Konflik Rusia Vs Ukraina
Pejabat Rusia Ramai-ramai Mundur hingga Jadi Tahanan, Diduga Salahkan Putin Buntut Invasi ke Ukraina
Perselisihan dilaporkan terjadi dalam internal pemerintahan Rusia sejak Presiden Vladimir Putin mengumumkan invasi ke Ukraina, Kamis (24/2/2022).
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Perselisihan dilaporkan terjadi dalam internal pemerintahan Rusia sejak Presiden Vladimir Putin mengumumkan invasi ke Ukraina, Kamis (24/2/2022).
Kini, sejumlah pejabat militer dikabarkan mengundurkan diri atau menghilang dari muka publik.
Bahkan, beberapa jenderal intelejen FSB Rusia ditangkap dan dijadikan tahanan rumah.

Baca juga: Penasihat Senior Putin Mundur dari Jabatannya, Hengkang dari Rusia Buntut Invasi ke Ukraina
Baca juga: Sosok Antoly Chubais, Sumber Kekuasaan Vladimir Putin yang Kini Mundur akibat Konflik Ukraina
Dilansir TribunWow.com dari kanal YouTube MSNBC Kamis (24/3/2022), kabar perpecahan lingkaran dalam Putin semakin santer dikabarkan.
Terutama setelah juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengonfirmasi pengunduran diri pejabat tinggi Rusia, Antoly Chubais.
Chubais diketahui merupakan satu di antara tokoh politik yang menjadi sumber kekuasaan Putin.
Pria yang disebut sebagai Bapak Oligarki Rusia itu juga orang pertama yang memasukkan Putin ke kalangan pemerintahan Rusia.
Kemudian, Gubernur Jenderal Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina, juga dikabarkan telah mengajukan surat pengunduran diri.
Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Putin dengan menyebut bahwa pengunduran dirinya di masa seperti sekarang, dapat dikategorikan sebagai pengkhianatan.
Andrei Soldatov, Jurnalis Investigasi Rusia, memberikan keterangan mengenai fenomena tersebut.
Penulis buku sejarah Rusia itu menggambarkan situasi di Rusia saat ini sebagai suatu kekacauan.
Di mana para pejabat tersebut menyalahkan Putin atas dampak dari keputusannya untuk menyerang Ukraina.
"Aku melihat banyaknya kebingungan, banyak pejabat elite dan petinggi sektor keuangan, serta pihak keamanan yang merasa tak senang dengan perkembangan perang," kata Soldatov.
"Dan mereka menyalahkan satu orang, Vladimir Putin."
"Tampaknya, tak banyak orang yang diberitahu mengenai rencananya untuk menginvasi Ukraina seperti yang dilakukannya."
Namun, masalah ini menjadi berputar-putar, lantaran Putin juga menyalahkan jajarannya.
Ia sempat menyemprot kepala intelejen luar negeri Rusia dan mempermalukannya di hadapan umum.
"Dalam sebulan belakangan, ia telah menyerang tiga lembaga intelejen terkait peran mereka dalam memulai perang," kata Soldatov.
"Putin mempermalukan kepala badan intelejen luar negeri-nya yang dilakukan di hadapan publik saat pertemuan dengan jajaran keamanan."
Tak puas, Putin kemudian menangkap Kolonel Jenderal Sergei Beseda, kepala Dinas Kelima dari dinas intelijen FSB beserta wakilnya.
Ia menyalahkan laporan dari FSB yang dinilai kurang kredibel sehingga menyebabkan salah perhitungan dalam agresi ke Ukraina.
"Dua minggu kemudian, ia menyerang FSB karena memberikan informasi intelejen yang buruk tentang situasi politik di Ukraina," ujar Soldatov.
"Dia pun menangkap dua jenderalnya dan menempatkan mereka sebagai tahanan rumah."
Tak lama, Putin juga menahan wakil kepala unit Rosgvardia, Jenderal Roman Gavrilov.
Gavrilov yang menjadi ujung tombak penyerangan ke Kiev, dikambing hitamkan karena kegagalannya menguasai ibukota Ukraina dalam waktu dekat.
"Seminggu selanjutnya, ia memaksa wakil garda keamanan nasional yang memimpin pasukan bertempur di Ukraina untuk pensiun," beber Soldatov.
"Hal ini memperlihatkan bahwa Putin memutuskan untuk menyalahkan orang-orang kepercayaannya sendiri."
Sementara itu, dikabarkan Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu dan kepala staf umum angkatan bersenjata Rusia, Valery Gerasimov, telah lama tak tampak ke publik.
Padahal, dua master perang Putin itu selama ini tak pernah absen mendampingi presiden dalam berbagai pertemuan.
Apalagi, Shoigu biasanya sering tampil di media lantaran memiliki tugas untuk menampilkan citra militer di hadapan publik, terutama di tengah perang yang berkecamuk.
Keduanya dikabarkan terakhir kali terlihat pada Jumat (11/3/2022), saat Putin mengintruksikan agar persenjataan nuklir disiagakan.
Baca juga: Jurnalis Ukraina Sebut Komandan Tentara Rusia Ditabrak Tank oleh Bawahannya Gara-gara Ini
Baca juga: Putin Tangkap Jenderal Perangnya Sendiri, Disebut Berkhianat hingga Dijadikan Kambing Hitam
Lihat tayangan selengkapnya dari menit ke- 01.30:
Prediksi Putin Dikudeta
Mantan direktur jenderal Royal United Services Institute, Michael Clarke, menuturkan spekulasi seputar invasi Rusia ke Ukraina.
Ia menyinggung penggulingan kekuasaan Presiden Rusia Vladimir Putin yang mungkin terjadi dengan cara kudeta.
Dilansir TribunWow.com dari kanal berita Sky News, Rabu (9/3/2022), Clarke menilai Putin telah membuat kesalahan strategis besar-besaran.
Hal ini terlihat dari hambatan yang dialami tentara Rusia untuk menguasai Kiev setelah 13 hari invasi dijalankan.
Sementara Putin dikabarkan mulai depresi karena operasi militer yang dijalankannya tak berjalan sesuai rencana.
Apalagi ditambah tekanan internasional yang menjatuhkan berbagai sanksi ke Rusia.
Hal ini dinilai menjadi jaminan bahwa pemerintahan Putin tak akan berjalan lebih lama lagi.
"Saya pikir Putin sudah selesai, dia akan mundur dengan cepat atau mungkin dalam dua atau tiga tahun," kata Clarke.
"Tidak ada pemulihan dari ini, tidak ada jalan kembali untuknya."
Clarke mengatakan tidak mungkin ada revolusi besar-besaran di Rusia karena tidak ada mekanisme untuk itu.
Dan Putin dianggap masih cukup populer di kalangan warga Rusia biasa di bagian tengah dan timur negara tersebut.
Namun warga kelas menengah cenderung tidak menyukainya.
Sementara para oligarki kini mulai khawatir karena Putin kini mengganggu kemampuan mereka untuk menghasilkan uang.
Pasalnya, akibat invasi ke Rusia, sejumlah perusahaan maupun individu Rusia dikenai sanksi global.
Sementara sejumlah perusahaan internasional yang berkerjasama dengan para taipan itu memilih hengkang dari Rusia.
Belum lagi sanksi pemutusan hubungan antara bank Rusia dengan SWIFT yang menyebabkan transaksi internasional tak bisa dilakukan.
Nilai tukar Rubel pun anjlok besar-besaran sementara sejumlah kerugian diderita negara dan rakyat Rusia.
"Nasib Putin akan menjadi seperi Julius Caesar. Tidak harus berupa pembunuhan fisik, tetapi seseorang akan menusukkan pisau secara politis," ujar Clarke.
"Ketika satu orang melakukannya, mereka semua akan bergabung. Itulah nasib yang sekarang menantinya."
"Dan hanya China yang bisa menyelamatkannya," imbuhnya.(TribunWow.com/Via)