Konflik Rusia Vs Ukraina
China Ungkap Solusi Selesaikan Konflik Ukraina-Rusia: Sesegera Mungkin untuk Meredakan Situasi
Pemerintah China mengungkapkan bagaimana cara untuk mengakhiri konflik yang kini terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Penulis: anung aulia malik
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Dimulai pada Kamis (24/2/2022), operasi militer spesial yang dilakukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin di Ukraina masih terus berlangsung hingga Rabu (2/3/2022).
Ukraina dan Rusia sendiri sempat melakukan diskusi membicarakan perdamaian pada Senin (28/2/2022) namun belum ada hasil pasti.
Pemerintah China menganjurkan agar petinggi pemerintah Rusia dan Ukraina bisa duduk bersama untuk melakukan negosiasi.

Baca juga: Crazy Rich Rusia Tegaskan Sanksi Ekonomi Tak akan Hentikan Putin Serang Ukraina
Baca juga: Adu Klaim Rusia Vs Ukraina, Putin Sewa Pembunuh Bayaran hingga Ukraina Manfaatkan Napi Pembunuh
Dikutip dari RT.com, pernyataan ini disampaikan oleh representatif permanen China di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Zhang Jun.
"Hal yang paling penting saat ini adalah kembali ke jalur diplomasi negosiasi dan membuat penyelesaian secara politik sesegera mungkin untuk meredakan situasi," terangnya.
"China mendukung dialog langsung dan negosiasi antara Rusia dan Ukraina," jelas Zhang.
Zhang menegaskan komunitas internasional harus memprioritaskan stabilitas, keamanan regional, serta keamanan universal untuk semuanya.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri China menyatakan menentang penggunaan sanksi sepihak pada Rusia untuk menyelesaikan krisis di Ukraina.
Kekuatan Barat telah mengumumkan serangkaian tindakan hukuman, termasuk terhadap ekonomi Rusia dan sektor perbankannya.
Disebutkan bahwa sanksi tersebut justru akan memperumit masalah dan menjauhkan dari upaya damai antara Rusia dan Ukraina.
Dikutip TribunWow.com dari rt.com (russia today), Selasa (1/3/2022), hal ini disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin.
Pada jumpa pers reguler, ia mengatakan bahwa sanksi tidak akan menyelesaikan masalah tetapi justru menciptakan masalah baru.
Dia mengklaim bahwa sanksi akan mengganggu proses mencapai gencatan senjata dan kesepakatan politik untuk mengakhiri konflik.
"China tidak mendukung penggunaan sanksi untuk menyelesaikan masalah dan bahkan lebih menentang sanksi sepihak yang tidak memiliki dasar hukum internasional," kata Wang.
Adapun negara-negara dunia telah memberlakukan sanksi tegas terhadap Rusia.
Hal ini membuat nilai tukar mata uang Rusia, rubel, ke terjun bebas hingga lebih dari 30 %.
Pihak NATO juga telah setuju untuk memotong akses sejumlah bank Rusia dari sistem keuangan SWIFT.
Hal ini menyebabkan bank di negara Rusia tak bisa melakukan transaksi keuangan internasional.
Sehingga, sejumlah aset milik bank tersebut yang ada di luar negeri, dibekukan dan tak bisa untuk ditarik.
Hal ini menyebabkan terjadi kepanikan di dalam negara Rusia sendiri.
Terlihat dari antrean panjang warga Rusia yang berbondong-bondong menarik simpanannya dari bank-bank yang digunakan.
Dikhawatirkan adanya pembatasan akses ke SWIFT akan berdampak juga pada pembekuan aset nasabah dan pembatasan penarikan uang.
Bom Atom Ekonomi Dijatuhkan ke Rusia
Aliansi negara Sekutu mengenakan sanksi ekonomi yang semakin keras terhadap Rusia atas invasinya ke Ukraina.
Target terbarunya melibatkan pelarangan akses Rusia ke SWIFT, singkatan dari Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication.
Hal ini menjadi sanksi ekonomi terbesar hingga disebut sebagai bom nuklir untuk melumpuhkan sistem keuangan Rusia.
Dilansir ABC News, Minggu (27/2/2022), Amerika dan sejumlah negara lain telah menyetujui pembatasan akses Rusia ke SWIFT.
Pasalnya, Presiden Rusia Vladimir Putin masih enggan menarik pasukannya dari Ukraina.
Adapun SWIFT adalah sistem pengiriman pesan yang didirikan pada tahun 1973 yang memungkinkan lembaga keuangan besar untuk saling mengirim uang.
Sistem yang berbasis di Belgia ini digunakan oleh lebih dari 11 ribu bank dan lembaga keuangan di lebih dari 200 negara dan wilayah, termasuk Rusia.
SWIFT menangani 42 juta pesan sehari, memfasilitasi transaksi senilai triliunan dolar.
Menurut Financial Times, Rusia menyumbang 1,5% dari transaksi SWIFT pada tahun 2020.
Pada Sabtu (26/2/2022) malam, Gedung Putih mengumumkan bahwa AS akan memutuskan beberapa bank Rusia dari SWIFT dalam kemitraan dengan Komisi Eropa, Prancis, Jerman, Italia, Inggris dan Kanada.
Dalam pernyataan resmi yang dirilis, pihak Amerika menyebut bahwa tindakan ini akan melumpuhkan sistem finansial Rusia.
"Melakukan tindakan pembatasan yang akan mencegah Bank Sentral Rusia menyebarkan cadangan internasionalnya dengan cara yang merusak dampak sanksi dari kami," bunyi pernyataan tersebut.
"Ini akan memastikan bahwa bank-bank ini terputus dari sistem keuangan internasional dan membahayakan kemampuan mereka untuk beroperasi secara global."
Seorang pejabat senior Gedung Putih mengatakan bahwa Uni Eropa akan ikut memilah bank mana saja yang diputus dari SWIFT.
Beberapa ahli percaya bahwa memberikan sanksi kepada bank seperti yang telah dilakukan AS dan sekutu sejauh ini adalah cara yang efektif untuk membekukan aset Rusia.
Pasalnya, jika tidak ada uang untuk dipindahkan, sistem transaksi Rusia ke luar akan menjadi kacau.
Di sisi lain, negara-negara Eropa kemungkinan akan menghadapi dampak negatif terhadap ekonomi mereka sendiri dari sanksi SWIFT.
Jerman, khususnya, yang selama ini memiliki ketergantungan pada pasokan gas dan minyak Rusia. (TribunWow.com/Anung/Via)