Breaking News:

Terkini Nasional

Bicara soal Penghapusan UN, Kemendikbud Juga Singgung soal Sistem Zonasi yang Lebih Adil

Totok Suprayitno, Plt Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, menjelaskan zonasi adalah salah satu upaya pemerataan pendidikan.

Penulis: Brigitta Winasis
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
Capture channel Youtube Najwa Shihab
Acara Mata Najwa, Rabu (18/12/2019) mengangkat tema "Menguji Ujian Nasional". 

TRIBUNWOW.COM - Totok Suprayitno, Plt Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, menyebutkan sistem zonasi dapat menjadi salah satu upaya pemerataan kualitas pendidikan.

Ketika ditanya dalam acara Mata Najwa pada Rabu (18/12/2019), Totok Suprayitno mengungkapkan metode penilaian untuk naik ke tingkat pendidikan yang lebih lanjut sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).

Totok Suprayitno lalu menjelaskan sistem zonasi yang akan lebih ramah dan adil pada siswa.

Plt Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, Totok Suprayitno ketika menjelaskan sistem zonasi di acara Mata Najwa, Rabu (18/12/2019).
Plt Dirjen Dikdasmen Kemendikbud, Totok Suprayitno ketika menjelaskan sistem zonasi di acara Mata Najwa, Rabu (18/12/2019). (Capture channel Youtube Najwa Shihab.)

Penggantian Sistem Ujian Nasional oleh Mendikbud Nadiem Makarim, Ini Tanggapan Presiden Jokowi

Nadiem Makarim Jelaskan Format Pengganti Ujian Nasional (UN) hingga Perubahan Sistem Zonasi

Penerimaan siswa baru tidak akan bergantung pada seleksi, tetapi daerah rumah siswa tersebut berada.

"Nanti ada minimal lima puluh persen penerimaan siswa itu berbasiskan pada zonanya," kata Totok Suprayitno.

"Kemudian sisanya itu afirmasi anak-anak yang mendapatkan Kartu Indonesia Pintar dari keluarga yang kurang beruntung."

"Kemudian maksimum sampai tiga puluh persen itu anak-anak yang berprestasi," katanya ketika menjelaskan penerimaan siswa dengan sistem zonasi.

Seperti yang dicantumkan di Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018, zonasi adalah sistem pengaturan proses penerimaan siswa baru sesuai wilayah tempat tinggal.

Sistem tersebut dibuat agar tidak ada sekolah yang dianggap favorit dan non-favorit.

Menurut Totok, penilaian tidak hanya didasarkan pada kemampuan kognitif, tetapi juga kemampuan soft skill siswa.

"Yang diberikan oleh sekolah tidak hanya skor nilai, tetapi bisa portofolio siswa dan kemampuan spesifik siswa," katanya.

Kemampuan seperti melukis, menari, musik, dan lain-lain dapat menjadi pertimbangan dari guru.

Zonasi Sebagai Proses Seleksi Siswa Baru

Sementara itu, dalam acara yang sama, Sudewo sebagai Anggota Komisi X DPR Fraksi Gerindra memandang tetap perlu ada proses seleksi siswa baru.

"Saya menilainya seleksi ini titik krusial sebagai gambaran kebijakan Kementerian Pendidikan (dan Kebudayaan) nanti," kata Sudewo.

Menurutnya, unsur subjektivitas dalam metode penilaian tersebut sangat tinggi.

Sudewo juga beranggapan potensi kecurangan dalam metode itu sangat besar.

"Dengan Ujian Nasional saja, dengan aturan yang sangat ketat, budaya orang Indonesia ingin sekali ada kasak-kusuk," katanya.

"Bagaimana dengan sistem seleksi yang semacam itu, yang membuka subjektivitas yang sangat tinggi? Ini sungguh berbahaya."

Meskipun demikian, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menunjukkan bagaimana zonasi dapat menjadi solusi pendidikan yang berkeadilan.

"Pendidikan itu hak dasar. Hak dasar yang harus dipenuhi negara. Itu perintah konstitusi," katanya.

"Atas dasar itu, sebenarnya sistem zonasi itu berkeadilan."

"Di mana seorang anak itu bisa sekolah di mana pun tanpa melihat nilai ujian nasionalnya, tanpa melihat nilai yang lain, tetapi karena memang jarak dan yang kedua adalah kemampuan yang memang tidak hanya kecakapan akademik."

"Jadi artinya, ini sebenarnya pemenuhan hak dasar atas tanggung jawabnya terhadap pendidikan."

Retno menambahkan, kriteria utama dalam sistem zonasi adalah jarak dan kemampuan siswa.

Kuota tiga puluh persen siswa berprestasi yang diterima di sekolah juga tidak hanya didasarkan pada kemampuan kognitif.

Sudewo kembali mengkhawatirkan kecurangan yang mungkin terjadi pada sistem tersebut.

"Ini justru yang menimbulkan masalah baru," kata Sudewo.

Lihat video mulai menit ke 2:00

Sophia Latjuba sebagai salah satu tokoh publik yang peduli pada pendidikan, turut menyumbang pendapat dalam acara tersebut.

"Bukannya rapor itu sudah cukup, ya?," katanya.

"Rapor sekolah kelas enam yang diberikan oleh sekolah dengan tes, dengan esai, dengan portofolio, apapun adalah hasil pembelajaran anak selama enam tahun, tiga tahun itu."

"Itu 'kan sudah cukup," kata aktris tersebut.

Tanggapan Komisi X DPR dan Peneliti Pendidikan

Syaiful Huda sebagai Ketua Komisi X DPR Fraksi PKB menanggapi persoalan tersebut ketika diundang dalam acara Mata Najwa.

"Ini catatan kami juga di Komisi X dan bagian dari kompromi kami dengan Kemendikbud," kata Syaiful Huda.

"Pemerintah dan kita semuanya tidak bisa menunggu sarana prasarana selesai dan hal yang terus kita genjot. Kualitas dan kompetensi guru harus secepatnya diselesaikan. Pemerataan dan distribusi guru harus secepatnya diselesaikan."

Seorang Peneliti Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan, Anindito Aditomo, mengutarakan pendapatnya mengenai persoalan ini.

"Intinya adalah jangan sampai mengulang kesalahan yang sama, membuat Ujian Nasional 2.0," kata Anindito Aditomo.

Ia khawatir akan ada pelabelan kembali terhadap sekolah favorit dan sekolah non-favorit.

"Pada gilirannya akan memberikan tekanan pada guru dan memberikan tekanan pada siswa," katanya.

(TribunWow.com/Brigitta Winasis)

Tags:
Wacana penghapusan UNSistem ZonasiMata Najwa
Berita Terkait
ANDA MUNGKIN MENYUKAI
AA

BERITA TERKINI

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved