Breaking News:

UU Cipta Kerja

Agus Trihatmoko soal UU Cipta Kerja: Draf RPP Perizinan Usaha di Daerah Sebaiknya Ditinjau Kembali

Pelaku UMKM  akan tetap mengalami kesulitan dalam hal perizinan seperti sebelum UU Cipta Kerja tersebut diundangkan.

Editor: Claudia Noventa
Dok Pribadi Dr. R. Agus Trihatmoko (Ekonom Universitas Surakarta)
Dr. R. Agus Trihatmoko/Ekonom Universitas Surakarta 

TRIBUNWOW.COM - Perizinan usaha dalam rencana pelaksanaan UU Cipta Kerja belum lah sesuai harapan masyarakat dan arah kebijakan pemerintah sendiri yaitu menciptakan kemudahan iklim investasi bagi pelaku usaha di Indonesia.

Faktor perizinanan usaha tetap akan menjadi hambatan siginifkan bagi pelaku usaha, khususnya investor baru, baik bagi UMKM maupun usaha besar.

Menyimak Draf Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Perizinan Usaha di Daerah (27 Movember, 2020), masih menampilkan sistem birokrasi yang justru merumitkan implementasi dilapangan pada saat perizinan usaha diterapkan nantinya.

Terminologi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Online Single Submission (OSS) memang sangat baik dan menjanjikan.

Baca juga: Dipengaruhi 2 Orang Ini, Jokowi Ungkap Alasan Tak Temui Massa Demo UU Cipta Kerja, Justru ke Kalteng

Namun demikian dalam pratik birokrasi nantinnya proses perizinan justru berpotensi belum dapat memperlancar terbitnya Nomer Induk Berusaha (NIB) yang diurus oleh pelaku usaha.

Pelaku UMKM  akan tetap mengalami kesulitan dalam hal perizinan seperti sebelum UU Cipta Kerja tersebut diundangkan.

Pada umumnya dalam hal memperoleh Surat Layak Fungsi (SLF) tempat usaha, oleh karena berbiaya mahal dan rumit, sementara itu RPP Perizinan Usaha masih mewajibkan SLF menjadi syarat untuk memperoleh NIB.

Misalnya, banyak pelaku usaha sewa tempat operasi usaha di Gedung atau Ruko yang belum memiliki SLF.

Demikian juga bagi usaha rumahan (home industry),  misalnya, kerajinan, produksi-kecil, perdagangan dan jasa, atau lainnya, ‘apakah’ perlu SLF.

Berikutnya tentang sertifikasi usaha atau Sertifikat Standar, dalam RPP tersebut belum menjelaskan ‘bagaimana, seperti apa dan berapa lama’ prosesnya, serta bagi klaster usaha yang seperti ‘apa’.

Konsennya dalam hal itu adalah akan berpontensi menambah beban biaya perizinan dan waktu pengurusan izin usaha.  

Ada pasal yang mengatur Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) diwajibkan untuk disusun oleh Pemerintah Daerah dengan sistem digital, ini butuh waktu proses desain diditalisasinya, serta berkait dengan cara kerja perizinan.

Khususnya bagi pelaku usaha rumahan atau UMKM, mereka kemungkinan akan terbentur dalam hal tata-ruang kewilayahan usaha, dan ruang kerja mereka, karena operasi usaha berada di rumah, termasuk UMKM pada umumnya di lokasi tertentu.

Baca juga: Dipengaruhi 2 Orang Ini, Jokowi Ungkap Alasan Tak Temui Massa Demo UU Cipta Kerja, Justru ke Kalteng

Bagi kelompok usaha investasi besar mungkin akan semakin terkendala oleh kerumitan perizinan usaha mereka.

Mencermati draf RPP tesebut, dapat dikatakan perusahaan baru harus menyediakan infrastruktur gedung dan perkantoran secara lengkap, yang kemudian perizinan dapat diurus.

Sementara ini suatu investasi memerlukan kepastian legalitas untuk dapat beroperasi secara ontime.

“Contoh sederhana, bagaimana mereka bertransaksi dalam pengadaan material bangunan pabrik/ kantor, bagaimana menyiapkan izin merek produk-produk, termasuk persiapan rekrutmen calon pekerja dan karyawan. Sementara mereka belum memiliki NIB atau kepastian legalitas perusahaan, sehingga ini akan menjadi kendala, termasuk kendala laporan-laporan perusahaan dan sistem akuntansinya”.                 

Garis tebal muara proses untuk memperoleh NIB adalah pada OSS. Di sisi lain beberapa masalah tersebut akan terbentur oleh OSS sendiri yang dalam hal bekerjanya sistem informasi teknologi tentu  tidak fleksibel.

Jadi bukan PTSP dan OSS yang menjadi “roh motivasi” niat berinvestasi bagi para pelaku usaha.

Tetapi kelengkapan atau prasyarat yang harus masuk ke meja birokrat dan sistem birokrasi sendiri yang harus diutamakan kemudahan atau simplikasinya oleh RPP Perizinan Usaha tersebut.

RPP Perizinan Usaha di Daerah masih ada kesempatan untuk digodog ulang, dan sebaiknya dilakukan riset lapangan.

Kritikal poin dari sana dapat dijadikan masukan yang lebih baik dari pada hanya berdebat dengan pasal-pasal.

Klasterisasi usaha perlu dilihat dari sudut pandang jenis operasionalisasi usaha dan ukuran usahanya, bukan tingkat resikonya. 

Industri di bidang manufaktur, olahan, perdagangan, jasa, atau lainnya per sektoral ekonomi dan nilai investasinya perlu diklasterisasi.

Sehingga diperoleh prasyarat spesifik yang mutlak harus diurus oleh  pelaku usaha sesuai klaster masing-masing, dan itu nanti dapat/ perlu disetting dalam OSS. 

OSS dapat berkerja fleksibel, namun unsur-unsur penting yang terkait dengan prinsip kelayakan usaha tidak diabaikan.

Baca juga: 6 Poin Perubahan soal Dampak Lingkungan di UU Cipta Kerja, Dinilai Kehilangan Banyak Kesaktiannya

OSS bekerja merujuk pada klasterisasi kelompok usaha dan perudangannya, sehingga masing-masing klaster memiliki perbedaan syarat minimum untuk terbitnya NIB.

Awal dari RUU Cipta kerja esensi niatnya sangat baik dan perlu didukung oleh semua pihak bagi pembangunan perekonomian nasiona.

Tetapi, ‘apakah’ pelaksanaannya berjalan sesuai harapan, maka salah satunya yaitu draf RPP perizinan usaha di daerah perlu ditinjau kembali.  

Pemerintah masih ada kesempatan untuk menyempurnakan draf RPP perizinan usaha di daerah tersebut.

Tenggang waktu untuk diputuskan masih cukup untuk didiskusikan dengan para pelaku usaha dan ahli hukum, serta pemangku kepentingan lainnya; Sebenarnya, juga tidak harus dipaksakan atau buru-buru untuk dimplementasikan sesuai diwacanakan oleh Pemerintah pada Februari/ Maret, 2021.(Dr. R. Agus Trihatmoko/Ekonom Universitas Surakarta)

Sumber: TribunWow.com
Tags:
UU Cipta KerjaAgus TrihatmokoEkonomi
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved