Konflik Rusia Vs Ukraina
Anak di Ukraina Tewas Dehidrasi, Zelensky Soroti Taktik Pasukan Rusia Kepung Warga Sipil
Presiden Ukraina mengungkit kasus tewasnya seorang anak karena dehidrasi akibat serangan pasukan Rusia.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky kembali menyampaikan pesan tentang perkembangan invasi Rusia di Ukraina per Selasa (8/3/2022).
Awalnya Zelensky menyoroti bagaimana pasukan militer Rusia membombardir Kota Sumy.
Selanjutnya Zelensky membahas soal kondisi Kota Mariupol yang saat ini sedang dikepung oleh pasukan Rusia.
Baca juga: Dibantu Israel soal Konflik Lawan Rusia, Ukraina Justru Protes Gara-gara Ini
Baca juga: 3 Skenario Akhir Rusia Vs Ukraina, Putin Pakai Taktik Anaconda hingga Potensi Perang Senjata Kimia
Zelensky menuding pasukan Rusia dengan sengaja telah memotong suplai air bersih, makanan, hingga energi ke Kota Mariupol.
"Untuk pertama kalinya, kasus seorang anak kecil tewas karena dehidrasi," kata Zelensky seperti dikutip dari Sky News.
Ia lalu mengutarakan rasa kekesalannya lantara negara-negara barat belum juga memenuhi janji mereka mengirimkan bantuan udara.
Zelensky juga menegaskan bahwa negara-negara barat tersebut turut bertanggung jawab atas situasi yang terjadi di Ukraina karena mereka belum juga mengirimkan bantuan sesuai janji.
Berulang kali Ukraina juga telah meminta agar negara-negara NATO memberlakukan zona dilarang terbang (no-fly zone) di Ukraina namun permintaan tersebut ditolak.
Dalam kesempatan yang sama, Zelensky juga mengklaim bahwa Rusia telah kehilangan banyak armada tempurnya.
Di sisi lain, Presiden Rusia Vladimir Putin menuding pemerintah Ukraina telah sengaja mempersulit masyarakat sipil di Ukraina yang hendak mengungsi keluar dari zona konflik.
Pernyataan ini disampaikan oleh Putin saat mengadakan pertemuan dengan pramugari maskapai Aeroflot pada Sabtu (5/3/2022).
"Mereka (pemerintah Ukraina) bersembunyi di belakang warga sipil," kata Putin.
"Menggunakan mereka sebagai tameng manusia."
Putin lalu mencontohkan kasus di Kota Mariupol, Ukraina.
Seperti yang diketahui, Mariupol telah berhari-hari bertahan dari serangan Rusia.
Namun pada Sabtu (5/3/2022), pemerintah Rusia dan Ukraina setuju untuk melakukan gencatan senjata sementara guna mempersilakan warga sipil keluar dari kota tersebut.
Rencananya para warga sipil akan dibiarkan mengungsi keluar lewat koridor kemanusiaan.
"Tentara kami langsung bereaksi, menghentikan seluruh serangan, jadi kita hanya mengawasi apa yang terjadi," ujar Putin.
Namun menurut keterangan Putin, justru pemerintah Ukraina yang melarang warga sipilnya keluar mengungsi.
"Tetapi mereka (pemerintah Ukraina) tidak membolehkan siapapun keluar (dari Mariupol)," jelas Putin.
"Tidak ada yang boleh keluar, mereka (pemerintah Ukraina) bersembunyi di belakang warga sipil."
"Panggilan apa yang cocok untuk orang-orang seperti itu? Tentu neo Nazi," pungkasnya.
Di sisi lain Ukraina menyebut, pasukan militer Rusia justru terus melakukan penembakan ke Kota Mariupol ketika gencatan senjata berlaku.
Dikutip dari BBC.com, koridor kemanusiaan yang tadinya dirancang untuk mengevakausi warga sipil tidak bisa digunakan.
"Saya dapat mendengar suara tembakan setiap tiga hingga lima menit," ujar Alexander (44), seorang warga Mariupol.
Alexander bercerita, dirinya juga melihat sejumlah mobil yang tadinya ingin keluar dari Mariupol pulang kembali ke dalam kota.
Pemerintah Ukraina menyebut, pihaknya terpaksa menunda evakuasi karena serangan Rusia masih berlanjut.
3 Skenario Akhir Rusia Vs Ukraina
Hampir dua minggu berlalu sejak Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer spesial di Ukraina pada Kamis (24/2/2022) lalu.
Sampai Selasa (8/3/2022) Putin masih belum menguasai Kiev/Kyiv yang merupakan Ibu Kota Ukraina.
Dr Chris Tuck, Pakar Konflik dan keamanan dari Universitas King, London, Inggris menyebut ada tiga kemungkinan bagaimana konflik di Ukraina akan berkahir.
Dikutip dari Sky News, menurut Tuck, Putin tidak menyangka bahwa Rusia gagal menyelesaikan operasi militer dengan cepat di Ukraina.
"Seharusnya ini (operasi militer) dilakukan secara cepat," kata Tuck.
Tuck melanjutkan, operasi militer Rusia yang gagal diselesaikan secara cepat disebabkan oleh perlawanan pasukan Ukraina yang lebih kuat di luar dugaan Rusia.
Menurut Tuck saat ini Putin hanya memiliki tiga opsi untuk mengakhiri konflik di Ukraina setelah gagal menguasai Kiev dengan cepat.
Baca juga: Hari ke-12 Invasi Rusia ke Ukraina, Penyerangan Makin Gencar sementara Koridor Kemanusiaan Gagal
Baca juga: Beranikah Putin Invasi Ukraina jika Trump Masih Presiden? Eks Dubes AS Menjawab
1. Senjata Kimia dan Nuklir
Pertama Tuck menyoroti meningkatnya intensitas aksi militer oleh Rusia.
Opsi pertama ini turut meliputi penggunaan senjata kimia dan nuklir yang sudah dimiliki oleh pasukan Rusia.
Namun menurut Tuck opsi ini sangat kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Ia menyoroti bagaimana Putin masih menganggap bahwa masyarakat di Ukraina masih banyak yang pro Rusia.
Selain itu Tuck juga menyoroti bagaimana Rusia akan mempertimbangkan risiko dari dunia internasional apabila menggunakan senjata kimia dan nuklir saat menyerang Ukraina.
2. Taktik Anaconda
Opsi kedua adalah Putin akan menggunakan taktik Anaconda yakni melilit Kyiv dengan cara menguasai kota-kota di sekitarnya.
Dengan menguasai kota-kota di sekitarnya, diharapkan moral Ukraina akan turun dan menyerah.
"Intinya Rusia akan memberi contoh kepada Ukraina bahwa terus berperang hanya akan membawa kerugian bagi mereka," jelas Tuck.
Menurut Tuck, opsi ini adalah yang paling mungkin terjadi dan diduga kuat diambil oleh Putin.
3. Negosiasi Damai
Terakhir adalah opsi damai antara Ukraina dan Rusia.
Menurut Tuck opsi ini hampir mustahil terjadi untuk sementara waktu karena Putin yakin operasi militer yang ia lakukan akan sukses.
Selain itu Tuck juga mengungkit soal gengsi dan faktor psikologis Putin jika menyetujui negosiasi damai dengan permintaan yang sedikit.(TribunWow.com/Via/Anung)