Konflik Rusia Vs Ukraina
Ahli di Italia Diskors dari Kampus karena Salahkan Uni Eropa soal Konflik Rusia-Ukraina
Seorang peneliti sekaligus ahli di sebuah kampus di Italia diskors dari universitas tempatnya bekerja karena opininya soal konflik Rusia-Ukraina.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Direktur Observatorium Keamanan Internasional di Universitas Luiss, Italia, Alessandro Orsini merasa telah menjadi korban diskriminasi.
Orsini saat ini tengah diskors dari kampus tempatnya bekerja seusai mengeluarkan opini soal konflik Rusia dan Ukraina.
Ia berpendapat dalam konflik Rusia-Ukraina, Uni Eropa turut serta berperan memanas-manasi kedua belah pihak.

Baca juga: Jubir Pemerintah Rusia Nyatakan Kapan Putin akan Gunakan Bom Nuklir dalam Perang Ukraina
Baca juga: Sampai Kerahkan Kekuatan Militer ke Mariupol, Mengapa Rusia Anggap Kota Kecil di Ukraina Berharga?
Dikutip TribunWow.com dari Tass.com Selasa (22/3/2022), Orsini menyamapaikan bahwa apa yang dilakukan oleh Uni Eropa justru membuat perang Rusia-Ukraina semakin awet.
Orsini menyoroti bagaimana Brussels terus mengirimkan suplai senjata kepada Ukraina, menyebar propaganda negara-negara barat dan memberikan sanksi.
Sebagai informasi, Brussels diketahui sebagai Ibu Kota Eropa.
"Rusia dan negara-negara Eropa seharusnya bersaudara, yang mana Italia seharusnya berperan sebagai jembatan di antara mereka," kata Orsini.
Orsini menekankan bahwa konflik antara Rusia dan Ukraina harus menyelesaikan perang secara damai.
Atas opininya yang berseberangan dan tidak biasa, Orsini mengaku kini dikecam oleh sejumlah politisi dan media.
Bahkan dirinya turut diskors dari Universitas Luiss tempatnya bekerja.
"Saya mengenalkan sebuah paradigma baru-banyak orang melihat perang dengan pandangan berbeda karena narasi saya," ujarnya.
Orsini lalu mengeluhkan bagaimana kebebasan berpendapat di lingkungan pendidikan turut disensor.
Rusia Minta Media AS Liput Kejahatan Tentara Ukraina
Di sisi lain, media massa negara-negara barat termasuk Amerika Serikat (AS) selama ini selalu memantau perkembangan konflik antara Rusia dan Ukraina.
Namun seringkali media-media barat tersebut i hanya memberitakan klaim dari satu pihak saja yakni Ukraina.
Pemerintah Rusia meminta agar media di AS meliput bagaimana pihak Ukraina turut melakukan kejahatan atau aksi kriminal.
Baca juga: Di Ukraina, Relawan Asal Inggris Lihat Jasad Tentara Rusia Dipajang di Pos Pemeriksaan
Baca juga: 4 Alasan Rusia Terobsesi Kuasai Mariupol, Disebut akan Jadi Pukulan Berat bagi Ukraina
Dikutip TribunWow.com dari Tass.com, permintaan ini disampaikan oleh Kedutaan Besar Rusia untuk Amerika Serikat pada Senin (22/3/2022).
"Media AS seharusnya fokus kepada aksi kriminal pasukan militer Ukraina," ujar Kedubes Rusia untuk AS.
Menurut penjelasan Kedubes Rusia untuk AS, aksi kriminal yang dilakukan oleh tentara Ukraina di antaranya adalah menggunakan warga sipil sebagai tameng dan meletakkan senjata-senjata berat di pemukiman penduduk di Mariupol.
Kedubes Rusia juga menampik bahwa pemerintah Rusia membuat sebuah kamp untuk menampung warga sipil Ukraina yang nantinya akan diminta bekerja tanpa bayaran di Rusia.
Sebelumnya, pada Rabu (16/3/2022) sebuah gedung teater di Mariupol, Ukraina yang difungsikan sebagai tempat penampungan warga sipil hancur seusai dibombardir.
Pemerintah Ukraina menyebut serangan dilakukan oleh pesawat tempur Rusia.
Sementara itu pemerintah Rusia tegas membantah telah melakukan serangan ke gedung teater tersebut.
Dikutip TribunWow.com dari Sky News, bantahan ini disampaikan oleh duta besar pemerintah Rusia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Vasily Nebenzya.
"Perang informasi sedang terjadi dalam skala yang lebih besar dibanding perang fisik," ujar Nebenzya.
Menurut Nebenzya siapa yang memenangkan perang informasi maka akan memenangkan peran secara keseluruhan.
Nebenzya lalu menyampaikan berdasarkan keterangan para warga sipil yang telah lebih dulu mengungsi keluar dari Mariupol, ada keterlibatan batalion Azov yang menyandera para warga sipil.
Nebenzya juga mengungkit bahwa pemerintah Rusia telah menyadari ada tulisan 'anak-anak' di luar gedung teater di Mariupol.
Seluruh pasukan militer Rusia telah diberitahu bahwa gedung teater tersebut adalah tempat yang dipenuhi warga sipil.
"Tidak pernah dijadikan target serangan," kata Nebenzya.
Nebenzya menyebut, pihak yang harus bertanggungjawab dalam hal ini adalah kelompok ultra nasionalis Ukraina batalion Azov.
Keterangan serupa disampaikan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova.
"Jelas ini adalah kebohongan. Semuanya tahu bahwa pasukan militer Rusia tidak membombardir kota. Tidak peduli seberapa banyak video yang disebar oleh struktur NATO dan berapa banyak foto dan video klip bohong disebar, kebenaran akan terungkap," jelas Zakharova.
Syarat Rusia untuk Bisa Akhiri Invasi
Perwakilan Tetap Rusia untuk PBB Vasily Nebenzya mengungkapkan hal yang bisa menentukan lamanya invasi ke Ukraina.
Menurut wakil diplomatik Presiden Rusia Vladimir Putin itu, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi Ukraina.
Dalam waktu dekat, ia pun berencana akan mempresentasikan rancangan resolusi kemanusiaan tentang Ukraina di Dewan Keamanan PBB.
Baca juga: Rusia Rilis Video Peledakan Mal Kiev Ukraina, Beberkan Bukti Kuat Adanya Persenjataan Rahasia
Dilansir TribunWow.com dari media Rusia RIA Novosti, Selasa (15/3/2022), Nebenzya kembali menekankan tujuan negaranya.
Dijelaskan bahwa agresi yang disebutnya operasi militer akan berakhir ketika tujuan Rusia tercapai.
Ia menegaskan terkait tuntutan utama Putin mengenai demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.
Syaratnya yang dikemukakan juga termasuk tidak adanya ancaman yang berasal dari Ukraina terhadap Rusia dengan tidak bergabung menjadi anggota NATO.
Sebelumnya, Rusia mengajukan hak veto menolak resolusi DK PBB soal penyelesaian konflik.
Karenanya,Rusia kini tengah menyusun resolusi sendiri terkait kemanusiaan untuk diajukan ke pertemuan PBB.
"Kami akan mengusulkan proyek kami sendiri, yang bersifat kemanusiaan. Kami akan segera menyajikannya dalam salinan bersih dan melihat apakah Dewan Keamanan bisa atau tidak untuk memenuhi misinya," kata Nebenzya.
Nebenzya menambahkan bahwa dokumen Rusia akan mencakup ketentuan kemanusiaan yang jelas, seperti menyerukan gencatan senjata yang dinegosiasikan, mengevakuasi warga sipil, menghormati hukum humaniter internasional, mengutuk serangan terhadap warga sipil dan infrastruktur sipil, dan perjalanan warga sipil yang aman dan tanpa hambatan.
Di sisi lain, Vladimir Olenchenko, seorang peneliti senior di Pusat Studi Eropa di IMEMO RAS masih meragukan kemungkinan disetujuinya syarat yang diajukan Rusia.
Ia merasa ragu meski Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyatakan tak akan meminta bergabung dengan NATO lagi.
Dalam siaran radio Sputnik, ia mempertanyakan ketulusan niat Zelensky tersebut.
"Saya berpegang pada pandangan bahwa ketika strategi suatu negara berubah atau harus berubah, ketika kebijakan dalam dan luar negerinya berubah, tokoh-tokoh yang mampu menerapkan ini harus siap."
"Sayangnya, baik Zelensky maupun timnya tidak termasuk dalam definisi ini. Jika ini (batal masuk NATO - red.) adalah keyakinannya, maka itu sudah dilakukan, tetapi ini, menurut saya, hanya tanggapan oportunistik," kata Olenchenko.
Menurut Olenchenko, Zelensky telah berulang kali berubah pikiran tentang isu-isu penting kebijakan dalam dan luar negeri.
Ia pun mengaku ragu apakah presiden 44 tahun tersebut akan benar-benar menarik pendaftaran keanggotaan Ukraina dari NATO.
"Oleh karena itu, saya skeptis tentang pernyataannya, sebagai ketentuan, aturan tersebut berumur pendek dan saling membantah, yang kadang-kadang terjadi dalam waktu hanya sehari," pungkas Olenchenko.(TribunWow.com/Anung/Via)