Terkini Daerah
7 Fakta Baru Guru Rudapaksa 12 Santriwati di Bandung: Disorot Internasional hingga Reaksi Orangtua
Dirinya, diduga melakukan aksinya sejak tahun 2016 dan baru ketahuian pada 2021 dan tengah memasuki masa persidangan.
Penulis: Afzal Nur Iman
Editor: Rekarinta Vintoko
TRIBUNWOW.COM - HW atau Herry Wirawan, yang merupakan guru mengaji di Pondok Pesantren di Kecamatan Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, menghebohkan masyarakat karena melakukan aksi rudapaksa terhadap 12 santriwati di tempatnya mengajar.
Dirinya, diduga melakukan aksinya sejak tahun 2016 dan baru ketahuian pada 2021 dan tengah memasuki masa persidangan.
Seluruh korban merupakan anak di bawah umur dan 8 di antaranya bahkan hamil dan telah melahirkan.
Baca juga: Cabuli 26 Santri Sesama Jenis karena Penasaran, Pengajar Ponpes di Ogan Ilir Punya Masa Lalu Kelam
Baca juga: Keluarga Korban Heran Kasus Guru Ponpes Cabuli 12 Santriwati Baru Viral Sekarang
Kabid Humas Polda Jawa Barat Kombes Erdi A Chaniago menyebut kasus itu sebenarnya mencuat pada bulai Mei ketika ada keluarga korban yang melaporkannya kepada polisi.
"Nah, saat itu kami sengaja tidak merilis atau mengekspos kasus tersebut kepada media," ujar Erdi saat di Mapolres Tasikmalaya, Kamis (9/12/2021) dikutip dari Tribun Jabar.
Alasannya, adalah karena takut korban merasakan beban psikologis yang mendalam jika kasus ini terekspos.
Terlebih sejumlah korban sedang hamil pada waktu itu.
"Namun begitu penanganan kasus tersebut terus berjalan dan terbukti saat ini memasuki masa persidangan," katanya.
Erdi menyampaikan bahwa korban juga melakukan tindak lanjut kepada korban.
Para korban dan orang tua diberikan trauma healing dan ditangani unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) polres setempat.
Baca juga: Sosok Oknum Guru yang Rudapaksa 12 Santriwati, Dikenal Pendiam, Iming-imingi Korban Jadi Polwan
"Jadi sekali lagi kenapa tidak kami rilis, karena demi pertimbangan kemanusiaan. Menghindari dampak psikologis dan sosial terhadap para korban," kata Erdi.
1. Jadi Sorotan Internasional
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Asep N Mulyana menilai bahwa HW bukan hanya melakukan tindak kejahatan asusila, namun juga bisa dikategorikan ke dalam kejahatan kemanusiaan.
Dirinya dinilai memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kejahatan tersebut dan berpotensi memperburuk citra organisasi atau profesinya.
"Karena ini, bukan hanya menyangkut masalah kejahatan asusila tapi ini termasuk dalam kejahatan kemanusiaan. Dan ini sudah menjadi sorotan, bukan hanya di nasional, tapi juga internasional," ujarnya di Kantor Kejati Jabar, Jalan Naripan, Kota Bandung, Kamis (9/12/2021).
Dirinya menyebut akan turun langsung mengawal kasus ini hingga tuntas.
Melalui awak media, dia juga mempersilahkan masyarakat untuk menyampaikan fakta baru terkait kasus ini.
"Kami akan pantau terus kasus ini, dan juga mohon bantuan dari rekan-rekan (media) untuk dapat menginformasikan kepada kami, sehingga akan kami lakukan tuntutan semaksimal mungkin terhadap pelaku yang bersangkutan," ucapnya.
2. Diminta Dikebiri
Masih kata Asep, dia menyampaikan ada permohonan orang tua agar HW dikebiri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Terkait hal itu, dia berjanji akan mengkajinya dan memutuskan sesuai dengan fakta persidangan.
"Kita akan lihat nanti seperti apa fakta persidangan yang ditemukan, dan dikaji lebih lanjut kepada yang bersangkutan (terdakwa), karena korbannya ini cukup banyak sampai belasan orang," ujar Kajati.
Namun, ia menegaskan bahwa hukuman berat memang sudah menanti HW.
Terlebih jika ia terbukti menyalahgunakan yayasan dan kedudukannya sebagai pendidik.
3. Gunakan Dana Bansos
Hal yang juga disebut bisa memberatkan hukuman HW adalah ditemukannya informasi di mana HW menggunakan dana bantuan sosial (bansos) untuk melancarkan aksinya.
Dirinya mendapat informasi tersebut dari temuan penyelidikan tim intelijen selaku pengumpul data dan keterangan di lapangan.
Ada dugaan bahwa, terdakwa juga melakukan penyalahgunaan dana yang berasal dari bantuan pemerintah, untuk dimanfaatkan sebagai kepentingan pribadi, salah satunya menyewa apartemen, hotel, dan sebagainya.
"Upaya ini membuat para korban merasa yakin, bahwa yang bersangkutan berkemampuan (dari segi ekonomi)," ucapnya.
"Kami pun berkomitmen untuk terus memberikan perlindungan bagi perempuan terutama, para santri, yang memiliki niat mulia untuk mendalami ilmu atau pemahaman agama," katanya.
4. Korban Rata-rata Tidak Mampu dan Masih Bersaudara
Ketua P2TP2A Kabupaten Garut, Diah Kurniasari, mengatakan bahwa sejumlah santri yang masih di bawah umur itu kebanyakan merupakan orang tidak mampu.
Disebutkan, dari 12 korban, 11 di antaranya berasal dari Kabupaten Garut.
Mereka sengaja disekolahkan di sana untuk mendapat pendidikan gratis.
Korban juga masih merupakan keluarga karena pihak keluarga saling ajak untuk ikut menerima pendidikan di pesantren tersebut.
Rata-rata umur korban sendiri masih berusia 13 hingga 15 tahun.
"Kondisi korban saat ini insya Allah sudah lebih kuat, kami sudah jauh-jauh hari mempersiapkan mereka selama ini untuk siap mengahadapi media," ucapnya di Kantor P2TP2A Kabupaten Garut, Kamis (9/12/2021).
5. Reaksi Orangtua Korban
Diah, menyaksikan momen pilu ketika orang tua korban mengetahui anaknya menjadi korban rudapaksa.
Mereka merasa tidak percaya bahwa anaknya menjadi korban tindakan bejat dari orang yang selama ini mereka percayai.
"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia empat bulan oleh anaknya, semuanya nangis," kenang Diah.
Diah menyebut bahwa para orang tua berat menerika kenyataan bahwa anaknya datang justru dalam kondisi hamil, bahkan sudah ada yang melahirkan.
Para orang tua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal anak yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.
"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.
"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," tambahnya.
6. Lakukan Aksinya di Berbagai Tempat
Sementara itu, Kasipenkum Kejaksaan Tinggi Jabar, Dodi Gazali Emil, juga menjelaskan sosok HW dalam melakukan aksi bejat.
Dikatakannya, HW merudapaksa korbanya tidak di satu tempat saja.
"Perbuatan terdakwa Herry Wirawan dilakukan di berbagai tempat," ujarnya saat dihubungi Tribun Jabar, Rabu (8/12/2021).
Dalam berita acara yang didapatkan Tribun Jabar, pelaku melakukan aksi bejatnya mulai dari di Yayasan KS, Yayasan Pesantren TM.
Kemudian, Pesantren MH, basecamp terdakwa, apartemen TS, dan beberapa hotel di Kota Bandung.
7. Iming-iming Jadi Polwan dan Biayai Kuliah
Tak hanya itu, pelaku bahkan juga mengiming-iming para korbannya beragam janji.
Herry yang mengajar di beberapa pesantren dan pondok tersebut mengiming-imingi korbannya menjadi polisi wanita.
Iming-iming tersebut tercantum juga dalam surat dakwaan dan diuraikan dalam poin-poin penjelasan korban.
"Terdakwa menjanjikan akan menjadikan korban polisi wanita," ujar jaksa dalam surat dakwaan yang diterima wartawan, Rabu.
Selain menjadi polisi wanita, pelaku menjanjikan kepada korbannya untuk menjadi pengurus pesantren.
Herry juga menjanjikan kepada korban akan dibiayai kuliah.
"Terdakwa menjanjikan anak akan dibiayai sampai kuliah," ujarnya. (TribunWow.com/Afzal Nur Iman)
Artikel ini diolah dari Tribun Jabar yang berjudul 5 FAKTA BARU Guru Rudapaksa 12 Santriwati, Awal Terungkap hingga Pakai Dana Bantuan untuk Sewa Hotel, P2TP2A Garut Sebut Saat Ini 8 Korban Rudakpaksa Guru Bejat Herry Wirawan Semuanya Sudah Melahirkan, Kabid Humas Ungkap Alasan Tak Merilis Guru Pesantren yang Menghamili Belasan Santri, Ini Sebabnya, dan Petaka Orang Tua Korban Guru Agama Bejat, Awalnya Senang Anak Sekolah Gratis, Berakhir Pilu