Kabar Tokoh
Bahas Mahar untuk Dapat Jabatan, Mahfud MD Beri Contoh: Jumlahnya Bermiliar-miliar
Mantan Ketua MK Mahfud MD membahas cara seorang koruptor bisa mendapatkan kembali mahar politik yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan jabatan.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Maria Novena Cahyaning Tyas
TRIBUNWOW.COM - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD membahas soal cara seorang koruptor bisa mendapatkan kembali mahar politik yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan jabatannya.
Diberitakan TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Mahfud MD melalui akun Twitter @mohmahfudmd, Selasa (26/3/2019).
Pernyataan Mahfud MD ini berawal dari warganet yang membahas soal bagaimana seseorang bisa mengembalikan mahar yang dikeluarkan untuk dapat menerima jabatan.
Pernyataan warganet ini berhubungan dengan pernyataan Mahfud MD di ILC yang membahas soal mahar Rp 5 miliar untuk menjadi seorang rektor.
"Kalau tulisan itu hny mempersoalkan logika dr mana mengembalikan mahar 5M utk menjadi seorang rektor, tentu byk celahnya, baik pemasukan yg legal maupun ilegal.
Saya pernah dengar seseorang membayar 150jt agar anaknya bisa msk di sbuah fakultas bergengsi. Itu br 1 hal," tulis sang warganet.
Menanggapi itu, Mahfud MD juga memberikan contoh kepala daerah yang sudah mendapatkan vonis di KPK.
Mahfud menyebutkan, tawar menawar dalam konteks pembahasannya itu bukan dari gaji, namun di rencana proyek yang bernilai hingga miliaran rupiah.
Mahfud menyebut, gaji kepala daerah hanya 8-15 juta, namun banyak orang berebut dan bergitu berjuang untuk mendapatkan jabatan tersebut.
"Dlm konteks kepala daerah yg sdh divonis dari yang dilaporkan ke KPK tawar menawarnya bukan di gaji tapi di rencana proyek yg nilainya adl uang yg jumlahnya bermiliar-miliar.
Kepala Daerah gajinya berapa, sih? 8 sampai 15 jt. sj. Tapi mereka rebut itu dgn keringat dan ber-darah2," tulis Mahfud MD.

Diketahui, pernyataan terkait mahar ini merupakan tanggapan dari kicauan Mahfud MD sebelumnya terhadap tulisan Rektor UIN Antasari, Mujiburrahman berisi kritik atas pernyataan Mahfud MD di program Indonesia Lawyers Club (ILC), Selasa (19/3/2019) lalu.
Hal ini berawal, dari warganet Mastuki HS dengan akun @HSMastuki, meminta Mahfud MD menyimak tulisan milik Mujiburrahman.
Mastuki menyebutkan bahwa tulisan tersebut merupakan suara dari orang dalam Kementerian Agama yang merasa bahwa institusinya sedang dihina-hina.
Ia menyebutkan, Mahfud MD perlu membaca tulisan Mujiburrahman itu sehingga tidak mengadili saat membuat pernyataan di ruang publik.
"Suara org dalam @Kemenag_RI yg merasa institusinya dikuyo-kuyo scr tak adil.
Prof @mohmahfudmd perlu membaca artikel ini agar tiap pernyataan di ruang publik tak mengadili, tapi benar2 adil & memenuhi rasa keadilan," tulis Mastuki.
Menanggapi itu, Mahfud MD lantas menyampaikan permintaan maafnya.
Namun, Mahfud MD enggan mencabut pernyataannya di ILC.
Mahfud MD juga menegaskan, dirinya sudah memberikan klarifikasi terkait pernyataannya.
"Sdh sy baca tlsn yg bagus ini. Tanpa hrs mencabut pernyataan di ILC sy minta maaf.
Minta maaf krn menyinggung perasaan teman2 yg bersih, bkn krn sy salah ucap. Sy sdh klarifikasi, tak perlu diperpanjang.
Tp sy jg sdh berikan data ke KPK agar ditelisik. Insyaallah semua akan baik," kicau Mahfud MD.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyampaikan permintaan maaf terkait pernyataannya di program Indonesia Lawyers Club (ILC), pada Selasa (19/3/2019) lalu. (Twitter @mohmahfudmd)
Sementara itu, dikutip TribunWow.com dari BanjarmasinPost, Rektor UIN Antasari, Mujiburrahman menulis sebuah opini berjudul 'Berimbang Itu Adil'.
Opini tersebut merupakan tanggapan Mujiburrahman atas pernyataan Mahfud MD di tayangan ILC.
Berikut tulisan lengkap Mujiburrahman:
MALAM itu, 24 Januari 2019, kami berkumpul dalam suasana serius-santai di sebuah hotel di Jakarta sebagai salah satu rangkaian dari Rakernas Kemenag RI.
Kami duduk di kursi membentuk setengah lingkaran, dipandu langsung oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin.
Acaranya adalah tentang “Best Practices 2018”. Hadir semua pejabat eselon I dan II, serta para rektor dan kakanwil.
“Tolong jelaskan pada kami, bagaimana Anda berhasil melaksanakan proyek infrastruktur SBSN?” tanya Pak Menteri kepada Prof Yudian Wahyudi, Rektor UIN Sunan Kalijaga.
“Saya panggil Tim Lelang (ULP) dan saya bilang, saya ini jadi rektor, tidak membayar serupiah pun. Jadi kalian jangan macam-macam. Kita harus benar-benar bersih,” kata Prof Yudian, yang langsung disambut tepuk tangan hadirin.
Menyusul tepuk tangan itu, Pak Menteri meminta kesempatan guna menyela, sebelum Prof. Yudian melanjutkan penjelasannya.
“Saya harus tegaskan di sini. Apa yang berlaku pada Prof. Yudian tadi, juga berlaku untuk semua rektor,” kata beliau. Tepuk tangan kembali riuh.
Saya kira, banyak pihak merasa lega dengan tanggapaan Pak Menteri yang melengkapi pernyataan Prof. Yudian malam itu.
Kejadian di atas mungkin tidak akan saya tulis, andai tidak ada OTT KPK terhadap politisi Romahurmuziy yang disusul serangkaian berita media yang cenderung menyudutkan Kemenag RI.
Tayangan ILC di TV One minggu lalu makin memperkeruh suasana, terutama pernyataan Mahfud MD bahwa ada orang yang mengatakan padanya, seorang calon rektor diminta membayar Rp 5 miliar oleh pihak tertentu.
Mahfud mungkin tidak salah dengar. Hanya, apakah masuk akal, orang mau membayar Rp 5 miliar untuk menjadi rektor?
Berapa sih gaji rektor? Bagaimana cara dia mengembalikan uang sebanyak itu jika nanti sudah dilantik? Dengan korupsi?
Nalar sederhana saja akan mengatakan, hal itu kemungkinannya sangat tipis. Dalam Ilmu Hadis, ini namanya kritik matan, kritik terhadap makna sebuah pernyataan.
Selain kritik matan, yang penting juga adalah kritik sanad, yakni sumber informasi.
Tampaknya asal mula informasi Mahfud adalah dari orang yang tidak berhasil menjadi rektor. Karena itu, informasi tersebut perlu diklarifikasi.
Akan lebih berimbang jika Mahfud juga bertanya kepada calon rektor lainnya atau ILC menghadirkan dan memberi kesempatan kepada pihak berwenang di Kemenag untuk menanggapi.
Karena ILC bisa ditonton di mana-mana, bahkan kemudian beredar di media sosial untuk seluruh dunia, wajar jika hal ini laksana bola liar.
Meskipun Mahfud hanya mengatakan, ada informasi bahwa calon rektor dimintai Rp 5 miliar, imajinasi orang bisa tergiring untuk menuduh bahwa orang yang akhirnya dilantik Menteri Agama menjadi rektor adalah yang (mungkin) mau membayar Rp 5 miliar!
Kita memang tidak tahu seberapa liar imajinasi itu berputar di benak publik.
Namun, reaksi keras Rektor UIN Alauddin Makasar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bisa dipahami, karena pemilihan rektor di dua kampus itu disebut-sebut Mahfud.
Ada kekhawatiran, martabat dua UIN yang hebat itu (keduanya terakreditasi A) akan tergerus. Bahkan, STAIN, IAIN dan UIN lain pun bisa terbawa-bawa.
Karena itu, baik kalangan elit ataupun publik, lebih khusus lagi media massa, diharapkan menampilkan berita dan narasumber yang berimbang dari pihak-pihak terkait, agar masyarakat bisa melihat gambaran yang lebih utuh.
Kita punya dua mata, dua telinga, dua kaki, dua tangan, dan dua lubang hidung yang harus digunakan serempak jika kita ingin menangkap dan memahami realitas dengan lebih tepat.
Sikap berimbang itu lebih wajib lagi bagi warga Kemenag sendiri. Jika memang ada korupsi, tentu wajib disesali dan diperbaiki.
“Allah tidak menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri sendiri,” kata Alqur’an.
Di sisi lain, kasus ini tidak boleh membuat mereka tenggelam dalam kesedihan apalagi putus asa.
“Tak seorang pun bisa menyakitimu kecuali kau mengizinkannya!” kata Eleanor Roosevelt.
Alhasil, keseimbangan diperlukan agar kita berlaku adil, atau paling tidak, mendekati keadilan.
Adil itu berat, apalagi menyangkut kepentingan diri sendiri. Di sini tidak berlaku rayuan gombal ala Dilan. “Adil itu berat. Biar Aku saja!”
(TribunWow.com/Nanda)
Tonton juga: