Breaking News:

Terkini Nasional

Cerita Cucu Jenderal dan Dalang Peristiwa G30S, Tak Mau Mewarisi Konflik hingga Kesal pada Negara

Para cucu jenderal maupun orang yang terlibat sejarah peristiwa 30 September 1965 memberikan pandangan lain soal peristiwa itu.

Bidik layar Youtube via Kompas.com
Adegan dalam film G30S/PKI. Para cucu jenderal maupun orang yang terlibat sejarah peristiwa 30 September 1965 memberikan pandangan lain soal peristiwa itu. 

TRIBUNWOW.COM - Para cucu jenderal maupun orang yang terlibat sejarah peristiwa 30 September 1965 memberikan pandangan lain soal peristiwa itu.

Generasi ketiga para jenderal maupun orang yang terilbat tersebut sama-sama mengatakan "tak mau mewarisi konflik".

Cucu-cucu Mayor Jenderal TNI Anumerta DI Pandjaitan, Sifra Panggabean, 30, dan Samuel Panggabean, 24, menceritakan pandangan mereka tentang insiden 55 tahun silam yang merenggut nyawa kakek mereka secara "kejam".

Di sisi lain, Fico Fachriza, cucu Murad Aidit—adik DN Aidit pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI)—yang beberapa kali disebut Fico sebagai 'elite PKI', memberikan pandangannya terkait peristiwa yang disebutnya sempat membuatnya "kesal pada negara".

Pemerintah Kaji Prioritas Pemberian Vaksin Covid-19, Bakal Disesuaikan dengan Kelompok Risiko

'Kenapa opa meninggal secara sadis?"

Sifra dan Samuel mulai mengetahui peristiwa 1965 saat usia mereka masih anak-anak karena keluarga besar yang kerap mengajak mereka ikut upacara peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober.

Mereka kemudian tahu bahwa kakek mereka, DI Pandjaitan, tewas ditembak dan kemudian diberi gelar sebagai Pahlawan Revolusi oleh pemerintah.

Sifra dan Samuel—anak Riri Pandjaitan, putri bungsu dari DI Pandjaitan—pun bertanya pada ibu mereka tentang peristiwa itu.

"Pertanyaannya, 'kenapa sih bisa terjadi?' 'Kenapa mesti seorang opa yang saya nggak kenal tapi.. meninggal secara sadis begitu?'

"'Kenapa dia mesti meninggal?' 'Kenapa dia mesti ditembak berkorban di tempat itu?' 'Untuk apa?'" papar Samuel, mengenang pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan kepada ibunya.

Sule Bongkar Fakta di Balik Awal Dekati Nathalie, Ingin Tuntun ke Arah Lebih Baik: Bisa Nggak Ya

Dari penjelasan ibunya serta almarhum neneknya, mereka memperoleh informasi tentang insiden '65.

"Setelah itu saya baru tahu semua itu dikorbankan untuk Pancasila, untuk kesaktian Pancasila. Jadi dari situ saya bangga, saya teguh dalam hati, saya sebagai keturunan juga harus jaga Pancasila ini."

Sifra melihat peristiwa tujuh jenderal meninggal dalam satu malam itu "hanya terjadi di Indonesia".

"Semenjak saya dewasa, saya mengerti peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat berbahaya dan betapa tujuh pahlawan revolusi itu mencintai dan memegang teguh Pancasila," kata Sifra.

'Jadi PKI ini apa, bu?'

Di sisi lain, Fico, cucu Murad Aidit, yang belasan tahun dibuang ke Pulau Buru karena dituding terlibat gerakan G30S/PKI, mengingat saat-saat dia pertama kali mendengar soal peristiwa '65, yakni di bangku sekolah dasar.

Dia mengatakan beberapa kali melihat foto kakeknya dengan mantan presiden Sukarno hingga Mohammad Hatta, yang nama-namanya dipelajari dalam buku sekolah.

"Lalu mulai masuk bab PKI, terus kayaknya jahat banget PKI bunuh-bunuh jenderal. Ya ampun... 'Jadi PKI ini apa bu'?" ujar Fico, meniru pembicaraan dengan gurunya saat itu.

"Yang saya ingin tanya 'kenapa partai-partai itu bisa ada senjata buat bunuh-bunuh jenderal seperti yang ibu jelaskan?' Ibu gurunya nggak bisa jawab."

Ia bertanya pada ibunya, Poppy Anasari, putri Murad Aidit, tentang itu.

Mengaku Banyak Teman yang Kecewa dengan Sikapnya di BUMN, Erick Thohir: Enggak Sebaik Dulu

Namun, ibunya memintanya bertanya langsung kepada kakeknya. Di situlah Murad bercerita.

"Waktu diceritain kakek, bingung pasti ada… Lho kok nggak kayak yang diterangin sama guru aku di sekolah?

"Ada masa di mana pelajaran sejarah isinya debat-debat saya sama wali kelas saya saja. Justru teman-teman bingung, 'Ini apa sih?' 'Dia tahu dari mana?'

"Saya dianggap sotoy (sok tahu) sama teman-teman sekolah."

'Kakek saya nggak salah dihukum'

Fico sendiri menceritakan bahwa menurut yang dia dengar dari Murad Aidit, kakeknya itu tidak aktif berpolitik. Dia hanya bergabung di komunitas seni, kemungkinan Lekra, kata Fico.

Ia menceritakan kakeknya saat itu belajar di Rusia dengan uang dari kakaknya, DN Aidit, kemudian dipanggil pulang, "katanya mau dijadikan menteri".

Namun, alih-alih jadi menteri, saat di bandara Jakarta, Murad ditangkap. Ia dibawa ke Bogor kemudian dipindahkan ke Bandung.

"Pas perpindahan di jalan (para tahanan) disuruh pipis. Instingnya (kakek saya) 'jangan pipis'.

"Teman-temannya yang pada pipis ditembakin dan [petugas] laporan ke atas 'mereka coba kabur'... Keras juga ya."

Fico mengatakan setelah mendengar itu ia tak merasa malu atau kesal pada kakeknya yang mempunyai predikat sebagai tahanan politik.

"Nggak (kesal atau malu). Saya kesal sama negara lah...Gila, kakek saya nggak salah, diadilin juga nggak. Cuma main ditahan-tahan aja.

"Pas terbukti nggak bersalah, nggak ada ganti rugi apa-apa juga. Wah gila negara, gila nih," kata Fico sambil tersenyum mengingat apa yang dia pikir saat itu. (*)

Artikel ini telah tayang di BBC dengan judul G30S/PKI: Cucu-cucu 'Pahlawan Revolusi' dan 'elite PKI' bicara soal sejarah dan harapan 'tak mau warisi konflik untuk membenci

Sumber: BBC Indonesia
Tags:
G30SSeptemberPKI
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved