Perppu UU KPK
UU KPK Hasil Revisi Resmi Berlaku, Refly Harun Sebut Pejabat dan Penegak Hukum Tak Ingin Ada OTT
Refly Harun mengatakan penerbitan UU KPK hasil revisi memang dibuat pejabat publik dan penegak hukum agar KPK tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan.
Penulis: Desi Intan Sari
Editor: Tiffany Marantika Dewi
TRIBUNWOW.COM - Pengamat Politik Refly Harun mengatakan penerbitan Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi memang dibuat pejabat publik dan penegak hukum agar KPK tidak melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Hal tersebut turut Refly Harun ungkapkan melalui channel YouTube Talk Show tvOne yang tayang pada Rabu (16/10/2019).
Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin didesak untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang (Perppu) KPK lantaran UU KPK hasil revisi sudah mulai berlaku Kamis (17/10/2019).
Pada mulanya Refly Harun menjelaskan bahwa di Indonesia itu hanya ada tiga institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan yakni kepolisian, kejaksaan dan KPK.
"Tapi kalau kita bicara penindakan hanya tiga institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan penindakan yaitu kepolisian kejaksaan dan KPK," ujar Refly Harun.
• UU KPK Hasil Revisi Resmi Berlaku, Refly Harun: Perppu Masih Bisa Keluar Kapan Saja
Refly Harun menuturkan apabila adanya KPK lantaran fungsi kepolisian dan kejaksaan yang belum efektif dan efisien.
Maka dengan adanya UU KPK hasil revisi, fungsi KPK dalam melakukan penindakan kasus korupsi akan melemah.
"Adanya KPK dianggap karena kepolisian dan kejaksaan tidak efektif dan efisien belum efektif dan belum efisien dalam melakukan pemberantasan korupsi," jelas Refly Harun.
"Maka kemudian melemahkan KPK di sektor penindakan ya itu menurut saya hal yang patut dipertanyakan argumentasinya," sambungnya.
Ia juga mengatakan ada pasal-pasal UU KPK hasil revisi yang bila ditelusuri maka akan ditemukan peraturan yang melemahkan KPK sebagai institusi penindakan korupsi.
"Terus itu prediktif, tapi kalau kita melihat teks maka kita bisa menyusur beberapa hal yang potensial melemahkan," ungkap Refly Harun.
Menurut Refly Harun aturan yang berpotensi melemahkan KPK sebagai penindak korupsi ada di pasal 12 B.
"Kenapa saya katakan potensial karena kita akan lihat nanti diimplementasinya, tapi sudah pasti contoh misalnya pasal 12 B," ungkap Refly Harun.
"Pasal 12 B itu bicara mengenai penyadapan institusi, penyadapannya itu sekarang tidak bisa lagi langsung oleh pimpinan KPK," lanjutnya.
Refly Harun menuturkan bahwa untuk bisa melakukan penyadapan, KPK harus izin kepada dewan pengawas.

• UU KPK Hasil Revisi Resmi Berlaku meski Tanpa Tanda Tangan Presiden, Ini Alasannya
"Tapi harus izin dewan pengawas dan izinya kan 1x24 jam tertulis ternyata tidak sampai di situ penjelasannya," katanya.
Ia juga menjelaskan bahwa untuk melakukan penyadapan harus sudah melakukan gelar perkarta di depan dewan pengawas.
Padahal untuk melakukan gelar perkara di depan dewan pengawas dibutuhkan dua bukti terlebih dahulu dan minimal penyelidikan kasus korupsi oleh KPK sudah berjalan.
"Kayaknya ini colongan juga, ini penjelasanya mengatakan bahwa izin penyadapan bisa diberikan setelah adanya gelar perkara didepan dewan pengawas," terang Refly Harun.
"Coba bayangkan padahal yang namanya gelar perkara itu, berartikan sudah ada yang namanya dua alat bukti minimal proses penyelidikan sudah berjalan."
Refly Harun menerangkan seandainya ada sebuah kasus korupsi yang masih baru dan belum ada informasi sama sekali, peyadapan tentu saja tidak bisa dilakukan.
Menurutnya untuk melakukan OTT terhadap sebuah kasus korupsi tanpa penyadapan itu tidaklah mungkin.
"Pertanyaananya adalah kalau seandainya itu kasus yang sama sekali baru, ada informasi dari masyarakat bahwa pejabat publik itu mau disuap," ucap Refly Harun.
"Tidak bisa dilakukan penyadapan padahal kita tahu OTT, tanpa penyadapan itu tidak mungkin bisa dilakukan, karena konteks tahunya pemberian itu adalah suap itu adalah karena penyadapan," terangnya.
Refly Harun mengatakan bahwa orang zaman sekarang sudah cangih lantaran melakukan tindakan korupsi melalui perantara atau orang lain.
"Karena begini orang sekarang canggih, saya (A) bicara sama B, tapi ternyata transaksinya antara C dan D, padahal C dan D itu bertransaksi atas A dan B ini," jelas Refly Harun.
• OTT Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, KPK Amankan 7 Orang Mulai dari Kepala Dinas hingga Ajudan
Hal seperti itu, menurutnya sudah pernah terjadi kepada seorang pejabat di Indonesia yang tersandung kasus korupsi.
"Dan itu terjadi di salah satu pejabat publik, dia mengatakan tidak, saya tidak melakukan transaksi apapun," beber Refly Harun.
"Tapi hasil penyadapan ada delivery bank to bank yang dilakukan pihak lain atas rembukan mereka sesungguhnya."
Menurut Refly Harun pejabat publik dan penegak hukum tidak ingin KPK melakukan OTT terhadap pelaku korpsi di Indonesia.
"Nah ini sebenarnya yang menurut saya perlu digaris bawahi tapi sekali lagi perspektif itu bisa berbada tapi kami meyakini," ungkap Refly Harun.
"Saya pribadi (beranggapan) memang maunya pejabat publik dan penegak hukum KPK jangan lagi (ada) OTT, OTT-an lagi-lagi kan begitu sebenarnya," ucapnya.
Lihat video selengkpanya pada menit ke 16:35:
(TribunWow.com/Desi Intan)