Virus Corona
Jakarta Tanggap Darurat Corona, Banyak Pekerja Tak Bisa Lakukan Social Distancing karena Hal Ini
masih ada pegawai-pegawai yang harus bekerja menggunakan moda transportasi publik dan tidak dapat menjaga jarak aman alias social distancing.
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
Pada Minggu (22/03), jumlah penumpang KRL tercatat 200.000 orang, yang dibagi dalam 991 perjalanan, sehingga rata-rata jumlah penumpang dalam satu gerbong di KRl adalah sekitar 20-50 penumpang.
Dilema pelaku usaha di Jakarta
Bagaimanapun, sejumlah pegawai masih harus bekerja di DKI Jakarta karena jenis pekerjaannya tidak memungkinkan mereka bekerja dari rumah (WFH) sehingga sulit mematuhi kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
"Saya mendukung [penutupan kantor], tapi kalau yang seperti perbankan dan produksi itu kan harus jalan, jadi harus kembali lagi ke perusahaannya. Kalau layanan [perbankan] kan tidak bisa WFH," kata Amora.
Guna menghambat penyebaran virus corona, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meminta penghentian sementara aktivitas perkantoran dan penyelenggaraan kegiatan operasional industri pariwisata seperti bioskop, bar, dan restoran, yang jumlahnya mencapai 1.400 unit di Jakarta.
• Tiadakan UN untuk SD, SMP, dan SMA karena Corona, Syaiful Huda Ungkap Alternatif Kelulusan Pelajar
Jika melanggar, sanksi yang diberikan berupa surat peringatan sampai pencabutan izin jika sudah diperingatkan tiga kali.
Menurut Tutum Rahanta, anggota dewan penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), banyak pelaku usaha di Jakarta yang tengah menghadapi dilema, antara mengikuti imbauan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atau mematuhi perjanjian dengan pusat perbelanjaan tempat mereka beroperasi, yaitu untuk mengikuti jam buka dan tutup pusat perbelanjaan seperti mal atau plaza.
"Pemerintah pusat tidak meminta lockdown, tapi Pemda mengimbau dengan surat seruan tanggal 20 Maret kemarin untuk meminta masyarakat tidak berkumpul dan menjauhi pusat keramaian, salah satunya pusat belanja. Sedangkan kami adalah penyewa di pusat belanja yang saat ini tidak didatangi pengunjung," kata Tutum.
"Ini sangat dilematis. Kami punya kepatuhan untuk ikuti jam buka tutup toko, kalau tidak ada keputusan resmi kami tidak bisa tutup sepihak untuk menjaga keutuhan suatu pusat belanja."
Tutum berharap bahwa pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan untuk jenis-jenis toko tertentu, seperti supermarket, minimarket, dan hipermarket, serta restoran dan toko makanan, untuk tetap buka lantaran toko-toko tersebut menjual kebutuhan sehari-hari masyarakat.
"Sampai saat ini mal dan plaza belum ada yg tutup. Untuk [toko yang menjual] food masih melayani masyarakat, karena permintaan masih tinggi sampai detik ini, di luar itu tidak didatangi konsumen, ini yang membuat menderita bagi teman-teman yang menjual non food. Kita lagi negosiasi ini dengan pusat belanja dan Pemda bagaimana dengan sektor non food ini agar diizinkan untuk tutup supaya clear hukumnya, [untuk menjaga hubungan] kami dengan pusat belanja," kata Tutum.
Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia terdiri dari 250 perusahaan yang memiliki jumlah outlet sekitar 50.000 di pusat-pusat perbelanjaan di Indonesia.
• Terisak-isak, Ali Ngabalin Ungkap Duka Cita bagi Dokter yang Meninggal, Singgung Rasa Sedih Jokowi
Tutum mengatakan, anggota yang telah menutup gerainya saat ini masih belum mencapai satu persen. Untuk menolong keberlangsungan usaha anggotanya, Tutum meminta pemerintah untuk memberikan insentif perpajakan di tengah kesulitan ekonomi yang muncul akibat pandemik virus corona ini.
"Insentif perpajakan tolong diringankan agar meringankan beban pelaku usaha, untuk memperpanjang nafas kami," kata Tutum.
"Kalau ini [buka toko tanpa konsumen] tetap kami lakukan, perusahaan akan bangkrut, tutup dan pecat karyawan. Kalau diberi insentif kita bisa bernafas panjang, jika tidak, 2-3 bulan kita bisa tutup, 40 sampai 50 persen perusahaan di pusat belanja akan bertumbangan dan susah bangkit lagi."