Pemilu 2019
Kritisi Hasil Survei, Fadli Zon: Kandidat Harus Daftarkan Lembaga Survei yang Mereka Pekerjakan
Anggota Dewan Pengarah BPN, Fadli Zon menilai, partai politik atau kandidat pilpres harus mendaftarkan nama lembaga survei yang mereka pekerjakan.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Lailatun Niqmah
TRIBUNWOW.COM - Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon menilai, partai politik atau kandidat pilpres harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yang mereka pekerjakan.
Diberitakan TribunWow.com, hal tersebut disampaikan Fadli Zon melalui akun Twitter @fadlizon, Jumat (22/3/2019).
Awalnya, Fadli Zon menyebutkan soal hasil survei terbaru Litbang Kompas yang menunjukkan jarak elektabilitas capres Joko Widodo dan capres Prabowo Subianto yang semakin dekat, yaitu 11,8 persen
• Fadli Zon Sebut 3 Kartu Sakti Jokowi-Maruf Sudah Kuno, Johnny G Plate: Dia Lebih Kuno Lagi
Sebelumnya, SMRC juga menyampaikan hasil surveinya yang menunjukkan jarak elektabilitas Jokowi dan Prabowo yang masih terpaut 25,8 persen.
Fadli menyebutkan, di survei internal BPN, elektabilitas Prabowo bahkan sudah unggul beberapa persen dari Jokowi.
Sementara survei terbaru dari lembaga survei Indo Barometer justru menunjukkan jarak elektabilitas Jokowi dan Prabowo hingga di atas 20 persen.
Fadli pun tak paham pada hasil survei yang jauh berbeda, padahal waktu survei dan publikasinya berdekatan.
Ia menilai, tak ada lembaga survei yang independen.
Karenanya, menurut Fadli, hasil survei tak bisa memetakan pendapat publik dan akurasinya perlu dipertanyakan.
Hal ini menjadikan Fadli memberi saran, agar partai politik dan kandidat harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yang dipekerjakan.
Berikut kicauan lengkap Fadli Zon mengenai hal tersebut:
"Dua hari lalu, Rabu (20/3) Litbang Kompas merilis hasil survei yg kemudian jadi perbincangan nasional. Sebabnya, jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo, menurut survei Kompas tsb, telah terpangkas lebih dari 50 persen jika dibandingkan dgn survei-survei lembaga lainnya.
• Reaksi Fadli Zon saat Mahfud MD Beberkan Surat ke Jokowi soal Banyaknya Kasus Pidana yang Mangkrak
Lima hari lalu, misalnya, dlm publikasi SMRC, jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo masih terpaut 25,8 persen. Tapi dua hari lalu, menurut survei Kompas, jarak elektabilitas itu tinggal 11,8 persen. Dalam survei internal Prabowo-Sandi malah sudah unggul bbrp persen.
Adanya selisih yg besar antara hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya yg dipublikasikan sepanjang bulan Maret ini tentu saja pantas membuat kita tersenyum.
Bgmn tdk tersenyum?! Semua survei mengklaim dirinya obyektif, ilmiah, dan ketat secara metodik, namun survei-survei yg dilakukan pada waktu yg berdekatan itu, serta dipublikasikan hanya berselang hari, ternyata menghasilkan angka-angka dgn jurang menganga.
Dan yang membuat senyum kita kian melebar, kemarin, Kamis, 21 Maret 2019, lembaga survei Indo Barometer juga telah mempublikasikan survei terbarunya.
Hasilnya kembali drastis. Jarak elektabilitas antara Jokowi dgn Prabowo kembali berada di atas 20 persen. Terus terang sy agak geli membacanya.
Angka-angka survei yg timpang satu sama lain saya kira telah membuat publik kian tersadarkan bahwa tak ada lembaga survei yg independen di Indonesia.
Sebab, semua lembaga survei yg ada telah merangkap jadi konsultan politik yg bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu.
Mereka bekerja seperti layaknya pengacara yg sedang membela kliennya. Mereka adlh bagian dari industri politik yg kerjanya mencari keuntungan.
• Reaksi Fadli Zon saat Razman Nasution Sebut 01 Pasti Dapat Ucapan Pedas darinya terkait OTT Romy
Sejarah lembaga survei di Indonesia memang berimpit dgn tumbuhnya lembaga-lembaga konsultan politik.
Itu sebabnya survei politik yg dipublikasikan di Indonesia tdk bisa dijadikan alat untuk memetakan pendapat publik, krn sebenarnya survei tsb digunakan untuk menggiring opini publik, dijadikan sbg alat framing, alat kampanye atau alat propaganda.
Jadi, dalam dunia politik Indonesia, survei lebih merupakan infrastruktur imagologi, atau pencitraan. Itu sebanya akurasinya pantas dipertanyakan.
Ke depan, untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres, kita perlu menegaskan norma bhw ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat yg berlaga dalam Pemilu,
maka mereka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye.
Jadi, partai politik dan kandidat harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yg mereka pekerjakan.
Kita perlu merumuskan kebijakan semacam itu demi transparansi, sekaligus untuk melindungi hak-hak publik. Agar publik kemudian tahu lembaga survei A, misalnya, ternyata merupakan konsultannya partai X atau calon Y.
Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa dicerna secara kritis oleh publik pemilih. Dengan begitu, risiko terjadinya manipulasi hasil surveipun bisa terminimalisir.
Ini merupakan cara yg fair untuk mengawasi lembaga-lembaga survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi, serta disinformasi yg dilakukan oleh mafia survei.
Demokrasi kita harus kian transparan. Jangan sampai lembaga survei jadi predator demokrasi karena memanipulasi opini publik demi kepentingan klien mereka," tulis Fadli Zon.
• Kritik Program Kartu yang akan Dikeluarkan Jokowi, Fadli Zon: Cara Pikir yang Kurang Cerdas
(TribunWow.com)