Terkini Daerah
Cerita Orangtua Santri Korban Rudapaksa, Syok Tahu Anaknya Punya Bayi 1,5 Tahun: Kini Jadi Pendiam
YY (44), pria yang termasuk orangtua korban menceritakan detik-detik mengetahui anaknya menjadi korban rudapaksa.
Penulis: Afzal Nur Iman
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - Santriwati yang jadi korban rudapaksa HW (36) yang merupakan guru mengaji di Pondok Pesantren di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, dikabarkan bertambah menjadi 21 orang.
YY (44), pria yang termasuk orangtua korban menceritakan detik-detik mengetahui anaknya menjadi korban rudapaksa.
"Awalnya, saya tidak curiga apa-apa sama anak saya," katanya saat di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Serikat Petani Pasundan, Jumat (10/12/2021), dikutip dari Tribun Jabar.
Baca juga: Fakta Baru, 12 Santriwati Korban Rudapaksa Guru Hidup di 1 Rumah, Melahirkan Lalu Jaga Anak Bersama
Baca juga: Kajati Jabar Sebut Kasus Guru Cabuli 12 Santriwati di Bandung Dapat Sorotan Internasional
Mengetahui anaknya menjadi korban rudapaksa menjadi hal yang paling berat bagi hidup YY yang hampir berusia 45 tahun ini.
Dirinya mengaku sangat terpukul mendengar pengakuan korban kepada dirinya.
"Saya marah, geram. Waktu itu dini hari saya mendengar kenyataan pahit itu, istri saya saat itu pun sampai kejang-kejang selama dua jam," katanya.
Keluarganya, kata dia, saat itu seperti hancur seketika.
Istrinya tiba-tiba kejang-kejang hingga akhirnya jatuh sakit usai mendengar cerita anaknya yang masih di bawah umur itu.
Pikiran jahat, juga sempat terlintas di kepalanya.
"Kalau waktu itu saja istri saya meninggal karena kejang-kejang akibat mengetahui anak saya jadi korban, saya tidak akan segan untuk bunuh dia," kata YY.
Baca juga: 7 Fakta Baru Guru Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung: Disorot Internasional hingga Reaksi Orangtua
YY termasuk sebagai orangtua yang pertama kali mengetahui kasus ini dan melaporkannya kepada pihak kepolisian.
Dia ingat betul bahwa hari itu merupakan tiga hari setelah keluarganya merayakan hari raya lebaran.
Anaknya yang biasa tinggal di pondok pesantren itu tengah pulang untuk menghabiskan masa liburannya setelah biasanya menghabiskan hari-harinya di tempat mengerikan itu.
Melihat anaknya, dia mulai curiga karena mengalami perubahan fisik yang sangat drastis setelah lama tidak pulang.
Saat malam tiba, anaknya yang masih di bawah umur itu meminta dia untuk mengantarnya ke WC pada malam hari.
"Setelah mengantar anak saya BAB di belakang malam-malam, anak saya kok jalannya begini," ungkapnya.
Dirinya, mengaku tidak langsung bertanya kepada anaknya terkait kecurigaannya itu.
Saat itu, dia memilih berkonsultasi kepada tokoh agama setempat dengan mengajak anaknya juga.
Setelah beberapa kali konsultasi, barulah sang anak mau terbuka kepada orangtuanya.
"Akhirnya, anak saya terbuka mengaku sama ibunya, bahkan (mengaku) sudah punya anak," ucapnya.
Dalam pengakuannya di bulan Mei itu, bayi itu sudah berusia 1,5 tahun.
Dan selama itu juga YY mengaku tidak pernah curiga kepada anaknya.
Kepada orangtuanya, korban bercerita bahwa pelaku HW dikatakan beberapakali melakukan upaya rudapaksa.
Awalnya, korban selalu menolak dan HW pun gagal melancarkan aksinya.
Bahkan YY menyebutkan bahwa baju anaknya tersebut sempat ditarik hingga sobek.
"Lalu beberapa hari kemudian dia diajak ke kantor apa saya kurang paham."
"Nah, di situ kata anak saya diajak ke hotel," ungkapnya.
Ia berharap pelaku dihukum dengan berat dengan cara dikebiri, karena telah merusak masa depan dan kebahagiaan anaknya.
Setelah kejadian itu, menurutnya, saat ini anaknya tidak mau sekolah, lebih murung dan pendiam.
"Saya ingin (pelaku) dihukum seberat-beratnya, ya."
"Kalau kata orang lain mah dikebiri lah, soalnya apa?"
"Sakitnya orang tua sakitnya anak, sampai sekarang aja anak saya itu enggak mau sekolah, putus sekolah," ungkapnya.
Kejahatan Kemanusiaan
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Asep N. Mulyana menyebut kasus guru rudapaksa santriwati di Bandung, Jawa Barat bisa digolongkan sebagai kejahatan kemanusiaan.
Kasus ini, juga disebut telah menjadi sorotan internasional.
"Ini sudah menjadi sorotan, bukan hanya di nasional, tapi juga internasional," ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Kejati Jabar, Jalan Naripan, Kota Bandung, sebagaimana dikutip dari Tribun Jabar, Kamis (9/12/2021).
Kasus ini bisa disebut kejahatan kemanusiaan seusai mengetahui banyak fakta di lapangan di mana guru yang berinisial HW (36) diketahui menyalahgunakan yayasannya dan statusnya sebagai tenaga pendidik.
Dirinya menyebut, akan turun langsung dalam mengawal kasus ini hingga tuntas.
"Perkara yang saat ini sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung, atas nama terdakwa HW, kami dari Kejaksaan Tinggi sangat concern mengawal kasus ini."
"Karena ini, bukan hanya menyangkut masalah kejahatan asusila tapi ini termasuk dalam kejahatan kemanusiaan," jelasnya.
Melalui awak media, dirinya juga meminta masyarakat menyampaikan apabila menemukan informasi baru terkait kasus ini.
Adanya temuan baru dalam kasus ini disebut bisa memaksimalkan tuntutan yang akan diberikan kepada pelaku.
"Kami akan pantau terus kasus ini, dan juga mohon bantuan dari rekan-rekan (media) untuk dapat menginformasikan kepada kami, sehingga akan kami lakukan tuntutan semaksimal mungkin terhadap pelaku yang bersangkutan," ucapnya.
Seperti diketahui pelaku HW diduga melakukan aksinya sejak tahun 2016.
Kasus ini baru terungkap pada bulan Mei 2021 dan menghebohkan publik di tengah memasuki masa persidangan baru-baru ini.
Seluruh korban merupakan anak di bawah umur dan 8 di antaranya bahkan hamil dan telah melahirkan.
Asep menyampaikan bahwa pihak keluarga korban menginginkan agar pelaku dihukum dengan hukuman kebiri.
Dirinya berjanji akan mempertimbangkan hal tersebut dan mengatakan bahwa tuntutan itu mungkin saja akan diberikan.
"Kita akan lihat nanti seperti apa fakta persidangan yang ditemukan, dan dikaji lebih lanjut kepada yang bersangkutan (terdakwa), karena korbannya ini cukup banyak sampai 14 orang," ujar Kajati.
Terlepas dari itu, HW juga diperkirakan akan mendapat hukuman yang berat.
Terlebih setelah adanya petunjuk meyakinkan bahwa dirinya menggelapkan dana yayasan untuk melakukan aksinya.
Padahal, dana itu diambil dari bantuan masyarakat dan pemerintah.
Uang itu disebut digunakan untuk menyewa hotel dan apatertemen untuk korban melancarkan aksinya.
"Upaya ini membuat para korban merasa yakin, bahwa yang bersangkutan berkemampuan (dari segi ekonomi)," ucapnya.
"Karena seperti yang saya katakan bahwa ada penyalahgunaan yayasan, maka ada dugaan tindak pidana. Nanti apakah nanti yayasannya akan dibubarkan atau seperti apa, akan kita lihat nanti pada proses penuntutan," tambahnya.
Dia bertekad menuntaskan kasus ini dengan komperhensif juga karena alasan kasus ini bisa dijadikan acuan untuk adanya upaya pencegahan terkait kemungkinan adanya hal serupa.
Selain itu, pihak kejaksaan juga terus berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) agar perlindungan kompensasi dan hak-hak korban bisa dipulihkan baik materil dan imateril.
"Kami pun berkomitmen untuk terus memberikan perlindungan bagi perempuan terutama, para santri, yang memiliki niat mulia untuk mendalami ilmu atau pemahaman agama," katanya. (TribunWow.com/Afzal Nur Iman)
Artikel ini diolah dari Tribun Jabar yang berjudul Hancur Hati Orangtua Korban Rudapaksa Guru Pesantren, Langsung Sakit, Sempat Ingin Habisi Pelaku dan Guru Rudapaksa 12 Santri, Kajati Jabar: Bukan Hanya Kejahatan Asusila tapi Kejahatan Kemanusiaan