Breaking News:

Konflik Rusia Vs Ukraina

Cerita Mahasiswa India Tertahan di Kharkiv karena Serangan Rusia: Tidak Ada yang Menyelamatkan Kami

Satu di antara mahasiswa asal India di Ukraina yang bernama Soumya Thomas (22) menceritakan kondisi saat invasi Rusia.

Editor: Lailatun Niqmah
AFP/SERGEY BOBOK
Anggota layanan Ukraina terlihat di luar balai kota Kharkiv yang rusak pada 1 Maret 2022, hancur akibat penembakan pasukan Rusia. - Alun-alun pusat kota kedua Ukraina, Kharkiv, ditembaki oleh pasukan Rusia yang menyerang gedung pemerintah setempat, kata gubernur regional Oleg Sinegubov. Kharkiv, kota yang sebagian besar berbahasa Rusia di dekat perbatasan Rusia, memiliki populasi sekitar 1,4 juta. (Photo by Sergey BOBOK / AFP) 

TRIBUNWOW.COM - Satu di antara mahasiswa asal India di Ukraina yang bernama Soumya Thomas (22) menceritakan kondisi saat invasi Rusia.

Dikutip dari BBC Indonesia, Minggu (6/3/2022), Soumya Thomas mengatakan dirinya mendengar suara ledakan yang membuatnya terbangun dari tidur.

"Kami sedang tidur ketika suara yang memekakkan telinga - sebuah ledakan - menyentak kami dari tempat tidur. Seluruh bangunan bergetar," kata Soumya Thomas saat mengingat ketika ia melarikan diri dari asrama kampusnya di Kharkiv beberapa hari yang lalu.

Mahasiswa India berlindung di dalam bunker di Kharkiv, Ukraina.
Mahasiswa India berlindung di dalam bunker di Kharkiv, Ukraina. (ROBIN via BBC Indonesia)

Baca juga: Beranikah Putin Invasi Ukraina jika Trump Masih Presiden? Eks Dubes AS Menjawab

Diketahui, Rusia menggempur kota di Ukraina, mematahkan cabang-cabang pohon, memecahkan kaca jendela, dan bahkan menghantam sekolah dan rumah.

Seorang teman Soumya dan sesama mahasiswa India, Naveen S Gyangoudar, meninggal pada hari Selasa ketika ia meninggalkan bunker tempatnya berlindung di Kharkiv untuk membeli makanan.

Pada malam penggempuran, Soumya menceritakan ia dan teman-temannya meraih "apa pun yang mereka bisa" dan berlari ke toko kelontong, dan kemudian bunker terdekat.

Mereka semua, termasuk Naveen, adalah mahasiswa Universitas Kedokteran Nasional Kharkiv.

"[Bunker] itu suram, gelap, dan sangat dingin - tidak ada air minum, jadi kami harus minum air dari pipa. Di luar, ledakan terdengar dari waktu ke waktu. Dan ketika makanan habis, kami harus bertahan hanya dengan makan satu kali sehari."

Soumya berkata mereka berlindung di bunker dengan harapan "pemerintah India akan segera bertindak" dan menyelamatkan mereka.

"Tapi kemudian teman saya tewas. Dan saya berpikir: tidak ada yang datang untuk menyelamatkan kami."

Dua belas jam dan tiga kereta yang terlewatkan kemudian, Soumya mengatakan ia kelelahan.

Baca juga: Putin Ungkap Warga Ukraina Dipersulit saat Mau Mengungsi: Tidak Ada yang Boleh Keluar

Ia berbicara kepada BBC pada Selasa malam (1/3/2022), saat kelompok itu - sekitar 20 orang - menunggu kereta ke Lviv, sebuah kota di sudut barat Ukraina, dekat perbatasan Polandia, tempat mereka berharap dapat menemukan bantuan untuk pulang.

"Sudah enam hari sejak kami tidur atau makan cukup. Ada suara ledakan memekakkan telinga kami... teman saya sesak napas dan bahkan belum ada apotek yang buka untuk memberinya obat."

Soumya khawatir persediaan mereka yang tinggal sedikit - delapan telur rebus, sepotong roti, dan dua bungkus biskuit - mungkin tidak akan bertahan selama perjalanan 15 jam ke depan. Itu pun, jika mereka berhasil naik kereta api - kelompoknya sudah dilarang naik tiga kali karena, Soumya mengklaim, mereka bukan orang Ukraina.

Ribuan mahasiswa India diyakini masih terdampar di Kharkiv sementara peluru artileri terus menggempur kota itu.

India telah menggencarkan upaya evakuasi di tengah kesulitan logistik untuk membawa pulang warganya.

Sekitar 12.000 mahasiswa sudah pulang sejauh ini, kata menteri luar negeri India.

Kementerian luar negeri negara itu menyarankan warga India untuk pergi ke daerah perbatasan dan menyeberang untuk naik penerbangan khusus dari Polandia, Hongaria, Slovakia, dan Rumania.

Mereka telah mengirim para menteri ke masing-masing negara ini untuk membantu upaya penyelamatan.

Seperempat dari 76.000 mahasiswa asing di Ukraina, kira-kira 20.000, adalah warga India, yang merupakan kelompok terbesar, menurut data resmi.

Banyak dari mereka mengambil jurusan kedokteran di universitas negeri, yang menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau.

Banyak mahasiswa India juga tertahan di dekat atau di lintas perbatasan saat mereka melarikan diri dari pasukan Rusia ke arah barat.

Baca juga: Saat Memohon Bantuan Jet Tempur ke AS, Presiden Ukraina Minta Warganya Maju Serang Rusia

Robin, yang hanya menggunakan nama depannya, juga berada di Kharkiv sampai Selasa tetapi berhasil naik kereta ke "suatu tempat di barat" negara itu pada sore hari.

Pria itu mengatakan ia hanya sempat membawa paspornya sebelum meninggalkan asrama - ia berharap bisa lebih siap, tetapi ketika serangan dimulai, ia berkata penggempuran begitu "ganas" sehingga "bahkan tidak ada waktu untuk berlari".

Robin, mahasiswa tahun ketiga di universitas kedokteran, berlindung di stasiun metro bawah tanah yang sama dengan Naveen, mahasiswa India yang tewas.

Ia mengatakan mereka pergi sekitar waktu yang sama.

Saat Naveen keluar untuk membeli makanan, Robin dan teman-temannya berusaha mencari jalan ke stasiun kereta api.

Cuaca malam itu begitu dingin, kata Robin.

Orang-orang tampak seperti siluet di bawah sorotan lampu depan saat mobil-mobil dengan panik melaju melewatinya, hanya untuk terjebak di depan gundukan puing-puing dari bangunan yang dihantam peluru artileri.

Ia bercerita tentang antrean mengular di toko kelontong dan bangunan-bangunan yang runtuh, beberapa tinggal tumpukan batu, dengan puing-puing dan kendaraan yang terbakar berserakan di sepanjang jalan.

"Saya masih mencari taksi ketika kami mendengar gemuruh ledakan dari jauh," katanya.

"Beberapa menit kemudian kami mengetahui bahwa Naveen telah meninggal."

Ia berkata mereka melompat ke dalam taksi dan melarikan diri.

Di atas kereta, katanya, orang-orang berdesakan di dalam kompartemen sehingga tidak tempat untuk duduk, dan bahkan untuk berdiri.

"Tidak ada tempat untuk berdiri dan kami sudah kehabisan makanan dan air," kata Robin kepada BBC melalui pesan singkat saat ia berada di kereta.

Di kampung halamannya di India, orang tuanya sangat mengkhawatirkannya, katanya.

Mereka saling berkontak lewat WhatsApp, bertukar pesan secara sporadis sehingga Robin dapat menghemat baterai ponselnya.

"Kami menghadapi peluang yang tampaknya mustahil tetapi saya masih berharap kami semua akan dievakuasi sesegera mungkin."

Adapun orang tuanya, mereka terus menunggu dengan cemas, ia berkata: "Apa lagi yang bisa mereka lakukan?"

Ribuan mil jauhnya di India, para orang tua yang cemas dan tidak berdaya terpaku pada layar televisi mereka, menyaksikan pesawat tempur, tentara dengan senjata, dan ledakan mortir - saat mereka menunggu dengan gelisah pesan panik atau panggilan berikutnya dari anak-anak mereka.

"Ini sangat mengerikan, kami bicara dengan putri kami setiap hari tetapi tidak bisa melakukan apa-apa untuk menolongnya," kata ayah Soumya, Biju Thomas, di negara bagian Kerala, India selatan.

Ia berkata sudah menghubungi pejabat dari pemerintah India tetapi diberi tahu bahwa Soumya harus berusaha untuk sampai ke kota perbatasan.

Jadi mereka berharap putri mereka bisa naik kereta ke Lviv.

"Sisanya kami serahkan kepada Tuhan," kata Thomas.

Beberapa orang tua, seperti Asif Ansari di negara bagian utara Uttar Pradesh, sudah menyarankan anak-anak mereka untuk pulang ketika ketegangan antara Rusia dan Barat mulai meningkat beberapa minggu yang lalu.

Ansari mengatakan ia meminta putranya yang berusia 18 tahun, Noman, yang juga seorang mahasiswa di Universitas Kedokteran Kharkiv, untuk pulang.

Tetapi ketika putranya meyakinkannya bahwa ia tidak perlu khawatir, ia mengalah.

Noman sudah terjebak di bunker asramanya selama enam hari dengan sedikit makanan dan air dan "sama sekali tidak ada jalan keluar".

Ansari dan istrinya sekarang sangat terpukul.

"Saya harusnya tidak mendengarkannya," katanya, hampir menangis.

"Tapi siapa yang bisa mengira hal-hal akan berubah secepat ini?"

Ansari berkata ia sudah beberapa kali berusaha menghubungi pejabat kedutaan di India.

Ia bertanya-tanya mengapa pemerintah India perlu waktu lebih lama daripada negara-negara lain untuk mengeluarkan imbauan yang meminta warga negaranya untuk meninggalkan Ukraina.

Pada 15 Februari, Kedutaan Besar India di Ukraina mengatakan warga India yang tidak memiliki pekerjaan penting di negara itu "dapat mempertimbangkan untuk pergi sementara" karena "ketidakpastian" situasi di sana.

Pernyataan ini dikeluarkan empat hingga lima hari setelah pernyataan serupa dari Inggris dan AS, yang mengimbau warga mereka untuk segera meninggalkan negara itu.

Pada 2 Maret, Kedutaan Besar India di Kyiv mengeluarkan pernyataan bagi semua warga negara India di Kharkiv untuk segera pergi.

"Saya hanya ingin melihat putra saya lagi," kata Ansari.

"Setiap kali saya berbicara dengan Noman, ia memohon bantuan. Saya mengatakan kepadanya untuk bertahan, bantuan itu akan datang. Tapi kapan itu akan datang?". (*)

Baca berita lainnya

Artikel ini telah tayang di BBC Indonesia dengan judul Ukraina: Kisah mahasiswa India tertahan di Kharkiv di bawah gempuran Rusia - 'Tidak ada yang datang menyelamatkan kami'

Sumber: BBC Indonesia
Tags:
Konflik Rusia Vs UkrainaRusiaUkrainaKharkiv
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved