AS dinilai bersalah memprovokasi konflik geopolitik dan mengancam perdamaian dunia.
Untuk mengikat Eropa sesegera mungkin dalam hal keamanan dan strategi, AS mengorbankan kepentingan Ukraina dan Eropa.
AS dituding menghasut Ukraina, sehingga memutuskan hubungan antara Eropa dan Rusia dan mengikat sekutu Eropa dengan kuat untuk dirinya sendiri.
Ketiga, menurut Huanqiu Shibao, pejabat Washington mengaburkan dan mengarahkan opini publik.
Situasi di Ukraina adalah perang informasi skala besar pertama di era jejaring sosial.
Barat dituding mengarang berita palsu, dan terus menyerang situs web pemerintah Rusia.
Keempat, Amerika Serikat disebut telah menunjukkan keserakahan.
Terlihat dari ketika situasi di Ukraina meningkat, pasar saham global mengalami gejolak besar.
Harga energi meroket, harga pangan internasional mencapai level tertinggi 11 tahun, dan gejolak dalam produksi dan rantai pasokan meningkat.
Bagi Amerika, situasi ini menguntungkan.
Pasalnya, setelah konflik dimulai, saham Amerika naik tajam, industri militer dan ekspor energi meluas.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat memanfaatkan kesulitan Uni Eropa.
Kelima, pejabat Washington terlihat menerapkan standar ganda.
Amerika Serikat disebut menganggap dirinya sebagai pelindung hak asasi manusia.
Tetapi pada saat yang bersamaan, AS selalu terlibat dalam konflik dan memulai kerusuhan.
Sejak awal krisis Ukraina, Amerika Serikat dinilai telah memberikan tekanan dan justru membuat situasi semakin panas.
Keenam, Amerika Serikat dituding menyembunyikan senjata biologis dan mengabaikan nasib umat manusia.
Menurut informasi yang diungkapkan oleh Rusia, Amerika Serikat memiliki ratusan laboratorium biologi militer di seluruh dunia.
Banyak di antaranya berlokasi di negara-negara bekas Uni Soviet, dan hampir 30 laboratorium dikabarkan berlokasi di Ukraina.
Ketujuh, Amerika Serikat mendapat keuntungan dari konflik eksternal untuk mengalihkan perhatiannya dari kontradiksi internal.
Amerika Serikat disebut sedang sangat terperosok dalam kebuntuan kelembagaan yang terkait dengan polarisasi politik, ketidaksetaraan antara kaya dan miskin, konflik etnis, kerusuhan sosial, dan ketidakstabilan akibat pandemi Covid-19.
Dalam menghadapi hilangnya kekuasaan, satu-satunya jalan keluar yang dapat membantu adalah dengan memprovokasi konflik eksternal.(TribunWow.com/Via)