Pembunuhan Jamal Khashoggi
Tulisan Terakhir Jamal Khashoggi sebelum Dibunuh, Ungkap Pemerintah Saudi yang Terus Bungkam Media
Sebelum ia menghilang, diketahui Jamal Khashoggi menulis opini untuk The Washington Post yang berisi tentang kebebasan pers di negara-negara Arab.
Penulis: Ananda Putri Octaviani
Editor: Claudia Noventa
TRIBUNWOW.COM - Jurnalis Washington Post asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi, dikabarkan dibunuh di Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki pada 2 Oktober lalu.
Hingga saat ini diketahui penyelidikan atas kasusnya tersebut masih terus berlanjut.
Pada Rabu (24/10/2018), potongan mayat Khashoggi dilaporkan telah ditemukan di taman rumah Konsul Jenderal di Istanbul.
Dilansir TribunWow.com dari BBC.com, Senin (22/10/2018), diketahui bahwa Khashoggi sebelumnya adalah wartawan untuk kantor organisasi berita Arab Saudi.
Selama beberapa tahun Khashoggi bahkan dilaporkan dekat dengan keluarga Kerajaan Saudi dan juga melayani sebagai penasihat pemerintah.
• Ungkap Kasus Pembunuhan Jamal Khashoggi, Penjelasan Presiden Turki Erdogan Menyisakan Banyak Tanya
Namun, Khashoggi kemudian memiliki perbedaan pendapat dengan pemerintah Saudi dan memutuskan pergi ke Amerika Serikat (AS).
Di AS, Khashoggi menulis kolom bulanan di Washington Post, di mana ia mengkritik kebijakan Putra Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Salman.
Sebelum ia menghilang, diketahui Khashoggi menulis opini untuk The Washington Post yang berisi tentang kebebasan pers di negara-negara Arab.

Namun, The Washington Post baru saja mengunggah tulisan itu, pada Rabu (17/10/2018).
Dalam pengantar pembuka tulisan opini itu, editor Global Opinions The Washington Post, Karen Attiah, mengaku menerima tulisan tersebut dari penerjemah dan asisten Khashoggi sehari setelah dia dinyatakan hilang di Istanbul.
Attiah menunda penerbitan tulisan tersebut, berharap akan mengeditnya bersama-sama.
"Sekarang saya harus menerimanya bahwa itu tidak akan terjadi. Ini adalah tulisan terakhirnya yang akan saya sunting untuk The Post," kata Attiah.
"Kolom ini secara sempurna menangkap komitmen dan semangatnya untuk kebebasan dunia Arab. Kebebasan yang sepertinya ia berikan untuk hidupnya. Saya selamanya bersyukur dia memilih The Post sebagai rumah jurnalistik terakhirnya setahun yang lalu dan memberi kami kesempatan bekerja sama," lanjut Attiah.
Khashoggi dalam tulisannya menjelaskan data laporan 'Freedom House' soal kebebasan di dunia.
• Pembunuhan Jamal Khashoggi Terkuak, Beberapa Potongan Tubuhnya Telah Ditemukan
Di dunia Arab, kata dia, negara yang paling bebas adalah Tunisia.
Berturut-turut menyusul adalah Yordania, Maroko, dan Kuwait.
Sedangkan sisanya, diklasifikasi sebagai negara tidak bebas.
Menurutnya, hal itu mengakibatkan masyarakat Saudi menjadi masyarakat sang tertinggal dan kerap salah informasi.
Dia juga menyampaikan harapan para jurnalis, akademisi, dan masyarakat umum akan kebebasan usai revolusi besar Arab yang dikenal dengan Arab Spring pada 2011.
Harapan itu, kata Khashoggi, sirna karena situasi kebebasan tidak berubah, malah lebih parah.
Ia juga menceritakan soal penangkapan jurnalis dan aktivis yang dilakukan di Arab Saudi dan Mesir.
"Pemerintah Arab diberi kebebasan untuk terus membungkam media dengan laju yang terus meningkat," tulis Khashoggi.
"Mereka juga menangkap wartawan lokal dan menekan para pengiklan untuk merusak pendapatan dari publikasi tertentu," imbuhnya.
Namun, jelas Khashoggi, juga ada angin besar yang mewujudkan semangat Arab Spring.
Yaitu, tulisnya, pemerintah Qatar yang memberikan dukungannya atas liputan berita internasional.
Sayangnya, ungkap Khashoggi, hal itu berbeda dengan tetangganya yang terus berusaha membungkam kebebasan pers.
"Dunia Arab menghadapi Tirai Besi versinya sendiri, diberlakukan bukan oleh aktor eksternal tapi melalui kekuatan domestik yang berlomba merebut kekuasaan," tulis Khashoggi.
"Dunia Arab perlu versi modern dari media transnasional lama agar warga bisa dapat informasi soal isu global. Lebih penting lagi, kita perlu menyediakan sarana bagi suara-suara Arab."
"Melalui penciptaan forum internasional yang independen, dijauhkan dari pengaruh pemerintahan nasionalis yang menyebarkan kebencian melalui propaganda, masyarakat umum di dunia Arab akan mampu mengatasi masalah struktural yang mereka hadapi," tutupnya.
• Eskalator Tiba-tiba Berjalan Sangat Cepat, 30 Orang Alami Luka-luka dan 1 Kaki Korban Diamputasi
Diberitakan TribunWow.com dari Washingtonpost.com, Selasa, (23/10/2018), pembunuhan Khashoggi membuat dunia internasional memfokuskan perhatian kepada Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, yang diduga menjadi otak dibalik pembunuhan Khashoggi.
Mohammed bin Salman yang berusia 33 tahun itu telah dikenal sebagai sosok muda yang kuat sebagai pembaharu perubahan sosial dan ekonomi kerjaan Arab Saudi.
Mohammed telah menjadi pemimpin kerajaan usai ditunjuk sebagai putra mahkota pada Juni 2017 lalu.
Kini, kasus Jamal Khasoggi ini membuat Mohammed kini berada pada situasi yang sulit.
Namun, kasus ini bukan yang pertama untuk Mohammed karena dirinya sebelumnya juga pernah melakukan beberapa penyekapan.
Sebelumnya, pada bulan Juli tahun 2017, Mohammed pernah menculik seorang aktivis hak-hak perempuan terkemuka, seperti Samar Badawi (37).
Badawi tiba-tiba diseret dari rumahnya dan ditangkap pihak polisi, seperti yang diungkapkan oleh teman Badawi, Yahya Assiri.
Penangkapan Badawi itu tak diketahui publik lantaran para tetangga yang melihatnya dipaksa menandatangani perjanjian untuk tidak pernah mengaku apa yang telah mereka lihat.
Namun, hingga kini tak pernah ada pernyataan jelas mengenai dugaan kasus kejahatan atau alasan Badawid ditahan.
Tak sendirian, Badawi ditangkap dengan 7 aktivis hak-hak perempuan lainnya.
• Donald Trump Sebut Saudi Melakukan Cara Terburuk untuk Menutupi Kasus Pembunuhan Khashoggi

Kelompok-kelompok hak asasi manusia mengungkapkan, penangkapan Badawi adalah simbol penindasan yang dilakukan oleh Putra Mahkota Mohammad bin Salman terhadap mereka yang dianggap menantang otoritasnya.
"Dia berusaha membungkam semua orang," kata Assiri.
"Tidak ada pembela hak asasi manusia yang masih bebas di Arab Saudi. Mereka semua di balik jeruji."
(TribunWow.com/Ananda Putri Octaviani)