Terkini Nasional
Tanggapi soal Jokowi dan Menkominfo Dinyatakan Melanggar Hukum, Refly Harun: Kita akan Klepek-klepek
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate dinyatakan bersalah Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara
Penulis: Mariah Gipty
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika, Johny G Plate dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Jokowi dan Johny G. Plate divonis bersalah terkait pemutusan dan pembatasan internet di Papua pada Agustus-September 2019 lalu.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun dalam kanal YouTubenya pada Kamis (4/6/2020), yang terpenting dalam masalah ini bukanlah soal Jokowi dan Johny G Plate dinyatakan bersalah.

• Minta Program Pemulihan Ekonomi Harus Berikan Manfaat pada Pelaku Usaha, Jokowi: Ini Penting
Namun, pelajaran yang harus diambil dari kejadian itu.
"Kenapa berita ini menjadi penting bukan karena Presiden Jokowi dinyatakan melanggar hukum, bukan karena Menteri Jokowi dinyatakan melanggar hukum bukan itu."
"Tetapi ini mudah-mudahan menjadi preseden yang baik," ucap Refly.
Lantas ia membayangkan keadaan jika hari-hari tanpa internet karena dibatasi pemerintah,
"Kenapa begitu? Bisa dibayangkan dalam situasi seperti ini kadang-kadang ada kekhawatiran suara kritis bisa dibungkam, bisa dibatasi," ungkapnya.
Lalu, ia menyindir soal pembungkaman suara kritisi pada masa lalu.
"Tidak perlu dengan cara kekerasan, karena kalau kita bicara cara kekerasan itu adalah cara masa lalu."
"Misalnya ketika pemerintahan Orde Baru membungkam Marsinah, atau misalnya terjadi dalam kasus Munir, atau bahkan Novel Baswedan," katanya.
• Luhut Beberkan Alasan Jokowi Belum Umumkan New Normal: Dengan Dasar Angka atau Data, Bukan Tanggal
Sedangkan pada saat ini pembungkaman suara bisa melalui pembatasan internet.
"Tapi sekarang ini orang tak perlu dibungkam dengan kekerasan fisik, cukup akses internetnya diperlambat atau bahkan dihilangkan sama sekali," sebut Refly.
Ia juga membayangkan lagi bagaimana pembatasan internet di saat pandemi Covid-19.
"Coba bayangkan di situasi pandemi Covid-19 ini, kalau kita tidak memiliki saluran internet yang memadai kita mau apa setiap hari, kita akan bingung melakukan kegiatan apa, karena andalan kita adalah saluran internet," ungkapnya.
Selain itu, Mantan Komisaris Utama PT Pelindo II ini juga mengaku pasti akan kewalahan jika tanpa internet.
Dia tidak bisa membagikan suara-suara kritisnya kepada khalayak.
"Apalagi ketika saya pribadi misalnya atau orang-orang lain mulai membuat informasi dengan menggunakan kanal YouTube tidak lain internet prasarana utama."
"Jadi kalau mau mematikan arus informasi tandingan misalnya suara-suara kritis masyarakat maka cukup mematikan internet atau bahkan memperlambat internet."
"Maka kita akan klepek-klepek nggak bisa ngapa-ngapain," tuturnya.
• Diprotes DPR soal Pembatalan Haji, Fahrul Razi Singgung Perintah Jokowi: Nanti Presiden yang Kena
Lihat videonya mulai menit ke-9:30:
Presiden Jokowi Dinyatakan Bersalah
Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN) Jakarta memutuskan Presiden Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) bersalah atas pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Pemblokiran internet tersebut terjadi pada Agustus-September 2019 lalu, setelah aksi demonstrasi yang berujung kerusuhan terjadi di sejumlah wilayah Bumi Cendrawasih.
"Menyatakan perbuatan tergugat I dan II adalah perbuatan melanggar hukum oleh pejabat dan atau badan pemerintahan," kata Hakim Ketua Nelvy Christin dalam sidang pembacaan putusan yang disiarkan di akun YouTube SAFEnet Voices, Rabu (3/6/2020).
Majelis hakim merinci perbuatan melanggar hukum yang dilakukan kedua tergugat.
Pertama, tindakan throttling atau pelambatan akses atau bandwidth di beberapa wilayah Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua pada 19 Agustus 2019 sejak pukul 13.00 WIT sampai dengan pukul 20.30 WIT.
Kedua, pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet secara menyeluruh di Papua dan Papua Barat, pada 21 Agustus 2019 sampai dengan setidak-tidaknya 4 September 2019 pukul 23.00 WIT.
Ketiga, memperpanjang pemblokiran layanan data dan/atau pemutusan akses internet di empat kota/kabupaten di Provinsi Papua, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Jayawijaya.
Kemudian, dua kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat, yaitu Kota Manokwari dan Kota Sorong, sejak 4 September 2019 pukul 23.00 WIT sampai dengan 9 September 2019 pukul 20.00 WIT.
Majelis hakim pun menghukum tergugat I dan II membayar biaya perkara sebesar Rp 457.000.
• Jokowi Minta Pembukaan Tempat Ibadah, Aktivitas Ekonomi, dan Sekolah Harus melalui Tahapan Ketat
Pertimbangan hakim Hakim menilai pembatasan akses internet menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan, antara lain Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut hakim, jika ada konten yang melanggar hukum, maka pembatasan dilakukan terhadap konten tersebut dan bukan pada akses internet secara keseluruhan.
Sebab, pada dasarnya Internet adalah netral, bisa digunakan untuk hal yang positif atau pun negatif.
"Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet," kata majelis hakim dalam putusannya.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Presiden RI Divonis Bersalah atas Pemblokiran Internet di Papua"
(TribunWow.com/Mariah Gipty, Kompas.com/Ihsanuddin)