Breaking News:

Kabar Tokoh

Bahas Identitas Tionghoa di Indonesia, Yunarto Wijaya Analogikan dengan Fenomena Anak Bungsu

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, menganalogikan posisi etnis Tionghoa di Indonesia seperti fenomena anak bungsu.

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Atri Wahyu Mukti
Capture Youtube KompasTV
Pengamat Charta Politika, Yunarto Wijaya, membahas posisi etnis Tionghoa yang masih dianggap rentan di masyarakat Indonesia, dalam tayangan KompasTV, Kamis (23/1/12020). 

TRIBUNWOW.COM - Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, menganalogikan posisi etnis Tionghoa di Indonesia seperti fenomena anak bungsu.

Hal tersebut disampaikannya terkait dengan posisi etnis Tionghoa yang masih dirasa rentan di antara masyarakat Indonesia.

Pengamat sekaligus konsultan politik tersebut mengawali penjelasannya dengan menyebutkan pengalaman ketika melakukan survei dalam Pemilu 2019.

Rayakan Imlek Pertama, Ruben Onsu Beri Nama Chinese untuk Betrand Peto: Sesuai Hitungan Lahir

"Pernah ada taruhan yang ramai di media kalau saat itu salah satu calon presiden menang saya harus ke Korea Utara atau ke China," kata Yunarto Wijaya, dalam tayangan Rosi di KompasTV, Kamis (23/1/2020).

"Dengan terpaksa, karena saat itu saya ingin memberikan pendidikan politik terkait survei yang saya percaya ilmiah, saya ladeni tantangan itu. Untungnya benar," lanjutnya.

Yunarto menyebutkan latar belakang etnis Tionghoanya membuat ia kerap dirundung.

"Saya malah yang dibilang agen China dan segala macam, kebetulan belum pernah balik kampung ke China sama sekali, kalau orang bilang itu tempat nenek moyang saya," jelas Yunarto.

Yunarto melanjutkan pengalamannya sebagai aktivis dan pengamat politik membuatnya merasa harus berani menyatakan pendapat.

Ia tidak merasa harus patuh pada sindrom minoritas yang sering dilekatkan pada etnisnya.

Yunarto kemudian menganalogikan keberadaan etnisnya seperti fenomena anak bungsu.

"Fenomenanya seperti anak bungsu kalau menurut saya," kata Yunarto.

"Anak bungsu ini 'kan bisa dilihat dari satu kacamata, sebelah mata. Lu siapa sih, lu baru keluar. Lu jauh lebih muda dari kita," jelasnya.

"Tapi di sisi lain dia juga bisa paling dimanja. Paling didengar. Jadi kalau kita malu-malu, ya, kita hanya akan jadi anak bungsu yang dianggap lebih muda, kalah pintar, kalah bijaksana oleh kakak-kakak kita," lanjutnya.

Tak Khawatir Potensi Terkena Penyebaran Coronavirus, Pemprov Bali Enggan Batasi Wisatawan China

Menurut Yunarto, fenomena menjadi minoritas mirip dengan fenomena anak bungsu.

"Dia cenderung dilihat sebelah mata. Orang sering ngiri juga karena lebih disayang oleh orang tuanya. Tinggal bagaimana menempatkan diri," jelas Yunarto.

"Seorang anak bungsu biasanya akan lebih didengar asal berani outspoken, tapi jangan jadi kurang ajar juga," katanya.

Menanggapi beberapa tokoh politik berlatar belakang etnis Tionghoa, Yunarto kembali menyebut analogi anak bungsu.

Menurut Yunarto, anak bungsu harus lebih hati-hati ketika bicara karena orang akan menanggapi secara sensitif.

"Kita harus menjaga proporsi kita sebagai anak bungsu yang cenderung ketika bersuara, itu orang lebih sensitif," katanya.

Lihat videonya mulai menit 8:30:

Sempat Minder Masuk Politik

Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie mengaku awalnya sempat ragu terjun di dunia politik.

Pasalnya, latar belakang etnis Grace sebagai orang Tionghoa membuatnya minder.

Ia mengaku sering dirundung orang tak dikenal melalui media sosialnya karena latar belakang etnisnya tersebut.

 Sosok Tony Wen, Pria Keturunan Tionghoa Kepercayaan Soekarno, Pernah Lakukan Ini untuk Negara

"Yang paling sering di-bully dari dulu sampai sekarang, selalu ada tipikal bahwa yang penampakannya kayak gini harus kerjaannya apa," kata Grace Natalie, dalam tayangan Rosi di KompasTV, Kamis (23/1/2020).

Dalam acara tersebut, Grace mengungkapkan pengalamannya ketika bekerja sebagai wartawan bersama dengan Rosi.

Saat itu, ia langsung dilekatkan dengan stereotip etnis Tionghoa yang banyak berprofesi membuka usaha toko.

"Saya ingat waktu hari pertama saya kerja di stasiun TV yang sama dulu kita itu, hari pertama saya jadi wartawan, langsung ketemu wartawan lain yang bilang 'Ngapain kamu jadi wartawan? Kenapa enggak buka toko aja?'," kata Grace.

Grace menyebutkan terkadang ia menemukan komentar tidak mengenakkan yang masuk di akun media sosialnya.

"Kadang-kadang yang bikin kesel, udah kita jawabnya serius apalagi kalau ada data, terus dia bilang 'Ya udah, kalau enggak seneng, pulang aja ke negeri asalmu!'," katanya.

Mengenai sebutan Tionghoa dengan China, Grace menyebutkan sebetulnya tidak masalah disebut dengan keduanya.

Meskipun menurut beberapa pihak, Tionghoa dirasa lebih sopan untuk menyebut etnis tersebut.

"Memang buat umum, kata Tionghoa itu dirasa lebih halus," jelasnya.

"Mungkin karena di dulu-dulu penggunaan kata China itu konteksnya negatif. Lebih untuk ngatain, kali, ya," kata Grace.

 Virus Corona Sudah Masuk di Singapura saat Turis China Datang Berlibur

Setelahnya, Grace mengakui hal tersebut sempat membuatnya minder dalam berbagai situasi.

"Pertama ada ragunya. Apa yang spek-nya kayak gini cocok, nih, masuk politik?" kata Grace.

Grace menyebutkan dari sekian banyak hinaan yang dilontarkan melalui media sosialnya, intinya adalah ia dianggap bukan orang Indonesia asli.

"Warding-nya bisa beda-beda, tapi intinya bukan orang Indonesia," tegasnya.

Menurut Grace, stereotipe tersebut kurang tepat karena ia mengaku tidak terlalu menguasai identitas etnisnya, seperti kemampuan berbahasa Mandarin.

"Padahal bahasa Mandarin aja enggak bisa," kata Grace sambil tertawa.

"Kalau saya pergi ke China, nih, mau belanja tetap sama kita pakai bahasa kalkulator," tambahnya.

(TribunWow.com/Brigitta Winasis)

Sumber: Kompas TV
Tags:
Yunarto WijayaCharta PolitikaGrace Natalie
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA
KOMENTAR

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved