Terkini Internasional
Terdampak Krisis Kemanusiaan, Unicef Sebut Jutaan Anak di Yaman Terancam: Banyak yang akan Meninggal
Organisasi pemeliharaan anak dunia, Unicef, mengatakan bahwa jutaan anak di Yaman berada di ambang krisis kelaparan.
Penulis: Noviana Primaresti
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Organisasi pemeliharaan anak dunia, Unicef, mengatakan bahwa jutaan anak di Yaman berada di ambang krisis kelaparan.
Hal ini disebabkan adanya penurunan besar dalam sumbangan dana bantuan yang diterima Unicef sebagai dampak tak langsung pandemi Covid-19.
Perlu diketahui bahwa masyarakat Yaman yang menderita akibat perang, hanya dapat bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup.
• Yaman Jadi Negara Paling Parah Terdampak Pandemi, Sistem Kesehatan Runtuh hingga Krisis Kemanusiaan
Begitupula anak-anak yang kini tak bisa mendapatkan asupan gizi dan perawatan kesehatan yang layak.
Diketahui, Yaman saat ini dinyatakan oleh PBB sebagai negara krisis kemanusiaan terburuk di dunia pasca-perang yang telah melumpuhkan fasilitas publik dan kesehatan yang dimiliki.
Dilansir bbc.com, Jumat (26/6/2020), Unicef mengatakan masih memerlukan hampir setengah miliar dolar untuk menyelamatkan anak-anak tersebut.
Namun sejauh ini, Unicef hanya menerima jauh di bawah setengah dari jumlah yang diperlukan tersebut.
Menurut Unicef, sekitar dua juta anak kekurangan gizi akut di negara Yaman, yang hancur akibat perang selama lima tahun.
Kecuali $ 54,5 juta (sekitar 782 miliar rupiah) diterima pada akhir Agustus, sekitar 23.500 anak-anak dengan kekurangan gizi akut akan berisiko tinggi mengalami kematian.
Sementara jutaan orang lainnya tidak akan mendapatkan suplemen nutrisi dan vitamin esensial, atau imunisasi terhadap penyakit mematikan.
Unicef juga mengatakan 19 juta orang, termasuk satu juta ibu hamil atau menyusui, akan kehilangan akses ke perawatan kesehatan, tanpa dana tersebut.
"Kita tidak bisa melebih-lebihkan skala darurat ini sementara anak-anak, yang sudah berada dalam kondisi krisis kemanusiaan terburuk di dunia, sedang berjuang untuk bertahan hidup ketika (pandemi) Covid-19 berlangsung," kata Sara Beysolow Nyanti, perwakilan Unicef di Yaman.
"Jika kita tidak menerima dana dalam waktu dekat, anak-anak akan didorong ke ambang kelaparan dan banyak yang akan meninggal," tuturnya.
Badan amal itu mengatakan juga membutuhkan tambahan $ 53 juta atau sekitar 700 miliar rupiah untuk menangani Virus Corona di Yaman.
• Cerita Petugas Medis di Yaman, Tidak Memiliki APD hingga Tak Bisa Operasikan Alat Ventilator
Diketahui, lebih dari 1.000 kasus dan 288 kematian akibat Covid-19 telah dicatat di wilayah yang dikontrol pemerintah.
Sedangkan di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak, kasus positif diketahui lebih sedikit, meskipun jumlah sebenarnya diyakini jauh lebih tinggi.
Sejak 2015, Yaman telah hancur oleh konflik, meninggalkan jutaan orang tanpa akses ke perawatan kesehatan yang layak, air bersih atau sanitasi yang penting untuk mencegah penyebaran virus.
Sistem kesehatan negara tersebut telah runtuh secara efektif, sehingga tidak mampu mengatasi pandemi.
Alasan Yaman Menjadi Negara Paling Parah Terdampak Pandemi
Dilansir wolrdometers.info, yang diakses pada Sabtu (27/6/2020) pukul 08.15 WIB, penyebaran Virus Corona di negara Yaman masih memasuki tahap awal di mana tercatat ada 1.089 kasus positif.
Sementara itu, jumlah kematian mencapai 293 kasus dengan jumlah pasien yang sembuh sebanyak 402 kasus.
Namun, Yaman menjadi satu dari antara yang paling terdampak Virus Corona karena alasan-alasan berikut ini.
1. Masih Berperang
Sejak 2015, Yaman telah hancur oleh konflik, meninggalkan jutaan orang tanpa akses ke perawatan kesehatan yang layak, air bersih atau sanitasi yang krusial untuk mencegah penyebaran virus.
Makanan vital, pasokan medis dan kemanusiaan telah dibatasi oleh blokade darat, laut, dan udara sebagian dilakukan oleh koalisi negara-negara yang dipimpin Saudi melawan pemberontak Houthi.
Sementara pemberontak itu sendiri telah menghalangi distribusi bantuan ke arah kota dan mengusir pemerintah keluar dari ibu kota dan ke selatan negara tersebut.
Tidak adanya pemerintahan pusat yang bertanggung jawab membuat pandemi Virus Corona lebih sulit dikendalikan.
2. Krisis Kemanusiaan Terburuk
Hampir tiga tahun sebelum munculnya Covid-19, PBB menyatakan Yaman sebagai tempat yang paling membutuhkan di Bumi.
Sekitar 24 juta orang di sana, yaitu sekitar 80% dari populasi penduduk, bergantung pada bantuan untuk bertahan hidup, dan jutaan lainnya berada di ambang kelaparan.
Diperkirakan 2 juta anak kekurangan gizi akut, dan negara itu sudah berjuang untuk mengatasi penyakit seperti demam berdarah, malaria dan kolera sebelum kasus pertama Virus Corona dilaporkan.
Sistem kekebalan yang melemah berarti mereka yang menderita penyakit kronis dapat tertular Covid-19 lebih mudah, dan merasa lebih sulit untuk bertahan hidup.
• Kronologi Ratusan Warga Ambon Hadang Ambulans untuk Ambil Paksa Jenazah Pasien Positif Covid-19
3. Sistem Kesehatan Telah Runtuh
Perang lima tahun telah menghancurkan sistem kesehatan negara itu, membuatnya tidak mampu menghadapi pandemi.
Banyak dari 3.500 fasilitas medis Yaman telah rusak atau hancur dalam serangan udara, dan hanya setengah yang dianggap berfungsi penuh.
Klinik dilaporkan penuh sesak, dan obat-obatan dan peralatan dasar masih kurang.
Di negara berpenduduk 27,5 juta orang tersebut, hanya ada beberapa ratus mesin ventilator, yang digunakan untuk membantu pasien bernapas dalam kasus di mana Covid-19 menyebabkan gagal paru-paru.
4. Jumlah Aktual Kasus Positif Tidak Diketahui
Tanpa mengetahui lebih akurat siapa yang menderita Virus Corona, lebih sulit untuk mencegah penyebarannya atau merencanakan jumlah pasien yang menambah tekanan pada sistem kesehatan yang sudah rapuh.
Sejak pasien Virus Corona pertama kali dilaporkan di daerah-daerah yang dikuasai pemerintah pada bulan April, skala sebenarnya dari wabah tersebut belum dapat ditentukan.
Pemerintah telah mengumumkan lebih dari 900 kasus , sementara pemberontak yang menguasai ibukota dan daerah padat penduduk lainnya mengatakan mereka hanya mendeteksi empat kasus di wilayah mereka.
PBB mengatakan bahwa dengan pasokan pengujian yang terbatas dan kurangnya transparansi dalam data dari para pemberontak dan pemerintah, jumlah kasus yang sebenarnya hampir pasti jauh lebih tinggi secara keseluruhan.
5. Tenaga Medis Rentan
Di samping kurangnya obat untuk mengobati kasus, petugas medis di Yaman tidak memiliki peralatan perlindungan pribadi (APD), seperti masker dan baju hazmat, untuk melindungi mereka dari penyakit.
Sebuah laporan yang belum dikonfirmasi tentang situs berita Al-Masdar yang dimiliki secara pribadi mengatakan puluhan petugas medis tewas akibat Covid-19 di kedua daerah yang dikuasai pemberontak maupun yang dikuasai pemerintah.
Seorang pakar penyakit menular yang paling terkenal di Yaman, Yassin Abdul Wareth, meninggal akibat Covid-19 awal bulan ini.
Kematian Wareth digambarkan sebagai pukulan besar bagi sektor kesehatan di Yaman. (TribunWow.com)