Terkini Nasional
Ingatkan Jokowi Dipilih karena Nawacita, YLBHI Sindir Kasus HAM: Orang Bisa Mati tanpa Penjelasan
Direktur YLBHI Asfinawati mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait janjinya dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait janjinya dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan Indonesia Lawyers Club (ILC) di TvOne, Selasa (20/10/2020).
Asfinawati menyinggung hal tersebut dalam rangka satu tahun kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf Amin, serta janji Nawacita yang disampaikan Kepala Negara dalam masa kampanye periode pertamanya.

Baca juga: Di Depan Para Menteri Jokowi yang Hadiri ILC, Rizal Ramli Kritisi Maruf Amin: Kayak Pelengkap Doang
Ia menyebutkan selama ini justru banyak terjadi kasus pelanggaran HAM yang turut disebut Jokowi dalam Nawacita.
"Sebetulnya ada banyak persoalan pelanggaran HAM yang berat, setidak-tidaknya belasan kasus tidak kunjung diselesaikan," ungkap Asfinawati.
Ia mengingatkan banyak orang memilih Jokowi dalam periode pertamanya karena 10 misi yang disebut dalam Nawacita.
Asfinawati menilai janji itu belum terealisasikan, bahkan sampai di periode kedua pemerintahan Jokowi.
"Padahal Pak Jokowi yang terhormat memasukkan itu di Nawacita dan karena Nawacita itulah banyak orang memilih beliau," singgung aktivis hukum tersebut.
"Tetapi hingga enam tahun ini tidak kunjung juga diselesaikan," katanya.
Ia memberi contoh pada sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk kasus tewasnya seorang pendeta Yeremia akibat luka tembak di Papua.
Baca juga: Demo 1 Tahun Jokowi-Maruf Amin, Ini Isi Orasi BEM SI, Turut Sindir UU Cipta Kerja: Negeri Dongeng
Meskipun pemerintah berjanji akan mengusut kasus tersebut, Asfinawati menilai banyak pihak yang saling melempar tuduhan dan tidak kunjung melanjutkan kasus.
"Papua terus mengalami pengiriman militer dalam jumlah besar. Baru-baru ini kita mendengar seorang pendeta dibunuh tapi saling melempar," terang Asfinawati.
"Tidak ada akuntabilitas. Di negara Indonesia orang bisa mati tanpa ada penjelasan ujungnya kenapa orang ini mati," sindirnya.
Hal itu ia sampaikan mengingat banyak kasus tewasnya aktivis kemanusiaan yang tidak pernah terungkap sampai saat ini.
Termasuk kasus-kasus terbaru banyaknya pendemo yang ditangkap saat melakukan aksi unjuk rasa.
"Mulai dari Munir, Marsinah, dan sekarang pendeta. Tahun 2019 kami mencatat setidaknya ada 50-an orang yang meninggal karena ikut aksi menyampaikan pendapat di muka umum," papar Asfinawati.
"Dan 6.128 secara keseluruhan mengalami pelanggaran saat aksi," lanjutnya.
Ia menyinggung data resmi yang dirilis polisi bahwa ada ribuan orang ditangkap saat demo menolak omnibus law Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), tetapi hanya sekitar 30 orang yang akhirnya diadili.
"Bagaimana dengan data 2020? Polri sendiri mengatakan 5.190 peserta aksi ditangkap. Yang tidak dikatakan adalah ada 28 jurnalis mengalami kekerasan," tambah dia.
Lihat videonya mulai menit 9.00
Mardani Kritisi 1 Tahun Jokowi-Ma'ruf Amin
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyoroti satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Maruf Amin.
Dilansir TribunWow.com, hal itu ia sampaikan dalam tayangan iNews, Senin (19/10/2020).
Diketahui pemerintahan Jokowi-Ma'ruf telah mencapai satu tahun sejak dilantik 20 Oktober 2019 lalu.
Baca juga: Minta Jokowi Terbitkan Perppu Batalkan UU Cipta Kerja, MUI: Presiden Bilang Tidak Bisa
Awalnya Mardani mengakui pemerintahan kali ini memang berat dengan adanya situasi pandemi Virus Corona (Covid-19).
"Tentu kita memaklumi 8 dari 12 bulan Pak Jokowi dan Kyai Ma'ruf itu ada di masa pandemi," kata Mardani Ali Sera.
Meskipun begitu, ia menilai langkah pemerintah menghadapi pandemi juga tidak sepenuhnya baik.
Menurut Mardani, hal itu disebabkan Gugus Tugas menjadi pusat penanganan Covid-19.
"Penanganan pandemi juga tidak baik-baik amat, karena mestinya Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri yang diberi peran lebih, tapi ini malah sibuk mengotak-atik Gugus Tugas," komentarnya.

Ia menyebutkan Gugus Tugas tidak memiliki 'pasukan' di bawahnya untuk membantu menangani Covid-19, sehingga pembentukannya menjadi tidak efektif.
Mardani kemudian menyinggung kemarahan presiden pada sidang paripurna.
Saat itu Jokowi menegur jajaran menterinya karena dianggap sangat lamban menyerap anggaran untuk Covid-19.
"Secara umum saya melihat jauh dari memuaskan. Bahkan Pak Jokowi sendiri bukan sekali-dua marah," ungkit anggota DPR tersebut.
"Berkali-kali marah dengan serapan anggaran," lanjut Mardani.
Baca juga: Satu Tahun Jokowi-Maruf, Begini Kecaman Pakar Politik, Kritik PKS, sampai Jawaban Politikus PDIP
Meskipun ramai dibicarakan, Mardani menilai kemarahan Jokowi tidak membawa perbaikan pada kinerja kabinetnya.
Ia menyebutkan hal itu disebabkan Jokowi tidak secara khusus merinci siapa saja menteri yang harus bergerak lebih cepat dalam bekerja.
"Menurut saya Pak Jokowi tidak mendetailkan dengan jelas target dari masing-masing kementerian, sehingga masing-masing kementerian tahu kalau salah di mana salahnya, kalau dia kelewat batas harusnya mengundurkan diri," komentar Mardani.
Menurut politikus PKS ini, kemarahan Jokowi justru tidak berdampak apa-apa.
Hal itu ia singgung mengingat Jokowi pernah mengancam akan merombak kabinet (reshuffle), tetapi tidak pernah ada kelanjutan dari wacana tersebut.
"Ini malah jadi kayak pepesan kosong kemarin Pak Jokowi janji dengan sangat berani marah ingin me-reshuffle, tapi ternyata tidak ada yang dikerjakan," jelas Mardani.
"Jadi memang publik antiklimaks," tambahnya. (TribunWow.com/Brigitta)